Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2015

Jahat!

Mengapa kamu tega melakukan semua ini kepadaku? Apa salahku, sehingga kamu memperlakukanku seperti ini? Apakah aku pantas mendapatkannya? Jawab! Jangan kamu diam saja. Hadapi aku, layaknya seorang lelaki. Bukan seorang pengecut. Dahulu, kamu tak pernah ada di dalam hidupku. Tak banyak yang kuketahui tentang dirimu. Hanya satu orang yang tak ada bedanya dengan mereka semua. Satu orang yang hadir dalam keseharianku, namun tidak dalam hatiku. Tapi, kamu curang! Ternyata kamu menginginkanku. Kamu tidak puas jika aku hanya memandangmu sama dengan yang lain. Kamu ingin lebih. Kamu ingin menarikku ke dalam hidupmu. Mengenalmu sedikit demi sedikit, lalu sepenuhnya berada dalam genggamanmu. Katamu, aku bisa membuat hidupmu lebih baik dan berarti. Kamu membutuhkanku. Aku memang lemah. Perasaanku terlalu halus jika disesaki hal-hal yang membuat haru. Bermula dari rasa iba, aku kemudian menyayangimu. Kamu yang membuatku menyayangimu. Kamu yang menyebabkan kita saling

Satu, dan Hanya Satu Untukmu

Ada seseorang menghampiri pintuku hari itu. Ia mengetuk dengan penuh keraguan. Ketukan pertama teramat pelan, sayup-sayup nyaris tak terdengar. Nampak jelas bahwa tak mudah baginya untuk menemui orang di balik pintu itu. Menemuiku. Kemudian ia mengumpulkan segenap keberanian, mencoba menahan nafas dan menghembuskannya dalam satu tarikan, lalu kembali mengetuk pintu. Kali ini lebih kencang. Aku pun membuka pintu. Di hadapanku, ia terlihat sama seperti saat pertama kali aku mengenalnya. Raut penuh kebimbangan, antara rasa takut, segan, namun rindu. Matanya penuh kesedihan, tanpa ada kemarahan yang biasanya jelas terpancar. Ia memang mudah tersulut emosi. Namun tidak kali ini. Ia seolah lemah tak berdaya. “Aku hanya ingin berbicara, jika kamu mengizinkan. Aku mohon, dengarkan aku sekali ini saja,” ucapnya pelan. Aku yang disesaki rasa benci pada dirinya beberapa minggu ini, luluh juga. Aku tak bisa memungkiri bahwa masih terselip rasa sayang di dalam hatiku. Mungkin aku l

Three-in-One Project: BOHONG! #3 Diam

Diam! Cukup! Hentikan dustamu itu Kemarin kau ciptakan dusta A Hari ini dusta B, lusa dusta C Mungkin tidak akan pernah berakhir di Z Aku lelah dengan semua alasanmu Bukankah aku wanitamu? Kita sudah menjadi satu Seandainya kau tidak pernah ada Seandainya kau tidak mengenalkan aku dengan cinta Sehingga aku tidak mengenal gairah Mungkin saat ini aku masih mampu tersenyum Mampu berkata pada dunia kalau hidup itu indah Sekarang aku memilih diam Memilih menutup hidupku Mengakhiri semua tentangmu dalam diriku AKU SUDAH SANGAT KECEWA Hanya kata-kata itu yang tersisa. Hanya secarik kertas yang ia tinggalkan, sebelum ia mengembara dalam dimensi lain yang tidak kuketahui. Meninggalkan aku dengan jasadnya. Tak lagi kudengar riuhnya tawa. Kata-kata yang menyenangkan telinga pun tak terdengar lagi. Aku merindukannya kembali. Saat itu, 22 Desember 2005, beberapa hari menjelang ulang tahunku. Untuk pertama kalinya aku melihat pertengkaran dalam hidupku.

Three-in-One Project: BOHONG! #2 Ketika Dia Berbohong...

Sudah ribuan kali rasanya aku menatap raut wajah di depan cermin. Paras yang menyiratkan rasa iba, seolah meminta belas kasihan, nampak teraniaya. Menjijikkan! Aku sungguh muak melihat raut wajah ini. Betapa garis-garis tegas di sudut bibir, binar percaya diri yang terpancar dari mata, semua telah pudar. Segala kekuatan yang tadinya ada kini berganti menjadi rona kesedihan, jika tidak ingin dikatakan kesengsaraan. Lamunanku terbuai... Aku pertama kali mengenal lelaki itu dua tahun silam, dalam sebuah aksi mahasiswa di depan istana negara. Kala itu aku masih sangat idealis, berbeda dengan bayangan yang sedang kutatap dalam cermin saat ini. Bayangkan, aku berharap mampu menggulingkan rezim militer yang berkuasa, atas nama rakyat dan mahasiswa. Atas nama demokrasi. “Maaf, namamu Aruna ya?” Sesosok lelaki yang belum pernah kukenal menepuk bahuku. Aku menoleh dengan heran. Di tengah kerumunan massa seperti ini, aku tak berpikir ada yang akan mengenaliku secara khusus. L

Untukmu, Manusiaku...

Manusia sudah teramat lelah menapaki jalan yang salah. Ia merasa aman di jalan itu pada mulanya. Begitu yakin, hingga meninggalkan semua yang berada di belakangnya. Seolah mata, telinga, dan hatinya telah menutup. Akan tetapi kini, lihatlah... Manusia berjalan terseok-seok, mencoba menapaki kembali jalan yang telah ia lalui. Jalan yang telah ia tinggalkan. Ia berusaha kembali, namun apa daya semua itu tak mudah. Pintu-pintu yang tadinya terbuka, kini telah tertutup. Manusia berusaha keras mencari celah. Ia meratap. Ia menyesal. Ia mati. Penyesalan selalu datang belakangan. Dan terkadang, saat itu sudah terlambat. Masihkah ada harapan untuknya? “Jangan menyerah. Tolong...”