Skip to main content

(Bukan) Serigala Terakhir

Semua orang, mulai dari anak SD yang baru belajar kosa kata hingga guru seperti saya, tahu dengan jelas bahwa munafik bukanlah kata yang baik. Setidaknya, banyak orang yang menggunakan kata munafik untuk menunjukkan perbuatan yang tidak baik. “Hey, munafik banget sih lo jadi orang!” kata seseorang saat ia merasa temannya telah membohonginya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata munafik memiliki arti berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dalam hati tidak. Selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Bermuka dua.

Di dalam Al-Quran bahkan, kata munafik merujuk pada orang-orang yang mengaku beriman padahal mereka dalam hatinya kufur. Ciri-ciri orang munafik di antaranya adalah bermuka dua, berlidah dua, berdusta, dan sumpah palsu. Bayangkan, saya sampai membuka kitab suci demi mencari definisi kata yang satu ini.

Kesimpulannya, munafik itu tidak baik. Lalu demi Tuhan, mengapa segerombolan anak lelaki yang tahun lalu tergabung di kelas 4 Business2 menamakan diri mereka Kaum Munafik? Dengan perasaan bangga pula! Saya benar-benar tidak mengerti. Namun untuk bertanya pun saya malas. Rasanya tidak akan ada gunanya. Saya bisa membayangkan mereka akan memberikan jawaban asal-asalan kepada saya.

Saya seringkali menganalogikan kelompok-kelompok pertemanan yang dimiliki murid-murid saya dengan geng-geng yang ada di film. Misalnya, ada sekelompok anak perempuan yang mengingatkan saya pada geng Lindsay Lohan di film Mean Girls. Atau dulu pernah ada sekelompok anak laki-laki yang sering sok beraksi sampai guling-gulingan di lantai dan pura-pura memegang senapan, mirip para polisi dalam film SWAT.

Kaum munafik mengingatkan saya pada film action Serigala Terakhir garapan Upi Avianto yang rilis tahun 2009. Yah, memang sih para personil Kaum Munafik ini tidak ada yang se-flawless Vino G. Bastian atau semacho Fathir Muchtar. Akan tetapi Kaum Munafik benar-benar seperti segerombolan serigala yang selalu sigap berkeliaran mencari mangsa. Hanya saja mangsa bagi Kaum Munafik bukanlah makanan, tetapi sasaran empuk untuk dijadikan bahan bercandaan. Ribut sana, ribut sini. Membuat orang-orang sekitar menahan air mata dan sakit perut akibat terlalu banyak tertawa.

Saya tidak pernah sepenuhnya paham siapa di antara mereka yang menjadi pemimpin. Mungkin Tristan, karena ia yang sering meredam teman-temannya jika sudah melewati batas. Meski kadang Tristan masih harus banyak belajar mengontrol emosi ya, Nak. Dia pemimpin yang baik dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Sebenarnya saya tidak yakin jika Kaum Munafik adalah kelompok yang memiliki pemimpin semacam itu. Kalaupun ada, jelas bukan yang didewakan. Lagipula anggota mereka macam Adrian dan Asep rasanya tidak butuh pemimpin. Mereka justru motor dari segala lelucon dan keisengan. Saya tidak mau membahas panjang lebar tentang mereka berdua lagi, karena setelah tulisan Lima Business Satu Lucu-Lucu, mereka berasa sudah seperti selebriti. Dipikirnya mereka terkenal setaraf Justin Timberlake. Padahal yang baca tulisan itu paling-paling hanya teman-teman mereka satu sekolah.

Handyo dan Cevin, tak banyak tingkah. Oh, mereka senang ikut dalam segala kehebohan, tetapi tanpa dua orang yang namanya sudah enggan saya sebut, mereka masih kalah ribut dengan anak-anak lain. Handyo dan Cevin adalah tipe teman yang setia dalam kelompok.

Biang ribut ada satu lagi, Bob. Namun Bob perlu teman untuk melancarkan serangan-serangan leluconnya. Ia butuh wing man. Macam Barney Stinson dan Ted Mosby dalam serial How I Met Your Mother. Tak terpisahkan. Sayangnya, di kelas 12 ini ia kehilangan semua wing mannya. Ia terasing di 5 Business 2 tanpa anggota Kaum Munafik yang menjadi motor tadi. Yang lagi-lagi namanya enggan saya sebut.

Lalu ada Ucup dan Jansen. Mereka berdua lost boys. Menghilang setelah kelas 11. Ucup pindah sekolah, sementara Jansen langsung melanjutkan kuliah tanpa melewati kelas 12. Aneh bin ajaib. Tipe mereka berdua sebenarnya berbeda. Ucup kerap mengambil jalur yang salah dalam hidup di mata saya, sementara Jansen lebih lurus jalurnya. Terkadang terlihat mulus padahal sebenarnya penuh rintangan. Persamaan di antara mereka adalah ketika kelas 11 rasanya mereka sudah menganggap sekolah sebagai tempat les. Mau masuk atau tidak, suka-suka saja.

Selain 4 Business 2, Kaum Munafik juga memiliki Herfi dari 4 Business 1 dan Basma dari 4 Science 3. Herfi adalah pasangan jiwa Tristan. Sejak kelas 10 mereka tak terpisahkan. Susah senang mereka selalu bersama. Seperti itu pulalah posisi Basma bagi Bob. Teman paling dekat, teman berbagi apa saja.

Satu hal yang saya kagumi dari Kaum Munafik adalah solidaritas yang mereka miliki. Bagaimana mereka bisa menyelesaikan masalah secara dewasa. Belajar menahan segala emosi yang tentu dimiliki anak-anak muda. Mereka membantu teman yang kesusahan. Mereka tak mencari eksistensi, mereka murni berteman. Seperti kelompok dalam film Serigala Terakhir. Benar-benar setia satu sama lain.


Kekurangan, tentu saja setiap kelompok punya. Mereka pun mengalami pasang surut dalam hubungan mereka. Dan juga hubungan dengan kelompok lain. Namun semoga mereka tak gentar dan tak pernah menyerah untuk terus belajar menjadi manusia-manusia yang lebih baik. Mereka adalah Kaum Munafik yang tidak munafik.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha