Skip to main content

Ode to Dolores: Thanks for Making My Childhood Rocks!

 Unhappiness, where’s when I was young and we didn’t give a damn
‘Cause we were raised, to see life as fun and take it if we can

Dolores O'Riordan (Dok. Billboard)

Lantunan lagu Ode to My Family yang berlirik syahdu dan dentingan gitar melodi yang mengiringinya tak pernah begitu menusuk hingga hari ini, dua puluh empat tahun setelah lagu tersebut pertama kali ditulis oleh sang empunya, Dolores O’Riordan. Mungkin karena liriknya yang memang bertutur soal keluarga sang penyanyi, tersirat bagaimana ia merefleksikan masa kecilnya setelah merengkuh sukses. Mungkin juga karena saya memutar lagu ini setelah lama tak mendengar suara khasnya, tepat di hari kematiannya.

Kematian seorang musisi atau public figure tak pernah begitu mempengaruhi saya sebelumnya. Biasanya saya hanya terkejut dan kemudian berita duka itu berlalu begitu saja. Tidak ketika dunia dihebohkan dengan kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tidak pula ketika Amy Winehouse, Michael Jackson, atau Whitney Houston mangkat. Sedih, namun tak pernah menggerakkan saya untuk menulis sebuah kepingan memori, sebuah ode.

Dengan yang satu ini, semua menjadi berbeda. Dolores O’Riordan adalah vokalis band alternative rock asal Irlandia, The Cranberries. Dolores yang satu-satunya perempuan di band beranggotakan empat orang ini, juga sekaligus merupakan motor dengan kepiawaiannya menggarap lagu dan vokalnya yang begitu powerful dan khas. Belum lagi gayanya yang nge-rock! Tak banyak vokalis perempuan bergenre rock yang musiknya abadi dan menjadi panutan seperti Dolores kala itu – hingga kini.

Saya pertama kali mengenalnya di layar MTV kala ia bernyanyi dengan lantang menyuarakan keadilan di Irlandia Utara, lewat lagu Zombie. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP, sekitar tahun 1995 atau 1996 kalau tak salah. Seorang gadis yang tumbuh remaja dan mulai menunjukkan ketertarikannya pada musik yang tersaji di MTV: saluran televisi musik paling hits di era 1990an. Dan kemudian muncul Dolores dengan The Cranberries-nya.

Sejak saat itu, album demi album The Cranberries mulai menghiasi rak musik saya.  No Need to Argue adalah album pertama yang saya miliki, meski sebenarnya itu adalah album kedua The Cranberries. Faktanya kemudian album tersebut sekaligus merupakan album terlaris dari band tersebut. Kala itu tiada hari tanpa saya memutar tiga lagu hitsnya: Zombie, Ode to My Family, dan I Can’t be With You. Yang kedua kemudian menjadi lagu favorit saya dan bahkan saya pernah mainkan bersama band saya semasa SMP di pentas seni.

Saya memang tumbuh bersama lagu-lagu Dolores. Menikmati suaranya yang khas, mendengar lirik demi lirik yang selalu ia tulis dengan makna mendalam, bahkan memainkannya dalam pentas seni sekolah, ujian musik sekolah, dan berbagai kesempatan lainnya ketika saya masih berseragam putih biru dan putih abu-abu. Saya bahkan akhirnya belajar main gitar supaya bisa tampil keren seperti Dolores.

Tak heran jika kematian musisi yang satu ini menimbulkan jejak dalam hidup saya, sebuah jejak di masa kecil saya yang menyenangkan dan penuh dengan musik alternative rock a la Irlandia itu. Bahkan hingga kini saya masih sering memutar lagu The Cranberries di sekolah dan sepertinya nyaris tak satu insan pun yang paham lagu-lagu itu karena memang berbeda generasi dan selera musik.

Dan kini setiap kali mendengarkan lagu-lagu The Cranberries, saya akan selalu merindukan sosok Dolores. Rindu akan suaranya yang powerful, rindu yodelling-nya, rindu akan sosok perempuan rocker yang kian langka dewasa ini.

Dolores, thank you for making my childhood rocks. Thank you for all the music and beautiful songs you wrote. This is my ode to you!



Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha