Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2012

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Pergi Ke Museum, Yuk!

Di depan Museum Transportasi TMII Tiap kali mengusulkan museum sebagai destinasi akhir pekan kepada suami, saya pasti harus puas dengan penolakan. Malas, katanya. Tak ada hal menarik yang bisa dilakukan di sana. Terlebih, kedua anak kami, Arya dan Wira, masih balita. Belum mengerti apa-apa. Demikian ia beralasan. Reaksi yang tidak jauh berbeda saya dapatkan dari rekan-rekan guru tatkala mencoba mengusulkan museum sebagai alternatif program field trip . Bagi mereka, ide museum itu sedikit kuno dan lebih tepat untuk murid-murid SD ketimbang SMA. Kalaupun pergi ke museum, haruslah tempat di mana murid bisa menghasilkan karya, seperti membatik di Museum Tekstil. Kalau hanya tur, para murid SMA belum tentu tertarik. Demikian mereka berargumen. Namun coba tebak? Beragam penolakan yang saya terima tadi tak pernah menyurutkan semangat saya untuk berwisata ke museum. Bagaimana tidak, meski saya bukan orang yang rajin bertandang ke museum dan hafal setiap sudutnya, akan tetap

Bemo dan Kenangan Kecil

Jauh sebelum Jakarta dipadati dengan hiruk pikuk kemacetan nyaris setiap harinya, saya – yang tentu saja masih kanak-kanak kala itu – termasuk orang yang menikmati bepergian dengan kendaraan umum. Saat itu, sekira 20 tahun yang lalu, rasanya bepergian dengan kendaraan umum mudah saja. Tak perlu berpanas-panas atau bermacet-macet, serta tak perlu khawatir akan kriminalitas yang bisa terjadi di atas kendaraan umum. Dahulu, semua terasa serba simple. Mama saya sering mengajak saya dan Wina, adik saya, naik bemo. Dari rumah kami di bilangan Duren Sawit hingga ke kantor Mama di Rawamangun. Naik bemo terasa asyik. Apalagi Mama selalu menempatkan saya di kursi depan sebelah supir sambil berpesan kepada sang supir, “Bang, anak ini bayar ya. Jadi duduknya sendiri, jangan naikin penumpang lagi di depan.” Sementara, Mama dan Wina akan duduk dibelakang, persis di belakang supir supaya saya masih merasa nyaman karena dapat melihat mereka berdua. Saya ingat ada kaca pemisah antara bagian