Skip to main content

Demits: Bocah-Bocah Tengil Kesayangan

Love can happen in desperation...

Rasa sayang memang bisa tumbuh melalui berbagai cara, beragam bentuk, dan beraneka cerita. Mulai dari seorang anak yang sakit saat tengah mengikuti kegiatan sekolah, kemarahan saat pembagian workbook di kelas, hingga raut wajah kecewa di pinggir lapangan futsal usai mengalami kekalahan. Bahkan dalam titik rendah kehidupan seseorang pun, rasa sayang bisa muncul seketika tanpa mengenal logika.

Dan dengan mereka, saya harap semua ini belum terlambat...

Saya pertama kali harus bersentuhan dengan mereka saat mereka duduk di kelas 11. Memang sebagian dari mereka telah saya ajar ketika kelas 10, namun perumpamaan yang tepat kala itu adalah mereka sekedar “numpang lewat” dalam hidup saya. Siapa sangka jika kemudian jalan hidup berkata lain?

Pada hari itu, saya menerima mereka semua menjadi tanggung jawab saya selama satu tahun penuh. Mereka bersembilan belas. Saya belum menggunakan kata “anak” untuk menyebut mereka saat itu. Entah mengapa, kata itu terasa berat untuk diucapkan oleh mulut saya, karena hati saya belum bisa menerima mereka sepenuhnya. Saya masih ingin bersama anak-anak saya yang lain, termasuk yang sudah berstatus sebagai alumni. Seolah tidak ada lagi ruang dalam hati saya bagi mereka, XI Business1. Padahal saya semestinya menjadi ibu bagi mereka selama di sekolah.

Hingga berbulan-bulan kemudian, saya masih merasa kosong. Memang, setidaknya saya cukup perhatian terhadap mereka. Selalu mengingatkan mereka untuk mengejar prestasi, menasehati mereka untuk berlaku sopan terhadap guru, menemani mereka latihan upacara, memarahi jika mereka sampai terlambat dan dipulangkan, serta mulai mengenal karakter mereka satu per satu. Bahkan saat Daniel dan Axel kena SP1 karena membolos pelajaran Mandarin pada minggu kedua masuk sekolah, ada sebersit rasa kecewa menyeruak di relung hati saya. Bukankah kecewa berarti peduli?

Lalu ada beberapa kebiasaan mereka juga yang mau tidak mau, mulai saya perhatikan. Kalau biang onar sudah jelas saya hafal dalam sekejap. Farel yang selalu semaunya dan sering  berbohong, Axel yang keras kepala dan selalu mengganggu Daniel, Daniel yang memang banyak ulah dan sengaja minta diganggu, Daffa yang benar-benar tidak bisa diam secara fisik maupun verbal, dan Axellino si kepala batu yang terkadang berbicara tak terkendali.

Beruntung, saya masih memiliki Jasir di tengah mereka. Ketua kelas yang memang layaknya mesin diesel, terlambat panas. Namun saya selalu tahu jika ia memang bisa diandalkan.

***

Kisah saya dengan mereka bersembilan belas kemudian terus bergulir. Sampai pada suatu hari di bulan keempat saya menjadi homeroom mereka. Saat itu kami tengah menjalani Local Immersion di sebuah desa nan indah di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Dan di tempat itulah mulai terpercik chemistry antara saya dengan mereka...

Saya mulai asyik memperhatikan beberapa anak yang berada di bawah naungan saya sebagai guru pamong. Irsya yang teramat giat bekerja membantu orang tua asuhnya, Rona yang rajin membuat laporan kegiatannya dengan detail, Rica yang cenderung canggung namun berusaha keras untuk berbaur, dan Sendy yang hal sesederhana memetik cabai dan kentang di ladang saja mampu membuatnya kegirangan. Saya juga mengkhawatirkan Amel yang hingga nyaris tengah malam tak kunjung tiba di lokasi karena menyusul kami di hari kedua Local Immersion.

Saya kemudian semakin terdorong ke arah mereka usai tim sepak bola menang melawan warga setempat. Saya memang tak sempat menyaksikan karena tertahan dengan kesibukan di Posko. Alangkah terkejutnya saya saat Farel dan Axel yang masih mengenakan jersey dan sepatu bola mendobrak pintu Posko. Hanya dua patah kata yang keluar dari mulut mereka saat itu, “Mama mana?”

Baru berhari-hari kemudian, Sendy bercerita jika dua anak ini kecewa saya tidak melihat aksi mereka di lapangan dan rela menanjak ke Posko meski lelah, demi membuat saya bangga.

Peristiwa lain di Local Immersion yang membuat saya semakin lekat dengan mereka adalah ketika saya diharuskan pulang lebih awal. Seolah ada sesuatu yang membebani, entah apa itu, saya merasa berat meninggalkan mereka semua. Anak-anak – tidak hanya XI Business1 – juga cukup terpukul karena berarti saya tidak bisa menyaksikan malam pentas seni. Padahal acara itu semestinya merupakan tanggung jawab saya.

Akhirnya, saya mengemas barang-barang saya dengan perasaan sedih. Lemas rasanya, sehingga harus dibantu Sendy dan juga Adhisa yang memang selalu berusaha untuk peduli dan dekat dengan saya.

Anak-anak memang mencoba memberikan support kepada saya. Bahkan saat pertama kali mendengar harus pulang, saya langsung mencari Axel. Biasanya ia punya banyak akal dalam keadaan terdesak. Namun kali ini sayangnya tidak membuahkan hasil.

Saat saya selesai mengemas barang, Farel sudah menunggu di depan rumah. Ia ingin mengantar dan memastikan saya baik-baik saja, katanya. Baru kali itu saya melihat sisi lain dari anak yang tadinya tidak saya harapkan ada di kelas saya. Entah ada kekuatan dari mana, namun Farel mampu membuat saya merasa tenang saat itu.

Kata-kata yang selalu saya ingat darinya saat saya hendak masuk mobil adalah, “Mama jangan nangis lagi, nanti Pak O**** marah sama Mama. Kalau ada apa-apa, bilang aku aja ya, Ma. Kalau sudah sampai rumah, line aku. Pokoknya Mama harus line aku!”

Dari Local Immersion, saya tahu dengan pasti bahwa mereka pada akhirnya akan mampu menerobos ruang di hati saya.

Dan sejak saat itu, saya mulai memperhatikan mereka lebih dari biasanya.

***

Ujian pertama saya datang langsung setelah Local Immersion. Peristiwanya konyol, pembobolan lemari peralatan ping-pong di GPS Hall. Pelakunya tiga orang. Dan dapat ditebak, tiga-tiganya anak-anak saya. Daniel, Axellino, dan Puji yang saya tak pernah menyangka juga keras kepala, bahkan melebihi yang lain. Padahal selama ini dia cukup diam dan tidak termasuk dalam trouble maker list saya.

Hadiah bagi saya dalam peristiwa ini adalah mengetahui betapa konyolnya anak-anak saya ini. Pasalnya, saat Mam Atik menyuruh saya melihat rekaman CCTV, saya mendapati betapa gigihnya usaha Daniel cs demi sepasang raket dan bola ping-pong. Membuka paksa gembok, menendang, hingga mencoba merusaknya dengan menggunakan batako. Andai mereka segigih ini dalam urusan akademis, bayangkan apa yang bisa mereka capai. Kekonyolan mereka ini kemudian berbuah SP2.

***

Ujian kedua yang cukup besar juga terjadi saat Axellino membajak e-mail milik Faldi saat ujian praktek ICT. Ia mengirim e-mail yang tidak selayaknya kepada salah satu guru. Tentu saja ini menimbulkan masalah dalam sekejap. Tidak tanggung-tanggung, hari itu juga langsung ditangani oleh Mam Atik. Hasilnya adalah SP3, skorsing selama tiga hari, dan piket saat istirahat kedua selama seminggu bagi Axellino.

Kasus ini kemudian menimbulkan polemik di kelas. Axellino dan Dela berselisih paham soal kejadian. Faldi, yang semestinya menjadi korban, berpihak kepada Axellino. Saya mencoba memahami Faldi. Memang tak mudah untuk menjalin pertemanan di XI Business1 dengan karakter mereka yang kebanyakan keras kepala. Faldi pasti hanya berusaha mendapatkan tempat. Ia bersama Axellino dan Puji kemudian berpadu melawan Dela yang kisahnya hanya dikuatkan oleh Adhisa.

Malam itu saya tidak bisa tidur. Dela begitu emosi. Ia menumpahkan segala kekesalannya kepada saya melalui telepon. Jujur, saya sempat khawatir karena biasanya Dela itu anak yang terlihat kuat. Memang pada awalnya ia merasa tidak cocok di XI Business1, tapi lama-kelamaan ia kerasan juga.

Setelah mereka berempat perang di time line, akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Jasir dan Farel. Saya minta mereka berdua menengahi, karena saya percaya kepada mereka. Akan tetapi saya tetap tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan konflik di antara anak-anak saya ini.

Esoknya, saat seisi sekolah tengah sibuk berlomba menyambut Hari Pahlawan, saya mengumpulkan anak-anak saya di ruang kelas 308. Hanya Inayah yang saya serahi tanggung jawab untuk mewakili kelas dalam perlombaan, supaya guru-guru tidak curiga XI Business1 mendadak raib bagai ditelan bumi. Inayah kemudian mengajak Rona dan Amel untuk menemaninya.

Di kelas, suasana cukup tegang karena memang Axellino dan Dela saling mendiamkan. Saya kemudian memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk berbicara, menuturkan kisah dan mencurahkan perasaan mereka dalam kasus ini.

Awalnya, Axellino yang berbicara, disusul Dela, dan kemudian Faldi. Saya sempat merasa mulai ada titik terang dari seluruh kesalahpahaman ini, hingga tiba-tiba Farel ikut angkat bicara. Ia memang impulsif dan emosian. Ia menyalahkan Faldi mengapa sampai ikut terlibat padahal ia semestinya diam saja dan berlaku layaknya korban. Faldi tentu saja tidak terima, emosinya mulai tersulut. Mereka kemudian saling pukul padahal posisi saya berada tepat di tengah mereka. Nyaris terkena hantaman Farel.

Diperlukan tiga orang untuk melerai mereka. Puji dan Daffa membentak dan menarik baju seragam Faldi, sementara Jasir menahan Farel sekuat tenaga. Ia sendiri nyaris tergelincir. Entah sudah berapa kursi yang terjungkir akibat aksi baku hantam tadi. Untung saja tak ada yang terluka. Dan untung tak berlanjut hingga ke masalah yang lebih serius.

Setelah agak reda, Farel dan Faldi mau juga bersalaman. Faldi cenderung lebih mengalah, sementara saya tahu dengan pasti Farel masih emosi. Ia bahkan masih ingin memukul Faldi, sehingga saya harus mendekap Farel agar ia mengurungkan niatnya. Saya tahu ia tak akan tega jika saya sampai terkena pukulan.

Lalu kami semua diam. Kami sudah lelah. XI Business1 sudah teramat lelah mencoba menjajaki menjadi sebuah keluarga.

Axellino dan Dela kemudian saling bermaafan dan mulai menangis. Faldi juga akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Farel dan Dela. Farel diam seribu bahasa.

Dan saya pun menangis. Sesak, sedih, kecewa, haru, marah, lega... Entahlah, rasanya begitu campur aduk.

Baru saat Axel memeluk saya, perasaan saya sedikit tenang. Ia memang sedari tadi diam, namun ia mencoba meyakinkan saya jika semua masalah telah selesai. Farel pun kemudian ikut memeluk saya. “Sudah, Ma. Aku berhenti. Jangan nangis lagi ya, Ma,” ucapnya lirih di telinga saya.

***

Sejak saat itu saya mulai merasa XI Business1 perlahan melebur. Memang, tak semua bisa lekat seketika. Yudis mungkin masih mengalami kesulitan berbaur dengan yang lain, akan tetapi setidaknya ia sudah mulai lebih mendengar kata-kata saya. Atau Candy, yang statusnya sebagai anak baru dan harus masuk di lingkungan sekolah yang sama sekali berbeda dengan sekolah lamanya, masih harus beradaptasi.

Namun selebihnya masih aman terkendali. Para trouble maker masih tak bosan membuat ulah dan saya masih terus ngomel setiap hari. Akan tetapi itu bagian dari peran saya sebagai ibu mereka. Lebih baik ibu sendiri yang memarahi daripada harus masuk ruang Mam Atik. Seperti yang baru saja saya dan Farel alami akibat anak itu terlambat datang ke sekolah untuk keenam kalinya.

Dua jam penuh kami berdua diceramahi oleh Mam Atik. Bahkan dibuat sedikit emosional dengan kisah homeroom yang mati-matian membela anaknya di rapat guru, namun hasil voting guru tetap memutuskan anak tersebut tidak naik kelas. Ah, Farel... Jangan sampai kita seperti itu ya...   

***

Minggu terakhir semester 1 kebetulan saya ditunjuk sebagai pembina upacara. Untuk menghibur anak-anak saya, pidato saya adalah tentang film The Blind Side (2009) yang berkisah tentang seorang remaja yang dianggap tidak memiliki bakat, tapi pada akhirnya mampu menjadi seorang pemain football profesional.

Ini kisah nyata. Saya mengaitkannya dengan kisah Ichsan Farrel alias Bandot yang sering diledek oleh Axel, talentless. Tentu saja nama Bandot saya rahasiakan. Anak-anak lantas tertawa dan semoga mereka merasa bahwa sejak saat ini mereka selalu ada dalam pikiran saya.

Sebuah kejutan manis juga datang di hari terakhir semester 1. Hari itu Hari Guru. Sepagian saya sudah mengomel tak karuan karena ulah mereka dan tak disangka mereka membalas saya dengan kue dan perayaan Hari Guru a la XI Business1. Saya yang jadi tokoh utamanya, tetapi Daniel yang pada akhirnya wajah dan rambutnya belepotan kue.

Saya jarang merasa terkejut dan haru. Namun setiap kali anak-anak memberikan kejutan macam ini, perasaan  saya tak terlukiskan. Saya pasti terlihat kaget saat Farel dan Axel tiba-tiba masuk dengan seloyang kue cokelat dengan lilin menyala. Padahal saat itu saya sedang ngomel-ngomel seperti biasa. Pantas saja Dela tak henti-hentinya merekam saya. Ah, saya bahagia.

***

Saya tahu bahwa ini adalah waktu paling lama yang saya butuhkan untuk menyayangi kelas saya sendiri. Dengan Kiddos hanya dalam hitungan minggu, dan dengan Chibis hanya satu bulan lebih sedikit. Dengan Demits kali ini memang terasa lebih berat. Bahkan dibutuhkan satu semester bagi saya untuk menuliskan kisah ini.

Bermula dari menolak menyayangi, menyangkal percikan chemistry, berusaha keras tak jatuh cinta, mencoba bertahan, dan pada akhirnya... Bahkan yang tak pernah saya harapkan pun mampu membuat saya menyayangi. Rasa sayang memang bisa tumbuh dari keterpurukan dan keputusasaan.

Demits, nama kalian memang saya pilih karena ulah kalian yang seringkali menggelitik dan menyebalkan. Akan tetapi kalian itu akhirnya menjadi kesayangan saya. Selalu.


Kiddos, Chibis... Kenalkan adik-adik kalian yang baru, Demits!

I

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha