Skip to main content

Three-in-One Project: Harapan #3 Merindukan Jupiter

Entah mana yang lebih menyakitkan, sebuah kebohongan atau janji yang tak dapat ditepati.

Sebuah kebohongan, setidaknya sudah menunjukkan niat sang pembohong yang sejak awal hampir dapat dipastikan buruk. Namun sebuah janji? Ia dibuat dengan penuh harapan. Terkadang, janji yang patah berdampak jauh lebih buruk daripada kebohongan. Janji yang patah tak hanya membuat orang yang dijanjikan kehilangan kepercayaan, namun ia juga akan kehilangan harapan.

Dan kamu pernah berjanji akan mencintaiku seluas jagad raya...


*****


“Mungkin saat ini cintamu sebesar Jupiter, dan aku hanyalah Uranus. Namun cintaku akan terus berkembang melebihi Jupiter, sementara kamu hanya akan tetap menjadi Jupiter. Selalu menjadi Jupiter.”

Aku ingat kamu mengucapkan kata-kata ini kepadaku, saat kita masih berseragam putih abu-abu. Saat itu kamu memang sering menggila, menyatakan perasaanmu kepadaku, kapan pun dan di mana pun. Akan tetapi aku tidak pernah menyukai kata-katamu itu. Semua hanya membuat seolah-olah aku tidak mencintaimu.

“Tentu saja aku selalu akan menjadi Jupiter,” kataku masam.

“Hahaha... Aku bercanda. Kamu memang akan selalu menjadi Jupiter. Jupiterku,” balasmu seraya tertawa.

Jangan salahkan aku jika aku memiliki nama yang aneh. Siapa pula yang akan menamai seorang anak perempuan dengan Jupiter, kecuali ayahku yang ahli astronomi dan tergila-gila dengan planet-planet di tata surya.

Saat Ibu tengah hamil aku, Ayah mengira bayi laki-laki yang akan lahir ke dunia. Makanya nama Jupiter sudah disiapkan sejak awal. Ayah berharap bayinya ini akan berjaya laksana planet terbesar atau raja segala dewa yang menguasai langit dan halilintar.

Nyatanya, yang lahir adalah aku. Bayi perempuan bertubuh mungil yang harus masuk inkubator selama dua minggu. Dan membuat Ibu menghembuskan nafas terakhir akibat perdarahan serius. Ayah kemudian menjadi gila akibat kematian Ibu. Cintanya yang begitu mendalam membuatnya terjun bebas dari atap kantornya yang berlantai dua puluh.

“Tidak ada planet yang lebih besar dari Jupiter, jadi tetap saja rasa cintaku yang paling besar,” kataku tak mau kalah.

“Mungkin memang bukan planet. Aku akan mencintaimu seluas jagad raya. Aku akan selalu menjagamu. Tak akan pernah meninggalkanmu.”

Begitulah kamu. Selalu membuatku terlena pada sosokmu. Kakak, kekasih, atau entah apa lah sebutan yang pantas bagimu. Kamu yang telah kukenal hampir seumur hidupku.

Kamu memang begitu mudah dicintai. Kamu begitu mudah dipercayai. Aku menggantungkan seluruh harapanku kepadamu.

Aku laksana planet Jupiter yang dalam galaksi bima sakti, memiliki pendar kehijauan yang tak kalah indah dari rona jingga planet Venus. Tak kalah kokoh laksana tameng merah planet Mars. Kilauku sempurna karena kasih sayang yang kamu berikan kepadaku.


*****


Aku ingat segalanya mulai berubah di tahun terakhir sekolah. Saat itu menjelang Ujian Nasional. Kamu membuatku terkejut dengan kata-katamu.

“Aku akan pergi, Jupiter. Tidak akan ikut Ujian Nasional,” ucapmu.

Aku terkejut bukan main. Entah petir baru saja menyambar otakmu hingga korslet atau kamu sudah benar-benar gila.

“Bandku, Jupiter. Kami dapat tawaran jadi band pembuka di festival band besar. Minggu depan kami sudah harus memulai segala persiapan untuk tur ke 26 kota. Ini kesempatan emas, tidak akan datang dua kali,” katamu lagi. Antusias. Aku seolah bisa melihat kilatan terpancar dari matamu.

Band adalah segalanya bagimu. Sejak kecil, aku tahu dengan pasti kamu akan memilih jalan menjadi musisi. Suaramu yang khas, kepiawaianmu bermain alat musik, dan kelihaianmu menggubah lirik benar-benar tak biasa.

Apalagi ketika kamu sudah naik ke atas panggung, duduk di hadapan piano, dan mulai bernyanyi diiringi bandmu, Razorblade. Entah dari mana kamu mendapatkan ide nama band setidak menarik itu. Silet, mungkin kira-kira seperti itu jika diterjemahkan ke bahasa ibu.

Ekspresi kegilaan serius yang terpancar dari sorot matamu saat bernyanyi, selalu membuatku terpana. Kamu bukan tipe penyanyi yang membuat pendengarnya merasa teduh, melainkan bersemangat dan penuh gejolak. Seolah ada daya magis jika tersentuh tatapanmu. Aku selalu membayangkan kamu akan melegenda seperti Freddie Mercury.

“Tetapi bagaimana dengan sekolah? Papa dan Mama?” Hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Padahal, banyak yang ingin kuutarakan. Jangan pergi, tetaplah bersamaku di sini. Temani aku. Aku menyayangimu. Aku tidak bisa hidup tanpa sosokmu yang selalu menaungiku. Aku bisa gila. Aku akan mati.

“Aku tak peduli dengan sekolah. Aku tak butuh ijazah. Aku ingin bermusik. Hanya itu tujuan hidupku. Musik dan kamu.” Kamu menatapku, lembut.

“Kalau begitu, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku...”

“Aku harus pergi, sayang. Ini mimpiku. Aku tahu Papa dan Mama akan mengusirku karena ini. Aku mohon setidaknya ada satu orang di dunia ini yang mendukung pilihanku. Kamu, Jupiter...”

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali mengikutimu ke mana pun kamu pergi. Akan tetapi aku tak berani. Aku tak punya nyali meninggalkan Papa dan Mama, orang tuamu yang telah mengasuhku sejak kecil. Hanya mereka yang sudi menerimaku karena tak tega melihatku, putri sahabat mereka, terlempar ke sana-sini tanpa ada sanak saudara yang mau menyayangi. Aku harus menghormati mereka sepanjang hidupku.

“Jupiter, percaya kepadaku. Aku akan kembali. Satu atau dua tahun, entahlah. Tunggulah aku. Tolong jaga Papa dan Mama. Aku menyayangi mereka.”

“Katamu kamu mencintaiku seluas jagad raya. Lebih besar dari planet Jupiter. Nyatanya kamu berbohong.”

“Tidak, aku memang mencintaimu. Lebih besar dari planet Jupiter. Aku adalah jagad rayamu.”

“Jika kamu pergi, maka jagad rayaku binasa. Planet Jupiter tak akan bisa bernaung tanpa jagad raya. Tidak akan pernah ada Jupiter atau planet apa pun tanpa jagad raya. Jagad raya pun akan hampa tanpa planet Jupiter. Kita saling melengkapi. Ini sama saja dengan mati.”

“Relakan saja aku, Jupiter. Aku akan kembali suatu hari nanti. Hanya untukmu. Aku berjanji...”

Itu adalah kata-kata terakhirmu. Kamu pergi tanpa pamit kepada Papa dan Mama. Mereka teramat kecewa. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Tak juga pernah bisa merelakanmu, karena aku tak pernah merasakan kasih sayang sepanjang hidupku, kecuali kasih sayang yang kamu berikan.

Dan kini, hidupku menjadi suram. Planet Jupiter perlahan-lahan kehilangan pendar cahaya kehijauannya yang pada saat-saat tertentu, mampu terlihat dengan indahnya dari bumi.


*****


Lima tahun.

Aku terus menantimu selama lima tahun.

Papa mengirimku ke sekolah seni di Paris untuk menekuni impianku. Sedari kecil bakat seni memang mengalir di darahku. Aku paling senang melukis dengan menggunakan cat minyak. Di media apa pun, terutama kanvas. Kata Mama, Ibuku dahulu adalah seorang perupa. Beberapa patung pahatannya masih dipamerkan di galeri seni kecil di sudut kota.

Satu tahun pertama usai lulus SMA, aku menolak pergi ke Paris dan alih-alih belajar di institut seni lokal. Namun sifatku yang semakin lama semakin diam dan lukisanku yang terlalu suram membuat Papa khawatir dan akhirnya mengantarku sendiri ke Paris di tahun berikutnya. Kata Papa, aku memerlukan perubahan suasana. Padahal yang kubutuhkan hanyalah kamu kembali dalam hidupku.

Sedari dulu Papa dan Mama memang selalu begitu. Khawatir, cemas, kasihan. Hanya itulah yang kurasakan dari mereka. Mereka memang menyayangiku, namun berdasar rasa iba. Tidak seperti dirimu yang selalu berbagi pikiran dan perasaan denganku.

Sebenarnya tak heran Papa khawatir. Orang-orang di institut seni lokal menjulukiku Dewi Kematian karena selalu melukis apocalypse. Planet Jupiter terhantam meteor, jagad raya yang tersedot ke lubang hitam, dan segala skenario kiamat lainnya. Apocalypse versiku, yang selalu melibatkan planet Jupiter dan semesta. Aku dan kamu.

Tiga tahun aku belajar di Paris. Sepi. Tak ada siapa pun. Tak ada pula kabar darimu. Aku hanya sempat mengikuti perkembangan di media sosial, band Razorblade berhasil merilis album di tahun kedua aku belajar di Paris. Tiga tahun setelah kamu meninggalkanku. Nama album perdanamu, Jupiter.

Aku coba menghubungimu, berharap bahwa album itu adalah sebuah pertanda bahwa kamu benar-benar merindukan dan akan kembali kepadaku. Akan tetapi kamu tak merespon semua akun media sosialmu. Nomor teleponmu pun sepertinya sudah berubah. Kamu tak pernah bisa dihubungi semenjak hari di mana kamu meninggalkanku.

Aku pulang ke Tanah Air ketika aku dengar bandmu akan manggung di ibukota. Aku tahu Papa dan Mama menentangku, tetapi aku membeli tiket dan datang ke konsermu. Berharap bisa berjumpa denganmu. Berbicara, mendekap, atau mungkin sekedar menatap wajahmu. Apa pun.

Dan di situlah kamu. Di atas panggung. Di depan piano. Masih dengan ekspresi kegilaan serius yang menjadi ciri khasmu. Namun tatapanmu terasa dingin. Tidak hangat seperti yang selalu kurindukan. Kamu seperti orang yang berbeda. Aku seolah tak mengenalmu.

Aku tak sanggup menyaksikan konsermu hingga selesai. Aku menunggu dalam diam di belakang gedung konser, di dekat pintu keluar artis. Entah berapa lama aku berada di sana hingga kilatan kamera tiba-tiba mengejutkanku. Serombongan jurnalis foto mengerubungi pintu keluar dan di sana lah sosokmu berada. Berdiri kaku, melihat wajahku. Seolah melihat hantu.

Aku memanggil namamu, namun kamu berpaling. Berbalik memunggungiku. Pergi meninggalkanku sekali lagi.

Siapa kamu sebenarnya?

Mengapa kamu tak pernah mencariku?

Mengapa kamu biarkan cahaya planetku semakin redup?


*****


Selepas Paris, aku kembali bersama Papa dan Mama. Akan tetapi aku hanya melukis. Setiap hari aku melukis. Satu lukisan butuh waktu berminggu-minggu untuk kuselesaikan karena teknik yang kupelajari dari para profesorku selama di Paris. Aku semakin mahir.

Lukisanku tak lagi bertutur soal apocalypse planet Jupiter dan jagad raya. Aku sudah mulai bisa melukis mengenai kehidupan. Mengenai manusia yang berpijak di bumi. Namun auranya semakin suram. Selalu ada rona kesedihan yang terpancar dari setiap karyaku. Dan jiwaku semakin mati.

Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. Aku yang sedang menatap kosong pada karya terbaruku, terkejut seketika. Mama.

“Jupiter, kurator itu datang lagi ke rumah,” kata Mama seraya menerobos masuk ke apartemen mungil yang kusulap menjadi studio lukis.

“Minta dia jangan datang lagi, Ma. Aku tidak tertarik pada apa yang ia tawarkan sejak tiga bulan lalu.”

“Beri dia kesempatan untuk menilai lukisanmu, Jupiter. Dia atau entah berapa kurator lainnya yang selalu datang mengganggu kesibukanku di dapur.”

“Tidak, Ma. Aku benar-benar tidak tertarik. Lukisanku tidak untuk dipamerkan atau pun dijual. Lukisanku hanya untukku. Mereka semua yang kutolak seharusnya sudah mengerti itu.”

“Mengapa tak kamu coba dulu, Jupiter? Pilih satu kurator dan satu galeri. Mereka semua berkata jika lukisan-lukisanmu pantas dipamerkan.”

“Mereka belum pernah melihat lukisanku secara langsung, Ma.”

“Justru itu. Mereka rata-rata mendapatkan referensi dari profesormu di Paris dan melihat katalog hasil ujian akhir di kampusmu itu. Mereka ingin menilai langsung dan mungkin memintamu untuk memamerkan karya-karyamu di galeri mereka.”

“Tidak, Mamaku sayang.”

“Lalu lukisan-lukisan ini akan kamu biarkan saja bertumpuk di studiomu seperti ini? Jupiter, kamu lama-lama bisa keracunan cat minyak di dalam ruangan sempit ini!”

“Tidak akan, Ma,” kataku tertawa.

“Ah, Jupiter. Kami mengkhawatirkanmu. Mengapa kamu tidak pulang saja dahulu? Apartemen ini tidak sehat untukmu. Terlalu jauh dari rumah. Demi Tuhan, kaki tuaku tak sanggup lagi rasanya jika harus menyetir mobil kemari!”

“Di sini aku tak akan mendapat gangguan. Lagipula aku sedang menyelesaikan karya terakhirku. Ini akan menjadi karya besar, Ma,” kataku seraya menunjuk pada kanvas premium berukuran 100 x 150 cm yang mulai menampakkan guratan-guratan cat minyak berwarna hijau.

“Jupiter...” Mama menatap lukisan itu dan memperlihatkan wajah cemasnya. Ada sesuatu dalam lukisanku yang membuat Mama gusar, dan aku tahu apa itu.

“Minta mereka semua pulang saja ya, Ma? Jika mereka datang lagi.” Aku mengecup pipi Mama dan mengantarkannya keluar dari studio lukisku.

Aku tahu Mama bermaksud baik. Namun aku benar-benar sedang ingin sendiri dan menyelesaikan karyaku ini. Sebuah karya yang menurutku adalah akhir dari segalanya. Sebuah karya yang sejak tahun lalu masih belum sanggup kurampungkan. Terlalu berat menyelesaikannya. Terlalu banyak emosi yang terlibat. Aku bisa saja gagal.

Sebuah karya terakhir yang menampakkan pendar hijau planet Jupiter, setelah bertahun-tahun aku tak pernah melukisnya kembali.


*****


Sore itu begitu dingin. Semilir angin menusuk tulangku. Meniup lembut setiap helai rambut panjangku. Ada perasaan takut menggerogoti batinku, namun keputusanku sudah bulat. Aku tak pernah merasa seyakin ini sepanjang hidupku.

Jika maha karyaku telah selesai, maka selesai pula lah arti hidupku.

Dan di sini aku berada. Di atap gedung  apartemenku. Lantai dua puluh. Bersiap di tepian atap. Persis seperti Ayah.

Tiba-tiba pintu menuju atap terbuka kencang. Kamu.

“Jupiter...”

Aku tak mengerti, apa yang tengah kamu lakukan di sini? Apakah ini hanya mimpi? Bukankah konon katanya kita bisa melihat hal-hal yang paling kita rindukan dalam hidup menjelang detik-detik terakhir? Menjelang penghabisan.

“Jupiter, maafkan aku. Aku berusaha mencarimu. Sudah beberapa hari ini aku mencoba mendatangi Mama dan  memaksanya memberitahuku tentangmu.”

Aku tak mampu berkata apa-apa.

“Aku masuk ke dalam studiomu. Dan aku melihat lukisan itu...”

“Lukisan Dewi Jupiter,” kataku akhirnya.

“Lukisanmu membuatku takut. Aku punya firasat yang kuat aku akan menemukanmu di sini. Dan inilah yang kutakutkan.” Kamu mencoba mendekatiku.

“Jangan mendekat!” Aku berkata sembari menatap tanah yang rasanya jauh sekali dari jangkauanku. Aku masih memunggungimu. Tak sanggup melihatmu.

“Jupiter...”

“Kenapa mencariku sekarang? Ke mana saja kamu selama ini? Lima tahun lalu saat kamu meninggalkanku? Dua tahun lalu usai konser itu? Mengapa?”

“Aku tahu aku salah, Jupiter. Maafkan aku. Entah apa yang ada dalam pikiranku selama ini.”

“Aku tahu, aku tak pernah punya arti dalam hidupmu. Aku selalu kalah dengan bandmu, dengan ambisimu bermusik. Dan saat semua sudah berada dalam genggamanmu, aku tak diperlukan lagi. Aku terhapus dalam hidupmu. Begitu juga Papa dan Mama.”

“Tidak seperti itu. Dengar dulu..”

“Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi. Semua sudah cukup jelas. Aku menggantungkan harapanku padamu karena kamu berjanji tak akan pernah meninggalkanku. Tapi nyatanya...”

“Turunlah, Jupiter. Kita mulai lagi semuanya dari awal.”

“Apa lagi yang harus dimulai dari awal? Sejak kecil aku selalu menggantungkan hidupku kepadamu. Kamu yang melindungiku. Kamu yang mengajariku banyak hal. Aku tak kenal siapa-siapa selain kamu. Ayah dan Ibu sudah tiada. Papa dan Mama terlalu sibuk. Tak ada yang mau berteman denganku. Aku hanya memiliki kamu!”

“Aku salah, Jupiter. Aku mohon berikan aku satu kesempatan lagi untuk memulai dari awal.”

“Memulai apa lagi? Apa kamu tahu rasanya hidup sendirian? Selalu berharap kamu kembali, tetapi harapanku sia-sia. Tidak tahukah kamu sakitnya jika harapan kita mati? Rasa sakit ini tak akan bisa terukur dengan apa pun!”

“Aku selalu ingin kembali kepadamu. Aku selalu mengingatmu setiap saat. Bahkan saat aku bermusik, kamu selalu ada dalam setiap nada dan tarikan nafasku.”

“Justru itu lah yang membuatku kembali berharap. Namaku dalam karyamu. Namun rupanya sia-sia.”

“Kamu harus mempercayaiku, karena aku bersungguh-sungguh.”

“Lalu, dua tahun lalu? Kamu bahkan tak mau menghampiriku.”

“Aku terlalu terkejut melihatmu. Saat itu aku tidak siap menjelaskan kepadamu tentang diriku. Aku malu pada dirimu.”

“Ah, sudahlah. Aku salah sudah percaya kepadamu. Aku salah terlalu berharap. Hidupku sudah tak ada artinya. Aku terlahir ke dunia tanpa siapa-siapa. Dan kini aku pun tak perlu siapa-siapa.”

“Jupiter, aku masih mencintaimu. Lebih besar dari planet Jupiter. Seluas jagad raya. Aku adalah jagad rayamu. Aku mohon, turunlah.”

Aku tersenyum simpul. Aku membalikkan badan dan berdiri di hadapanmu. Menantangmu. Menatap matamu lekat-lekat.

“Planetku sudah lama tak bercahaya lagi.”

Lalu aku mundur selangkah dan terbang membelah udara dingin sore itu. Kamu berlari menghampiriku, namun semua itu sudah terlambat. Seharusnya kamu menyelamatkanku sedari dulu. Lima tahun lalu.

Aku memejamkan mata. Hal yang terakhir kulihat adalah matamu yang penuh kesedihan, kemarahan, dan di atas semua itu, keputusasaan. Aku tahu dengan pasti, kamu akan kehilangan.

Jagad raya akan kehilangan satu planet besar yang meledak tiba-tiba karena terhantam meteor. Jagad raya akan berwarna hijau, lalu perlahan-lahan cahaya itu semakin redup hingga tak menyisakan apa-apa lagi. Hitam. Hampa.

Persis seperti maha karyaku. Langit kehijauan yang menjadi latar Dewi Jupiter yang kugambarkan terjatuh dari langit. Tertidur abadi.


*****


Galeri seni di sudut kota nampak ramai malam itu. Puluhan lukisan dari seorang pelukis yang tak dikenal terpampang memenuhi galeri. Lukisan-lukisan yang banyak bercerita soal harapan dan kesedihan. Sebuah grand piano diterpa lampu sorot berada tepat di tengah galeri.

Seorang lelaki berambut cokelat ikal duduk di hadapan grand piano itu. Ia terlihat begitu kontras dengan citra galeri yang klasik dan anggun. Ia nampak liar dengan anting perak di telinga kirinya, jaket kulit hitam, dan sepatu boot bergerigi.

Lelaki itu kemudian mulai bernyanyi. Sebuah lagu yang menyiratkan keputusasaan. Ekspresinya begitu menjiwai, seolah ia sedang bertutur, bukan sekedar bernyanyi.


Now she’s gone, out of this world
She took everything from me, except my name
Some things in this life I just can’t change
Some things I just realize when it’s already too late
Jupiter, when your love is gone...
Who will save me from everything in this world now?


Puluhan pasang tangan bertepuk riuh usai nada terakhir dari grand piano itu ia mainkan.

“Katakan pada kami, mengapa album kedua kalian dirilis di galeri seni seperti ini? Jauh dari citra musisi seperti kalian yang selalu hingar bingar dan urakan?” Seorang perempuan yang berada di deretan kursi depan bertanya kepada sang lelaki. Kilatan kamera menghujam dari kanan kiri.

“Kami berbeda dengan band lain. Kami ingin menunjukkan bahwa musik kami bukan sekedar hiburan, melainkan juga murni seni,” ucap sang lelaki.

“Lalu, apa nama album kedua ini? Sampulnya masih polos. Hanya ada gambar perempuan yang nampak seperti tertidur di tengah langit yang berwarna hijau?” Seorang perempuan di deretan tengah bertanya.

“Itu adalah Jupiter, dewa halilintar dalam mitologi Romawi. Raja segala dewa yang menguasai langit. Maka ia pun kembali ke langit,” kata lelaki itu lagi.

“Bukankah dewa Jupiter semestinya lelaki?” Kali ini lelaki yang berada di deretan tengah yang bertanya.

“Jupiter kami adalah perempuan.”

“Lalu nama albumnya?” kata perempuan yang di deretan tengah tadi, menanti pertanyaannya terjawab.

Merindukan Jupiter.”

“Apakah ada kaitannya dengan album pertama?” tanya seseorang.

“Mengapa Razorblade senang sekali dengan nama Jupiter?” tanya seseorang yang lain.

“Apakah ada inspirasi khusus dalam penggarapan album ini?” tanya seseorang yang lainnya lagi.

Sebelum serbuan pertanyaan datang kembali, lelaki itu bangkit dari grand piano, hendak beranjak pergi.

“Ini adalah album yang didedikasikan kepada perempuan yang melukis semua lukisan yang dapat Anda semua nikmati malam ini. Ia adalah pelukis yang hebat. Perempuan yang hebat. Yang akan selalu dirindukan,” ucapnya di hadapan semua jurnalis yang hadir malam itu.

Dengan perasaan hampa, lelaki itu pergi meninggalkan galeri. Ia menembus gelapnya malam dengan berjalan kaki. Sinar rembulan seolah mengiringi langkah sepinya. Hanya sinar yang temaram, tak ada pendar kehijauan yang indah di langit malam ini.

Jupiter memang sudah lama tiada, pikirnya. Dan ia pun terus berjalan membelah malam yang dingin, sedingin hatinya saat ini.


*****


Tentang Penulis:

Anitya Wahdini. Selalu menyukai makna harapan. Memilih dengan pasti Hope di antara “Fight, Dream, Hope, Love.” Baginya, harapan adalah sesuatu yang membuat hidup menjadi berarti dan memiliki tujuan. Untuk apa kita hidup di dunia jika tanpa harapan? Harapan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, diimpikan, dan juga dicintai.

Sangat terkesan dengan novel klasik yang ia baca kala masih duduk di bangku SMP, Little Women karya Louisa May Alcott. Kebersahajaan keluarga yang memiliki empat anak gadis mampu menginspirasi untuk lebih menghargai hidup dan mencintai sesama. Kisahnya begitu sederhana, namun maknanya sangat mendalam. Ingin menjadi pribadi seperti itu, sederhana namun memiliki arti bagi orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha