Skip to main content

Cerita Glowzy di SMAN 91


Raimuna? Fortals? Ah, bukan halangan! Bermodal nekat antara siap dan tidak siap, disertai kemauan keras, gelar 3 besar pun bisa diraih dalam kompetisi pertama di tahun ajaran ini.


Jadi ceritanya, hari Sabtu (4/8) kemarin, kami – saya selaku Pembina dan empat siswa – memutuskan untuk akhirnya ikut serta dalam kompetisi modern dance yang dihelat oleh SMAN 91 Jakarta Timur. Lomba kali ini memang tak sesemangat biasanya. Tak ada latihan khusus berminggu-minggu sebelumnya atau kesepakatan alot soal siapa yang bakal turun dan kostum apa yang akan dipakai.

Mengapa demikian? Selain fakta bahwa suasana di sekolah masih kental dengan aroma tahun ajaran baru, alias para siswa masih terlena dengan suasana liburan yang kemarin memang dirasa kepanjangan, sekolah kami baru saja selesai dengan segala hiruk pikuk camping a la Pramuka Penegak, yaitu Raimuna. Tiga hari bermalam di bawah taburan bintang lembah Sarongge di Cianjur, Jawa Barat. Soal camping ini, nanti akan saya ceritakan tersendiri dalam satu tulisan.

Kebetulan, tiga dari empat personil Glowzy yang turun dalam lomba di SMAN 91 ini – Ami, Josephine, dan Olivia, adalah pengurus Pramuka atau yang populer dengan nama Bantara. Nah, otomatis kerja mereka harus ekstra keras melebihi para peserta dalam mempersiapkan hajat tahunan terbesar Pramuka ini. Lelah? Sudah pasti!

Namun bukan Glowzy namanya kalau tanpa semangat juang. Apalagi tiga nama yang saya sebutkan tadi sejak kelas 10 selalu setia Bersama saya merintis agar nama Glowzy berkibar kembali. Maklum, sebelum jatuh ke tangan saya, CCA modern dance sempat sepi peminat dan akhirnya ditutup karena jumlah peserta di bawah 10 orang. Jadi memang benar-benar butuh kerja keras dan kesabaran tingkat tinggi untuk mengibarkan kembali bendera Glowzy. Mulai dari nol pengalaman di lomba, pergantian pelatih, dicurangi saat lomba, nyaris menang, hingga saya paksa tampil terus-terusan bahkan dalam event terkecil sekali pun di sekolah.


Sekarang tiga anak ini sudah duduk di kelas 12 dan akhirnya bisa menikmati jerih payah mereka. Di tangan mereka (dan senior mereka yang baru saja lulus), Glowzy memiliki sederet piala: Binus International, SMA MArsudirini, SMA TJS, SMAN 44, dan yang teranyar SMAN 91. Prestasi yang pernah diraih juga antara lain masuk final 10 besar kompetisi modern dance di Trisakti School of Management, dari total 35 peserta. Selain itu, tak lupa berbagai pengalaman tampil di sekolah, seperti saat graduation, perayaan Imlek, Global Expo, hingga acara kecil seperti perayaan natal dan talk show.

Semua ini tentu menghasilkan buah manis bagi Glowzy. Kini mereka bisa berteriak bangga karena usai demo CCA, Glowzy kebanjiran peminat. Tak sedikit junior-junior mereka yang semangat bergabung di bawah nama Glowzy!

Lomba di SMAN 91 ini awalnya memang antara mau dan tidak mau. Terlambat mendaftar, tidak maksimal latihan, dan tambahan koreografi di detik terakhir. Plus Raimuna yang saya sebutkan dengan tiga Bantara tadi. Dan tidak lupa, personil keempat – Puthy, adalah juga calon Bantara. Nah, lho! Lelah tiada terkira sudah tentu.

Belum lagi selepas ini di awal September, ajang tahunan besar Fortals sudah siap menanti di hadapan. Dan lagi-lagi mereka terlibat di dalamnya, baik sebagai panitia maupun pengisi acara dalam Fashion Dance dan Modern Dance.

Siapa sangka dengan semua kelelahan ini, Glowzy masih tetap bisa bawa pulang piala juara 3. Alhamdulillah, ini adalah buah manis kegigihan, kesabaran, dan konsistensi para personil Glowzy dalam membesarkan nama Glowzy. Selamat, anak-anak!





Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

Merayakan Keberagaman Budaya dan Kekayaan Bahasa

Sudah menjadi tradisi bagi Global Prestasi Senior High School merayakan dua hari besar, Sumpah Pemuda dan Pahlawan, setiap tahunnya. Mengingat dua hari tersebut terpaut tak terlalu jauh, maka perayaannya pun dipadukan menjadi satu. Di sekolah ini, kami menamainya sebagai Bulan Bahasa. Sebuah perayaan yang mengusung keberagaman budaya dan kekayaan Bahasa di Tanah Air. Bulan Bahasa tahun ajaran 2014/2015 jatuh pada hari Selasa, 11 November lalu. Perayaan ini berlokasi di area Senior High School dan ditutup dengan acara puncak di Sport Hall. Perayaan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 15.30. Bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah Mrs. Anitya Wahdini, S.Sos. Bulan Bahasa 2014 kali ini menjadi cukup istimewa karena diawali dengan serah terima pengurus OSIS, dari OSIS angkatan 8 yang diketuai Jauharah Dzakiyyah (XII Science3) ke OSIS angkatan 9 yang dikomandoi Hinggista Carolin (XI Science3). Jadi, Bulan Bahasa sekaligus menjadi debut OSIS angkatan 9 dalam unjuk gig...

Ode to Dolores: Thanks for Making My Childhood Rocks!

  Unhappiness, where’s when I was young and we didn’t give a damn ‘Cause we were raised, to see life as fun and take it if we can Dolores O'Riordan (Dok. Billboard) Lantunan lagu Ode to My Family yang berlirik syahdu dan dentingan gitar melodi yang mengiringinya tak pernah begitu menusuk hingga hari ini, dua puluh empat tahun setelah lagu tersebut pertama kali ditulis oleh sang empunya, Dolores O’Riordan. Mungkin karena liriknya yang memang bertutur soal keluarga sang penyanyi, tersirat bagaimana ia merefleksikan masa kecilnya setelah merengkuh sukses. Mungkin juga karena saya memutar lagu ini setelah lama tak mendengar suara khasnya, tepat di hari kematiannya. Kematian seorang musisi atau public figure tak pernah begitu mempengaruhi saya sebelumnya. Biasanya saya hanya terkejut dan kemudian berita duka itu berlalu begitu saja. Tidak ketika dunia dihebohkan dengan kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tidak pula ketika Amy Winehouse, Michael Jackson, at...