Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Sebuah Akhir

Aku sudah tahu jika pada akhirnya, ia yang akan pergi. Bukan aku, tetapi dia. Setiap orang yang ditakdirkan untuk singgah di dalam hidupku, merasakan kasih sayangku, menikmati kedalaman cintaku, menyesap seluruh jiwaku, memiliki ragaku, pasti akan pergi. Mereka akan berpaling dan meninggalkanku. Seperti dirinya. Masih terekam jelas dalam ingatanku. Tubuhnya yang menantang hujan, hanya untuk menemuiku, dan berkata, "kita sudah tidak bisa bersama lagi." Jika aku boleh memilih kapan matiku, aku memohon kepada Tuhan untuk mengambil nyawaku sekarang. Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Tubuhku terpaku sesaat. "Aku mencintaimu," ucapku lirih. Hanya itu yang terlintas dan sanggup kuucapkan. "Kamu pasti bisa melupakanku. Kita hanya bersama sementara. Begitu banyak perbedaan yang tidak bisa lagi kuhadapi. Kamu telah berubah," katanya memberi alasan. Aku bingung, karena aku masihlah gadis yang sama yang berjumpa dengannya hampir

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s

Mengapa Kamu Begitu Marah, Nak?

Hidup memang tak selalu berjalan dengan mulus. Terkadang kita harus tersandung, bahkan tak jarang terjatuh dengan keras. Namun kita punya dua pilihan setelah itu. Apakah kita mau membiarkan diri kita tetap merasakan sakit, atau apakah kita mau berjuang untuk berpijak kembali di atas kaki kita sendiri. Saya mengerti, anakku. Kamu tengah berada di persimpangan jalan untuk memutuskan apakah kamu mau bangkit atau tetap terlena dalam rasa perih yang mengundang belas kasihan orang. Kamu selalu berkata bangkit! Namun perilakumu terkadang begitu mengkhawatirkan. Saya mengerti, anakku. Hidupmu memang keras. Kamu bahkan merasakan kepedihan sebelum mengenal arti keluarga dan kasih sayang. Mungkin itu yang membuatmu selalu berlari mencari rasa nyaman. Saya mengerti, anakku. Kamu berhak marah. Marah pada orang-orang di sekelilingmu, marah pada garis takdir, marah pada dunia. Bahkan marah pada dirimu sendiri. Mungkin bagimu hidup ini tak adil, tetapi saya selalu mengingatkan, lihatlah s

Ketika Menulis dan Membaca Menjadi Tantangan yang Menyenangkan

Menulis dan membaca. Tak perlu diragukan, seorang remaja yang duduk di bangku SMA pasti mampu melakukan keduanya. Pasalnya, akan terlihat seperti manusia yang tak bernafas jika murid berseragam putih abu-abu tak mampu menulis dan membaca. Jangankan mereka, dua anak saya yang masih balita saja sudah mulai terbata-bata menghafal alfabet dan mengeja dua huruf sekaligus. Ba bi bu be bo. Ca ci cu ce co. I-ni i-bu Bu-di. Apalagi murid SMA, tentulah sudah khatam untuk urusan yang dua ini. Namun apa mau dikata, setiap murid-murid saya yang paling manis sedunia ini saya tugaskan untuk melakukan riset di internet dan menuliskannya kembali  menjadi sebuah research paper , hasilnya tak sedikit yang copas alias copy paste . Comot sana, comot sini, dan sim salabim! Jadilah tulisan yang dari kejauhan nampak meyakinkan berlembar-lembar kertas hvs. Memang, semakin mudahnya arus informasi dan teknologi membawa dampak tersendiri bagi sistem belajar mengajar. Jika dahulu saya yang masih d

Malaikat Tak Bersayap

What is a mother’s love to you? Do you feel a mother’s love? From whom do you feel a mother’s love? Beberapa minggu belakangan, benak saya dipenuhi oleh pertanyaan mengenai apa makna kehadiran ibu dalam kehidupan seseorang. Saya tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang, di mana peran ibu sangat besar. Saya sangat bersyukur karakter ibu sangat mempengaruhi hidup saya dalam artian yang positif. Saya tak pernah merasa kekurangan karena ibu selalu ada di samping saya. Bagi saya, ibu adalah malaikat. Malaikat tanpa sayap, mungkin. Dan saya tumbuh dengan asumsi bahwa semua orang tumbuh bahagia di samping ibunya seperti saya. Hingga saat akhirnya saya sendiri menjadi seorang ibu. Saya menemukan bahwa menjalani peran sebagai ibu tidaklah mudah. Ibu tak boleh sekali-sekali melepaskan pandangan dan hati dari anak-anaknya, walaupun keinginan dan tuntutan di sekelilingnya menghimpit. Saya kemudian mengambil keputusan, meninggalkan kehidupan pribadi yang cukup mapan demi lebih

Untuk Mereka yang Sedikit Terlupakan

Saat sebuah sistem terasa begitu membebani, tentulah kita akan mengupayakan seribu satu cara untuk lari darinya. Akan tetapi semakin kita mencoba lari, semakin erat pula sistem itu mengikat tangan dan kaki kita. Pada akhirnya, kesempatan untuk lari menjadi semakin sulit dan terasa mustahil. Dalam sistem rapuh di mana saya tengah berada, ada satu alasan yang membuat saya tak bisa lari darinya. Bukan uang, bukan jabatan, bukan pula popularitas. Alasan itu adalah mereka, para murid. Tak heran jika banyak dari mereka yang kini telah lulus masih saja heran melihat saya bertahan dalam sistem itu. Bukannya betah, melainkan tak sanggup meninggalkan. Sekira dua tahun lalu, saya telah memantapkan hati untuk menjadikan angkatan 8 sebagai angkatan terakhir yang tersimpan di dalam relung hati. Saya pun bertekad setelah melepas mereka menamatkan SMA, saya pun akan tinggal landas dari sistem yang semakin menjerat ini. Lulus bersama mereka. Maka sejak angkatan 9 hadir untuk pertama kaliny

Semua Butuh Pelukan Sesekali

Empat tahun penuh saya belajar ilmu Antropologi di bangku perkuliahan. Saya belajar bahwa masyarakat dalam bentuk apa pun memiliki nilai-nilai luhur yang mempengaruhi perilaku mereka. Mengapa masyarakat A seperti ini dan mengapa masyarakat B seperti itu, semua dapat dijelaskan dengan gamblang melalui kebudayaan yang mereka miliki. Lalu, saya juga sering mendengar tentang masyarakat kita yang mengusung budaya timur. Namun yang saya tak pernah pahami seutuhnya, bagaimana kah wujud budaya timur itu sesungguhnya? Budaya yang didominasi nilai-nilai Islam? Budaya asli Indonesia yang diadopsi dari budaya suku bangsa tertentu? Atau apa? Hal yang saya telah pelajari selama ini, budaya suku bangsa di Indonesia berbeda-beda. Di Nanggroe Aceh Darussalam misalnya, nilai Islam begitu dijunjung tinggi sedari dulu.Sudah barang tentu para perempuan di sana diwajibkan berhijab. Akan tetapi di belahan timur Papua, masyarakat masih ada yang mengenakan koteka – nyaris tanpa pakaian konvensional se

Morning Reflection: Selasa, 26 Agustus 2014

Suatu hari, salah seorang murid saya pernah bercerita. “Miss, cita-cita saya yang sesungguhnya adalah menjadi dokter,” katanya. Oh, to be a doctor is a very common dream. Everybody wants to be a doctor. Rata-rata beralasan karena nyari uangnya gampang, ekonominya bakal terjamin, dan hal lainnya yang tidak jauh-jauh dari masalah status sosial ekonomi di masyarakat. “Saya ingin menjadi dokter karena saya benar-benar ingin menolong orang yang tidak mampu. Saya kasihan lihat orang miskin mau berobat susah. Rumah sakit dan obat mahal semua,” katanya lagi. I felt so amazed. It feels like talking to an angel. Heaven on earth, I really couldn’t believe it. Maka sebagai guru yang baik, saya kemudian mendorongnya untuk masuk IPA saat penjurusan. Apalagi hasil psikotesnya juga menyatakan bahwa anak ini lebih bisa berkembang di jurusan IPA daripada di IPS. Masuk IPA, kemudian masuk Fakultas Kedokteran, dan benar-benar mengejar mimpinya menjadi dokter. Sesederhana itu. Namun ya

For My Girls

Saya tidak memiliki anak perempuan. Mungkin belum, tapi rasanya saya tidak akan pernah merasakan anak perempuan dalam dekapan saya seumur hidup. Namun dunia saya tidaklah sepi. Dunia saya tetap diwarnai keceriaan anak-anak perempuan. Dikelilingi canda tawa mereka, lembutnya hati mereka, sakitnya patah hati, dan sensasi cinta pertama. Mereka itu adalah kalian. Murid-murid yang saya kenal sejak kelas 10, dan tinggal menanti hitungan hari untuk saya lepas di penghujung waktu. Masih ingat foto yang saya post di timeline beberapa saat lalu? Foto yang membuat kalian gempar. Kesal sekesal-kesalnya. Marah, sekaligus sedih. Kalian merasa, betapa pun kalian selalu ada untuk saya, tetapi hati saya bukan sepenuhnya milik kalian. Lima jejaka dalam foto turut kalian benci saat itu. Pikiran kalian salah besar. Kalian selalu ada di hati saya. Kalian lah orang-orang pertama tempat saya berbagi asa, berbagi pikiran, berbagi kebahagiaan, kesedihan, juga tangisan. Masih ingat di sebua

(Bukan) Serigala Terakhir

Semua orang, mulai dari anak SD yang baru belajar kosa kata hingga guru seperti saya, tahu dengan jelas bahwa munafik bukanlah kata yang baik. Setidaknya, banyak orang yang menggunakan kata munafik untuk menunjukkan perbuatan yang tidak baik. “Hey, munafik banget sih lo jadi orang!” kata seseorang saat ia merasa temannya telah membohonginya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata munafik memiliki arti berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dalam hati tidak. Selalu mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Bermuka dua. Di dalam Al-Quran bahkan, kata munafik merujuk pada orang-orang yang mengaku beriman padahal mereka dalam hatinya kufur. Ciri-ciri orang munafik di antaranya adalah bermuka dua, berlidah dua, berdusta, dan sumpah palsu. Bayangkan, saya sampai membuka kitab suci demi mencari definisi kata yang satu ini. Kesimpulannya, munafik itu tidak baik. Lalu demi Tuhan, mengapa segerombolan anak lelaki yang tahun lalu tergabung

My Kids Has Grown Up

Berbagai kejadian dalam kehidupan di sekolah sejauh ini membuat saya berpikir: I’ve seen my kids grown up. They became mature in their way of thinking. They became true to their friends. They know right and wrong. They became independent. I am so proud, yet I feel a bit lonely noticing that they don’t need me as much as before. Kata-kata ini memang ditujukan kepada semua mereka yang saya anggap anak-anak saya, yang merasa anak-anak saya, yang pernah menjadi anak-anak saya, dan yang akan ditakdirkan menjadi anak-anak saya. Semua, tanpa terkecuali. Kata-kata ini terlintas begitu saja dalam benak saya setelah suatu sore, seorang anak datang kepada saya dan berkata, “Miss, saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya sudah tidak lagi memiliki teman di mana pun.” Hubungan saya dengan anak ini sebenarnya tidaklah terlalu akrab. Dari seluruh murid yang saya miliki saat ini, anak tersebut tak pernah identik sebagai anak saya. Tidak seperti Peter dan Willy yang hingga kini o

Lima Business Satu Lucu-Lucu...

Ada yang menggelitik setiap saya mendengar nama kelas ini disebut. Lima Business Satu. 5 Bs1. Oh, saya bukan homeroom mereka. Sama sekali bukan. Saya bahkan bukan homeroom kelas 12 atau kelas mana pun tahun ajaran ini. Akan tetapi, tetap saja kelas ini menggelitik. Di kelas yang berawak 21 anak ini, saya menghabiskan waktu paling panjang dalam satu minggu dibandingkan kelas 12 lainnya. Bayangkan, delapan jam per minggu! Delapan jam yang dibagi menjadi tiga hari, dengan satu hari istimewa di mana saya harus bertatap muka dengan anak-anak ini selama empat jam sekaligus. Oh, Tuhan tolong saya! Sebenarnya kelas ini cukup menyenangkan. Saya bangga bisa mengajar di kelas ini karena untuk pertama kalinya saya mengajar mata pelajaran Sosiologi di kelas 12. Pelajaran UN, lho! Apalagi ada materi Metode Penelitian Sosial dan menjadi pembimbing utama bagi anak-anak dalam menyusun tugas akhir. Bersanding dengan guru Sosiologi senior yang telah memiliki pengalaman mengajar selama 23 tahun.

Kangen

Apa yang ada di dalam pikiranmu saat mendengar kata kangen? Kalau saya, sederhana saja. Kata ini mengingatkan saya pada judul lagu yang mengantarkan grup band kesohor Dewa 19 meniti tangga popularitas di dunia musik Tanah Air. Namun saya tak akan berbicara panjang lebar soal Kangen versi lagu. Saya bukan musisi. Bukan pula pakar atau pengamat musik yang pantas untuk menganalisa lagu tersebut. Kata kangen terlintas dalam pikiran saya sejak akhir pekan lalu. Saat bercengkerama dengan beberapa anak murid perempuan saya – Andrea, Saskia, Icha, dan Cathalin. Kala itu kami tengah makan siang bersama di kantin sekolah. Biasa saja, tak ada yang istimewa. Hingga tanpa sengaja dan entah bagaimana awal mulanya, kami membicarakan hari pertama di kelas 1E. Saat masing-masing dari kami belum mengenal satu sama lain. “Kayaknya nggak ada kelas yang sekompak itu lagi deh,” ucap salah satu dari mereka. Saya lupa siapa, tetapi saya ingat kemudian Andrea menimpalinya. “Inget nggak pas har

Kartini Celebration 2014 Global Prestasi Senior High School

Derap langkah sembilan pasang kaki begitu menggema pagi itu. Sorot mata seluruh peserta upacara seolah tak bisa lepas dari setiap gerak-gerik para pemilik sembilan pasang kaki tersebut. Atribut mereka pun terlihat gagah. Putih dan putih, selaras dengan paras feminin mereka, meski kegagahan maskulin tak luput mewarnai penampilan mereka. Dengan mantap, mereka berderap dari pintu gerbang Global Prestasi School menuju tiang bendera di tengah lapangan upacara. Salah seorang di antara mereka, yang berdiri di posisi tengah, membawa nampan berisi bendera. Sesampainya di depan tiang bendera, mereka mengatur formasi dan mulai mengibarkan sang merah putih. Bendera pun naik diiringi penghormatan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya .  Kesembilan orang itu adalah Haldhianty Fitri (4 Science2), Yasmin Nur Fairuz (4 Science3), Hinggista Carolin (2 Science2), Kezia Angela (2 Science3), Rocheline Jasmine (4 Science2), Nagita Palma (4 Science1), Nindya Daniswara (2 Business2), Mutiara Niandranti