Skip to main content

Mama

Untuk kalian yang senang memanggil saya, Mama...

Saya tidak ingat kapan persisnya ini bermula, yang jelas saat kalian masih duduk di kelas 10. Masih bayi. Masih kecil. Masih tersisa raut wajah bocah SMP dan tekad untuk menjadi penguasa kala SMA.

Saya juga tidak ingat, kebaikan apa yang sebenarnya telah saya berikan kepada kalian saat itu. Saya hanyalah guru yang sekedar "numpang lewat" untuk mengajar Sosiologi dua jam setiap minggunya di hari Jumat pagi. Sisanya, kalian lebih banyak berinteraksi dengan homeroom kalian saat itu, Pak Suryono dan Miss Martha.

Saya juga - jujur saja - tidak terlalu peduli dengan keberadaan kalian karena memang intensitas waktu yang saya habiskan lebih banyak dengan kakak-kakak kelas kalian. Jadi saya tidak heran jika Peter, Tristan, dan Jesline memanggil saya Mama. Atau Fadhiil yang memanggil saya Mami. Begitu juga dengan Komang dan Ado yang memanggil saya Ibu. Keseharian saya dipenuhi oleh mereka, bukan kalian.

Makanya, saya tak pernah merespons sejak awal kalian memanggil saya Mama...

Namun rupanya jalan hidup mempertemukan kita pada satu titik yang sama. Saya harus menjadi homeroom kalian di kelas 11. Memang hanya dua di antara kalian berempat, akan tetapi karena kelas 11 Business jumlahnya hanya segelintir, 36 anak, terkadang saya dan Pak Suryono merasa dua kelas ini sama-sama anak kami. Sama-sama banyak cerita dan membuat lelah. Sama-sama membuat kami dipanggil Mam Atik dan tak jarang dimarahi karena ulah kalian. Sama-sama merasa tidak enak karena harus selalu menghubungi orang tua kalian setelah kalian membuat ulah.... lagi dan lagi.

Saya dan Pak Suryono mungkin saat ini adalah homeroom dengan koleksi SP siswa terbanyak. Saya sudah ada 5 SP, dengan 1 anak yang harga SPnya sudah tiga. Pak Suryono bahkan sudah ada 1 anak yang kena skorsing. Benar kan, melelahkan? Padahal 1 semester pun belum berlalu.

Dan di kelas 11 ini kalian pun tambah gencar memanggil saya Mama...

Awalnya saya tak pernah bertanya. Namun suatu hari, Farel mengirimkan saya tulisan yang  katanya diperuntukkan bagi saya:


Ini membuat saya sedikit tersenyum. Pasalnya, sepanjang liburan kenaikan kelas, saat saya sudah ditunjuk menjadi homeroom kelas 11 Business, saya berdoa agar anak ini tidak ada di kelas saya. Sepanjang ingatan saya di kelas 10 lalu, anak ini perilakunya tidak menyenangkan. Tidak patuh, nilainya buruk, dan suka banyak alasan alias bohong.

Senyuman saya terkadang muncul lagi saat kalian membuat ulah yang mengejutkan. Seperti saat Live In, ketika kalian berhasil memenangi pertandingan sepak bola. Dari lapangan, dengan tubuh lelah dan kaki yang sudah sakit minta ampun, kalian bukannya langsung pulang. Akan tetapi hal pertama yang ada dalam pikiran kalian adalah mengabari saya yang tidak menyaksikan kemenangan kalian. Saya tahu kalian kecewa, tapi kalian tetap mencari saya.

"Mama mana, Mama?" Saya ingat teriakan Axel dari luar posko. Ia nyaris mendobrak pintu posko saking antusiasnya, sembari menenteng sepatu bolanya.

"Ma, aku menang, Ma!" Farel menyusul di belakangnya bersama Kevin.

Kalian lalu bercerita tentang jalannya pertandingan. Rupanya kalian menang dengan skor 5-4 dan semua gol dibuahkan oleh kalian. Faisal tiga, Farel satu, dan Axel satu. Mau tidak mau saya tersenyum. Ada sebersit rasa bangga dalam hati saya yang mungkin saat itu kurang saya tunjukkan.

Lalu, kemana sosok kalian yang menyenangkan seperti itu sekarang?

Akhir-akhir ini kalian mulai menunjukkan tabiat yang kadang tak termaafkan. Berulah sana-sini, berbohong, seenaknya, dan selalu melanggar. Oke lah, saya mengerti jiwa muda kalian. Saya selalu bilang, nakal itu boleh asal cerdas dan tidak kurang ajar. Cerdas bukan berarti nilai sempurna seperti Rona, Adhisa, atau Inayah. Cerdas berarti memikirkan jauh ke depan akibat dari perbuatan kalian. Tidak kurang ajar artinya selalu menghormati orang tua, termasuk guru-guru kalian. Menghormati saya.

Farel...
Mau sampai kapan kamu berbohong sama saya? Kamu tidak akan pernah berhasil, karena setiap kebohonganmu selalu terbaca dan pada akhirnya akan sulit bagi saya untuk menolong kamu di kelas 11 ini. Kelas 12 nanti, kamu akan menjadi urusan homeroom barumu, bukan saya lagi. Berhenti berbohong, mulai disiplin dalam mengejar nilai, jangan terlambat datang sekolah, jangan terlambat masuk kelas usai istirahat, jangan makan di kelas, jangan mencuri hp dari box hp, dan berhenti membantah guru, terutama Pak Riman dan Mam Atik.

Axel...
Saya selalu merasa kamu itu cerdas ketika pertama kali kamu pindah dari IPA ke IPS. Sayangnya, mengapa kecerdasanmu itu kamu sia-siakan? Mengapa kamu menggunakan otakmu untuk berbohong ke Mam Atik saat itu? Tahukah kamu jika perbuatanmu itu menjerumuskan saya dan membuat saya dilecehkan beberapa guru lain? Mereka akan menganggap saya tidak becus mengatur anak dan mereka akan merasa lebih sanggup dari saya. Lalu, di mana harga diri saya? Kemarin adalah kekecewaan saya yang terbesar dari kamu. Gunakan kecerdasanmu untuk hal baik, dan berhenti melawan Mam Atik. Demi saya.

Kevin...
Kembali lah ke saat kamu masih kelas 10 semester 1. Kevin yang cerdas dan bisa diandalkan untuk memimpin teman-temannya. Bukankah kamu yang jadi Abang di antara kalian berempat? Saatnya berubah, Vin!

Faisal...
Saya mungkin paling tidak mengenalmu di antara semua. Interaksi kita jarang sekali. Kamu lebih banyak diam di hadapan saya. Saya hanya tahu dari Peter kalau main basketmu lumayan oke, sayangnya malas latihan dan tidak disiplin. Lalu saya juga tahu dari Egmont kalau kamu sensitif. Hal sekecil apa pun bisa membuatmu menangis.

Dan pada akhirnya, apakah saya keberatan kalian memanggil saya Mama? Kalian sendiri yang tentukan.

Jika kalian masih saja tidak bisa menghargai dan menjaga nama baik saya, lebih baik berhenti. Berikan panggilan itu untuk guru lain saja yang kalian suka. Saya tak perlu disanjung dengan panggilan itu. Saya tak butuh disukai oleh murid, hanya untuk dimanfaatkan.

Saya ingat satu nasihat baik dari Mama Axel, "Mereka memanggil Mama mungkin karena mereka memang merasa nyaman. Chemistry nya pas. Kedekatan seperti ini sulit untuk diatur-atur atau digantikan. Biarkan saja, Miss."

Cobalah untuk lebih menghargai saya, maka akan saya biarkan :)


Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha