Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2014

Morning Reflection: Selasa, 26 Agustus 2014

Suatu hari, salah seorang murid saya pernah bercerita. “Miss, cita-cita saya yang sesungguhnya adalah menjadi dokter,” katanya. Oh, to be a doctor is a very common dream. Everybody wants to be a doctor. Rata-rata beralasan karena nyari uangnya gampang, ekonominya bakal terjamin, dan hal lainnya yang tidak jauh-jauh dari masalah status sosial ekonomi di masyarakat. “Saya ingin menjadi dokter karena saya benar-benar ingin menolong orang yang tidak mampu. Saya kasihan lihat orang miskin mau berobat susah. Rumah sakit dan obat mahal semua,” katanya lagi. I felt so amazed. It feels like talking to an angel. Heaven on earth, I really couldn’t believe it. Maka sebagai guru yang baik, saya kemudian mendorongnya untuk masuk IPA saat penjurusan. Apalagi hasil psikotesnya juga menyatakan bahwa anak ini lebih bisa berkembang di jurusan IPA daripada di IPS. Masuk IPA, kemudian masuk Fakultas Kedokteran, dan benar-benar mengejar mimpinya menjadi dokter. Sesederhana itu. Namun ya

For My Girls

Saya tidak memiliki anak perempuan. Mungkin belum, tapi rasanya saya tidak akan pernah merasakan anak perempuan dalam dekapan saya seumur hidup. Namun dunia saya tidaklah sepi. Dunia saya tetap diwarnai keceriaan anak-anak perempuan. Dikelilingi canda tawa mereka, lembutnya hati mereka, sakitnya patah hati, dan sensasi cinta pertama. Mereka itu adalah kalian. Murid-murid yang saya kenal sejak kelas 10, dan tinggal menanti hitungan hari untuk saya lepas di penghujung waktu. Masih ingat foto yang saya post di timeline beberapa saat lalu? Foto yang membuat kalian gempar. Kesal sekesal-kesalnya. Marah, sekaligus sedih. Kalian merasa, betapa pun kalian selalu ada untuk saya, tetapi hati saya bukan sepenuhnya milik kalian. Lima jejaka dalam foto turut kalian benci saat itu. Pikiran kalian salah besar. Kalian selalu ada di hati saya. Kalian lah orang-orang pertama tempat saya berbagi asa, berbagi pikiran, berbagi kebahagiaan, kesedihan, juga tangisan. Masih ingat di sebua

(Bukan) Serigala Terakhir

Semua orang, mulai dari anak SD yang baru belajar kosa kata hingga guru seperti saya, tahu dengan jelas bahwa munafik bukanlah kata yang baik. Setidaknya, banyak orang yang menggunakan kata munafik untuk menunjukkan perbuatan yang tidak baik. “Hey, munafik banget sih lo jadi orang!” kata seseorang saat ia merasa temannya telah membohonginya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata munafik memiliki arti berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dalam hati tidak. Selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Bermuka dua. Di dalam Al-Quran bahkan, kata munafik merujuk pada orang-orang yang mengaku beriman padahal mereka dalam hatinya kufur. Ciri-ciri orang munafik di antaranya adalah bermuka dua, berlidah dua, berdusta, dan sumpah palsu. Bayangkan, saya sampai membuka kitab suci demi mencari definisi kata yang satu ini. Kesimpulannya, munafik itu tidak baik. Lalu demi Tuhan, mengapa segerombolan anak lelaki yang tahun lalu tergabung

My Kids Has Grown Up

Berbagai kejadian dalam kehidupan di sekolah sejauh ini membuat saya berpikir: I’ve seen my kids grown up. They became mature in their way of thinking. They became true to their friends. They know right and wrong. They became independent. I am so proud, yet I feel a bit lonely noticing that they don’t need me as much as before. Kata-kata ini memang ditujukan kepada semua mereka yang saya anggap anak-anak saya, yang merasa anak-anak saya, yang pernah menjadi anak-anak saya, dan yang akan ditakdirkan menjadi anak-anak saya. Semua, tanpa terkecuali. Kata-kata ini terlintas begitu saja dalam benak saya setelah suatu sore, seorang anak datang kepada saya dan berkata, “Miss, saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya sudah tidak lagi memiliki teman di mana pun.” Hubungan saya dengan anak ini sebenarnya tidaklah terlalu akrab. Dari seluruh murid yang saya miliki saat ini, anak tersebut tak pernah identik sebagai anak saya. Tidak seperti Peter dan Willy yang hingga kini o

Lima Business Satu Lucu-Lucu...

Ada yang menggelitik setiap saya mendengar nama kelas ini disebut. Lima Business Satu. 5 Bs1. Oh, saya bukan homeroom mereka. Sama sekali bukan. Saya bahkan bukan homeroom kelas 12 atau kelas mana pun tahun ajaran ini. Akan tetapi, tetap saja kelas ini menggelitik. Di kelas yang berawak 21 anak ini, saya menghabiskan waktu paling panjang dalam satu minggu dibandingkan kelas 12 lainnya. Bayangkan, delapan jam per minggu! Delapan jam yang dibagi menjadi tiga hari, dengan satu hari istimewa di mana saya harus bertatap muka dengan anak-anak ini selama empat jam sekaligus. Oh, Tuhan tolong saya! Sebenarnya kelas ini cukup menyenangkan. Saya bangga bisa mengajar di kelas ini karena untuk pertama kalinya saya mengajar mata pelajaran Sosiologi di kelas 12. Pelajaran UN, lho! Apalagi ada materi Metode Penelitian Sosial dan menjadi pembimbing utama bagi anak-anak dalam menyusun tugas akhir. Bersanding dengan guru Sosiologi senior yang telah memiliki pengalaman mengajar selama 23 tahun.

Kangen

Apa yang ada di dalam pikiranmu saat mendengar kata kangen? Kalau saya, sederhana saja. Kata ini mengingatkan saya pada judul lagu yang mengantarkan grup band kesohor Dewa 19 meniti tangga popularitas di dunia musik Tanah Air. Namun saya tak akan berbicara panjang lebar soal Kangen versi lagu. Saya bukan musisi. Bukan pula pakar atau pengamat musik yang pantas untuk menganalisa lagu tersebut. Kata kangen terlintas dalam pikiran saya sejak akhir pekan lalu. Saat bercengkerama dengan beberapa anak murid perempuan saya – Andrea, Saskia, Icha, dan Cathalin. Kala itu kami tengah makan siang bersama di kantin sekolah. Biasa saja, tak ada yang istimewa. Hingga tanpa sengaja dan entah bagaimana awal mulanya, kami membicarakan hari pertama di kelas 1E. Saat masing-masing dari kami belum mengenal satu sama lain. “Kayaknya nggak ada kelas yang sekompak itu lagi deh,” ucap salah satu dari mereka. Saya lupa siapa, tetapi saya ingat kemudian Andrea menimpalinya. “Inget nggak pas har

Kartini Celebration 2014 Global Prestasi Senior High School

Derap langkah sembilan pasang kaki begitu menggema pagi itu. Sorot mata seluruh peserta upacara seolah tak bisa lepas dari setiap gerak-gerik para pemilik sembilan pasang kaki tersebut. Atribut mereka pun terlihat gagah. Putih dan putih, selaras dengan paras feminin mereka, meski kegagahan maskulin tak luput mewarnai penampilan mereka. Dengan mantap, mereka berderap dari pintu gerbang Global Prestasi School menuju tiang bendera di tengah lapangan upacara. Salah seorang di antara mereka, yang berdiri di posisi tengah, membawa nampan berisi bendera. Sesampainya di depan tiang bendera, mereka mengatur formasi dan mulai mengibarkan sang merah putih. Bendera pun naik diiringi penghormatan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya .  Kesembilan orang itu adalah Haldhianty Fitri (4 Science2), Yasmin Nur Fairuz (4 Science3), Hinggista Carolin (2 Science2), Kezia Angela (2 Science3), Rocheline Jasmine (4 Science2), Nagita Palma (4 Science1), Nindya Daniswara (2 Business2), Mutiara Niandranti

Mengingat Emansipasi, Mengingat Kartini

Setiap 21 April, SMA Global Prestasi memperingati Hari Kartini melalui upacara bendera dan beragam perlombaan. Siapa tak kenal Raden Ajeng Kartini? Perempuan yang setiap hari kelahirannya ini diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia adalah pelopor emansipasi perempuan di Tanah Air. Tanpanya, mungkin perempuan Indonesia hari ini masih dipandang sebagai warga kelas dua dan tak dapat menikmati jenjang pendidikan setinggi mungkin. Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Pada masa itu, adat istiadat Jawa membatasi pendidikan perempuan, sehingga setelah berusia 12 tahun, Kartini harus berhenti sekolah dan dipingit guna mempersiapkan diri menjadi istri. Beruntung Kartini berasal dari keluarga bangsawan dan bependidikan tinggi, sehingga beliau masih diperkenankan belajar merajut dan hadir di beberapa acara penting. Namun tanpa sekolah, dunia Kartini seolah menjadi gelap. Alhasil setiap buku dan surat kabar yang ada, ia baca setiap hari. Kemampuannya

Mengharumkan Nama Sekolah di Expo 10 Unisma

Dalam ajang Expo 10 Unisma, siswa-siswa SMA Global Prestasi berhasil membuktikan eksistensi mereka sebagai yang terbaik se-Jabodetabek untuk mata pelajaran Bahasa Inggris dan Ekonomi. Kristian Utomo, Dewi Lucky, Herilias Adian Sebuah prestasi membanggakan baru saja diukir oleh siswa-siswa SMA Global Prestasi. Kali ini melalui kompetisi pidato bahasa Inggris dan cerdas cermat Ekonomi, yang merupakan rangkaian dari ajang Expo 10 Unisma 2013-2014. Kegiatan tahunan milik Universitas Islam ’45 Bekasi ini dihelat pada hari Kamis, 13 Februari 2013 dan Rabu, 26 Februari 2014 lalu. Tahun ini, kegiatan yang diikuti oleh SMA-SMA se-Jabodetabek tersebut mengusung tema “Through the Competition, Let’s Increase the Leadership Skill for Our Generation.” Dalam cerdas cermat Ekonomi, SMA Global Prestasi menurunkan satu tim yang terdiri dari Kristian Utomo, dari kelas 6 Business1, Herilias Adian, 6 Business1, dan Dewi Lucky, 4 Business3. Setelah menyisihkan tim sekolah-sekolah lain,

Mari Menulis Kembali!

Wall facebook saya berdebu. Twitter saya berdebu. Blog saya pun berdebu. Satu-satunya yang ramai penuh hiasan adalah path saya, yang nyaris tiap jam berisikan informasi lagu apa yang tengah saya nikmati, film apa yang sedang saya tonton, bahkan di lokasi mana saya sedang berada atau sedang apa. Hal-hal remeh. Entahlah, setahun belakangan ini hasrat menulis seolah enggan hinggap. Padahal sejak tahun pertama saya menjadi guru – sekira empat tahun silam – saya selalu menulis. Saat Kiddos memimpin upacara bendera yang super ajaib, saya menulis. Saat Mentari merasa sedih saat jurusan IPS dianggap sebagai kelas dua, saya menulis. Saat saya tidak diberikan jam pelajaran Sosiologi, saya menulis. Saat Willy bimbang menentukan jurusan dan cita-cita, saya menulis. Saat Karin dan Jesline tak kunjung menghapus cat kuku mereka selama berminggu-minggu, saya menulis. Hal terkecil sekali pun tentang dinamika kehidupan saya di sekolah, selalu mendorong saya untuk merangkai jalinan kata