Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Demits: Bocah-Bocah Tengil Kesayangan

Love can happen in desperation... Rasa sayang memang bisa tumbuh melalui berbagai cara, beragam bentuk, dan beraneka cerita. Mulai dari seorang anak yang sakit saat tengah mengikuti kegiatan sekolah, kemarahan saat pembagian workbook di kelas, hingga raut wajah kecewa di pinggir lapangan futsal usai mengalami kekalahan. Bahkan dalam titik rendah kehidupan seseorang pun, rasa sayang bisa muncul seketika tanpa mengenal logika. Dan dengan mereka, saya harap semua ini belum terlambat... Saya pertama kali harus bersentuhan dengan mereka saat mereka duduk di kelas 11. Memang sebagian dari mereka telah saya ajar ketika kelas 10, namun perumpamaan yang tepat kala itu adalah mereka sekedar “numpang lewat” dalam hidup saya. Siapa sangka jika kemudian jalan hidup berkata lain? Pada hari itu, saya menerima mereka semua menjadi tanggung jawab saya selama satu tahun penuh. Mereka bersembilan belas. Saya belum menggunakan kata “anak” untuk menyebut mereka saat itu. Entah mengapa, ka

Mama

Untuk kalian yang senang memanggil saya, Mama... Saya tidak ingat kapan persisnya ini bermula, yang jelas saat kalian masih duduk di kelas 10. Masih bayi. Masih kecil. Masih tersisa raut wajah bocah SMP dan tekad untuk menjadi penguasa kala SMA. Saya juga tidak ingat, kebaikan apa yang sebenarnya telah saya berikan kepada kalian saat itu. Saya hanyalah guru yang sekedar "numpang lewat" untuk mengajar Sosiologi dua jam setiap minggunya di hari Jumat pagi. Sisanya, kalian lebih banyak berinteraksi dengan homeroom kalian saat itu, Pak Suryono dan Miss Martha. Saya juga - jujur saja - tidak terlalu peduli dengan keberadaan kalian karena memang intensitas waktu yang saya habiskan lebih banyak dengan kakak-kakak kelas kalian. Jadi saya tidak heran jika Peter, Tristan, dan Jesline memanggil saya Mama. Atau Fadhiil yang memanggil saya Mami. Begitu juga dengan Komang dan Ado yang memanggil saya Ibu. Keseharian saya dipenuhi oleh mereka, bukan kalian. Makanya, saya tak pernah

Segenggam Pengalaman dan Kearifan Lokal dalam Local Immersion

Ada beragam cara melatih kemandirian sekaligus mengenalkan sisi kehidupan yang sarat kearifan lokal dan kebersahajaan kepada siswa. Salah satunya melalui kegiatan Local Immersion yang baru saja dilaksanakan 89 siswa kelas 11 SHS GPS pada tanggal 4-9 Oktober 2015 lalu di Desa Buntu, Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Kegiatan yang dihelat tahunan tersebut kali ini mengambil tema Let’s Learn Local Wisdom Through Social Experiences . Para siswa memang dikenalkan pada budaya setempat yang sama sekali berbeda dengan keseharian mereka.Para siswa juga ditempa dengan beragam kegiatan serta pengalaman yang bagi penduduk desa merupakan hal biasa, namun bagi mereka menjadi hal yang tak terlupakan. Kegiatan bermula pada hari Minggu, 4 Oktober 2015. Rombongan yang dikepalai Mr. Arif Suryono ini bertolak dari GPS tepat pukul 16.30, dengan harapan tiba di Desa Buntu tepat pada Senin pagi agar para siswa dapat langsung  berkenalan dengan keluarga asuh mereka dan memulai aktivitas. Da

Kisah Boneka Usang

Seorang anak kecil baru saja dibelikan boneka oleh ayah ibunya. Boneka itu cantik. Berambut cokelat, bermata bulat, berpipi merah, dan bergaun pink dengan motif bunga-bunga. Sang anak memberinya nama Monica. Dalam sekejap, Monica menjadi boneka kesayangannya. Selalu dibawa kemana pun ia pergi. Menemaninya tidur, selalu dirindukan saat ia harus pergi sekolah, dan dipamerkan ke seluruh makhluk hidup yang ia temui. Monica adalah segala-galanya. "Aku berjanji akan menyayangimu seumur hidupku," ucapnya kepada boneka yang hanya bisa menatapnya bisu itu. Seiring berjalannya waktu, sang anak bertumbuh besar. Ayah dan ibu membelikannya boneka lain ketika ia berulang tahun. Boneka putri raja, lengkap dengan mahkota keemasan, gaun mewah, dan sepatu berkilau yang seolah terbuat dari kaca. Rapunzel, demikian anak itu menamainya. Tak terbayangkan kebahagiaan sang anak. Kini ia memiliki Monica dan Rapunzel sekaligus untuk menemaninya setiap hari. Ia baru dapat tertidur lelap jika Moni

Menanti Sepi

Dalam sepi, anganku terbuai pada sebuah episode hidup yang telah mengantarku sampai ke adegan ini... Sudah lewat pukul 5 sore. Matahari mulai beranjak menuju peraduannya. Langit jingga menghias jarak pandangku ke batas cakrawala. Pemandangan yang telah dengan sabar kuamati sambil mengharap seseorang muncul di jalanan yang membelakangi arah mentari terbenam. Lelaki tinggi, berkulit kecokelatan, beralis tebal, yang tak pernah bisa lepas dari jaket kulit hitam dan motor Kawasaki Vulcan S kesayangannya. Ia tak pernah seterlambat ini. Yah, maksudku ia memang selalu terlambat menjemputku setiap aku pulang kuliah, namun tidak pernah selama ini. Apalagi hari ini ia secara khusus telah berjanji akan menjemputku. Kelas berakhir sejak pukul 3 dan aku sudah terlalu lama menunggu. Duduk termenung seorang diri di kursi taman, di bawah rindangnya pohon beringin yang semakin lama membuat bulu kudukku bergidik. Entah karena semilir angin yang semakin dingin atau sensasi mistis dari pohon

Fallen Angel (part 5)

Malaikat itu jatuh... Karena manusianya seolah tak membutuhkannya lagi. Maka ia pun patah hati dan putus asa. Berada di persimpangan, hendak memilih antara menjelma menjadi iblis atau mematahkan sayapnya dan turun ke bumi menjadi makhluk fana. Akan tetapi... Malaikat itu telah lupa. Manusia yang ia cintai memang meninggalkannya, namun selama ini ia telah menutup mata dari sekitarnya. Ia tidak melihat ada manusia-manusia lain yang membutuhkan sentuhan kasih sayangnya. Dan tepat di hadapannya, berdirilah seorang manusia yang teramat terpuruk sehingga benar-benar mendambakan pelukan sang malaikat. Ia terpekur, merefleksikan bayangan setiap episode kehidupannya... Ketika manusia yang ia cintai menjauhinya, ada manusia lain yang sangat membutuhkannya. Ketika manusia yang ia cintai mencari ketenangan di tempat baru, ada manusia lain yang mendamba ketenangan darinya. Haruskah ia berjuang kembali dan tetap menjadi malaikat yang penuh kasih sayang? Ataukah ia akhiri saja semua i

Fallen Angel (part 4)

(Jika) aku memilih menjadi manusia... "Tidakkah ada cara lain? Mengapa malaikat tak boleh mencinta?" ratapku. Kedua penjaga surga itu hanya menatapku dingin. Mereka kemudian menyeretku dengan paksa menuju gerbang keemasan tempat keindahan semestinya bermula. Namun bagiku, ini adalah akhir dari segalanya. Penjaga pertama membuka gerbang itu. Lalu ia menatapku dan berkata, "kamu tak akan membutuhkan keduanya lagi." Secepat kilat ia mengeluarkan pedang timah bertahta berlian dan menebas kedua sayapku sebelum aku mampu menyadarinya. Penjaga kedua mendorongku dan aku merasakan jatuh berkepanjangan dari ketinggian langit... Entah berapa lama aku terjatuh. Aku merasakan tanah yang keras berhiaskan rerumputan hijau yang terpangkas rapi. Aku seolah mengenali tempat ini. Kebun belakang seseorang yang rasanya tak asing. Pandanganku buram. Ragaku entah seperti apa rasanya. Sebentar... raga? Aku menyentuh kulitku. Ada guratan nadi berbayang dari balik kulitku yan

Fallen Angel (Part 3)

(Jika) akhirnya aku memutuskan untuk menjelma menjadi iblis... "Lucifer, masih ada kah tempat bagiku dalam kerajaanmu?" ratapku. "Jika hatimu mendendam, maka tempat itu selalu ada..." ucapnya tersenyum puas. "Akan jadi iblis macam apa aku? Aku hanya mendendam padanya. Hanya dia. Aku tak tahu cara membenci manusia-manusia lainnya." "Kau hanya perlu melihat jauh ke relung hati mereka dan menemukannya sendiri. Semua manusia pada dasarnya sama." "Mereka semua jahat?" tanyaku bingung. "Tentu saja." Maka aku pun tak mematahkan sayapku. Kubiarkan ia membara terbakar api neraka. Panas. Namun entah mengapa menimbulkan gejolak di dalam jiwaku. Aku merasa terlahir kembali. Aku turun ke dunia tak lagi sebagai sang penyelamat, melainkan kini sebagai sang penghancur. Kuhancurkan hati semua lelaki yang terjatuh pada daya pikatku. Kuhisap semua hasrat mereka hingga mereka tinggal raga dengan jiwa yang kosong. Mereka semu

Fallen Angel (part 2)

Lucifer berkata, "Menjelmalah menjadi pasukanku. Mendendamlah. Membencilah. Iblis adalah pasukan abadi yang tak terkalahkan." Namun aku bingung. Gabriel memberikanku pilihan sulit. Aku tak mau bertransformasi menjadi iblis. Aku tak ingin rasa amarah menguasai jiwaku, menggerogoti ragaku. Kecuali jika itu adalah satu-satunya cara untuk melupakan kesedihanku. Melenyapkan patah hati. "Untuk apa kamu mematahkan sayapmu dan merendahkan dirimu menjadi makhluk fana? Manusia yang kamu cintai telah menyakitimu. Kamu tak akan bertahan sedetik pun menghirup oksigen di muka bumi," goda Lucifer. Raja iblis itu benar. Manusia yang menyebabkanku begini. Ia membuatku jatuh cinta, kemudian membuangku begitu saja. Aku bahkan terusir dari surga karena malaikat tak semestinya jatuh cinta. Dan aku tak pernah bisa kembali kepada manusiaku itu, karena ia telah melupakanku. Tak membutuhkanku. Bahagia dengan dunianya sendiri, tanpa diriku. Mengapa aku mampu mengecap rasa cinta?

Fallen Angel (part 1)

I only have to help one man, and I have failed. I should have just help him and let him be a better human, but I fell in love with him instead. Why? An angel aren't supposed to fall in love. Angels don't have feelings. Their hearts are numb. So, why do I taste love? And why does it hurts so bad after he left me for another human?             So, Gabriel sent me away. He forbid me to come back to heaven. He said I only have two options, ask Lucifer to join his army or fall down to earth. Be a devil or a human. I guess some angels are meant to fail, to fall. I'm just a fallen angel. It's the same as death.

Three-in-One Project: Harapan #3 Merindukan Jupiter

Entah mana yang lebih menyakitkan, sebuah kebohongan atau janji yang tak dapat ditepati. Sebuah kebohongan, setidaknya sudah menunjukkan niat sang pembohong yang sejak awal hampir dapat dipastikan buruk. Namun sebuah janji? Ia dibuat dengan penuh harapan. Terkadang, janji yang patah berdampak jauh lebih buruk daripada kebohongan. Janji yang patah tak hanya membuat orang yang dijanjikan kehilangan kepercayaan, namun ia juga akan kehilangan harapan. Dan kamu pernah berjanji akan mencintaiku seluas jagad raya... ***** “Mungkin saat ini cintamu sebesar Jupiter, dan aku hanyalah Uranus. Namun cintaku akan terus berkembang melebihi Jupiter, sementara kamu hanya akan tetap menjadi Jupiter. Selalu menjadi Jupiter.” Aku ingat kamu mengucapkan kata-kata ini kepadaku, saat kita masih berseragam putih abu-abu. Saat itu kamu memang sering menggila, menyatakan perasaanmu kepadaku, kapan pun dan di mana pun. Akan tetapi aku tidak pernah menyukai kata-katamu itu. Semua hanya mem