Skip to main content

Strawberry Shortcake on the Shore: Chapter 5

Let Me Be Your Superman



             Lamunanku buyar ketika samar-samar kudengar seseorang memanggilku. Aku berusaha mengumpulkan segenap nyawa yang tercecer dan kembali memijakkan diri ke atas dunia nyata. Seorang perempuan cantik mengenakan seragam merah marun lengkap dengan scarf hitamnya berada tepat di hadapanku.
            “Maaf, nona. Tolong tegakkan kembali sandaran kursi dan kenakan sabuk pengaman. Pesawat sebentar lagi akan mendarat di Spring Haven,” ucapnya sembari tersenyum dan kemudian berlalu. Rupanya pramugari memergokiku sedang melamun di atas bahtera yang tengah mengangkasa ini.
            Aku mematuhi instruksinya dan memandang keluar jendela pesawat. Langit nampak merona dengan semburat jingga yang memenuhi cakrawala. Sepertinya senja bersiap menyambutku dengan keindahan khas pesisir timur yang lebih tenang dan bersahaja dibandingkan kota kecil tepi laut tempatku dibesarkan.
Kota-kota sepanjang pesisir timur memiliki kekhasan bangunan dengan arsitektur masa kolonialisasi Eropa, khususnya Inggris dan Perancis. Hal ini yang membedakan dengan kondisi pesisir barat yang merupakan bekas wilayah jajahan Spanyol. Kehidupan di pesisir timur juga berjalan lebih lambat, memang sedikit mirip seperti kota kecil tepi lautku, hanya saja di timur segala sesuatunya jauh lebih lambat.
Pantai-pantainya tidak terlalu menarik perhatian turis karena lautnya banyak dibatasi dengan bendungan-bendungan dan ombaknya pun bukanlah tipe yang akan diminati para peselancar. Berbeda dengan pesisir barat yang selalu saja dipenuhi turis sehingga akhirnya lekat dengan kehidupan glamor. Sepertinya hal inilah yang menjadi sebab banyak orang menjadikan kota-kota beratmosfir tenang seperti Spring Haven sebagai kota tujuan untuk kepentingan akademis.
Satu-satunya kota di pesisir timur yang berkembang pesat dengan segala kemajuan zaman dan hiruk-pikuknya adalah Central City tempat Skye dan Chris berada. Kota bisnis dan seni pertunjukan itu seperti anomali di tengah-tengah kebersahajaan kota-kota pelajar di sekitarnya. Aku tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, tetapi sepertinya Central City mampu menopang masyarakat pesisir timur agar tak terasing dalam zona kehidupan yang seolah berbeda di zaman modern ini. Hanya butuh waktu sekira tiga jam lewat jalan darat dari Spring Haven ke Central City. Naik kereta api bahkan bisa lebih cepat lagi.
Suara pilot terdengar membahana dari dalam kokpit, membawa kabar kepada para penumpang bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Spring Haven. Ah, jalan menuju kota impianku sudah membentang di depan mata. Selangkah demi selangkah, mimpi masa remajaku akan segera menjadi kenyataan. Dan semua itu diawali dengan dekapan hangat seorang lelaki yang menyambutku dengan penuh kerinduan di bandara.
“Aku sangat merindukanmu, Julia,” ucapnya lembut kemudian menghujaniku dengan seribu kecupan di pucuk kepalaku.
Bandara Spring Haven tidaklah besar, seiring dengan mobilitasnya yang memang tidak terlalu tinggi. Kebanyakan orang sepertinya lebih senang mendarat di Central City dan menuju Spring Haven menggunakan jalur darat ketimbang terbang langsung ke sana. Hal ini membuatku mampu menemukan Chris dengan mudah di antara para penjemput yang sabar menanti kedatangan orang terkasih mereka.
“Aku lebih rindu dua kali lipat.” Aku bisa mendengar detak jantungnya dengan jelas ketika ia mendekapku. Tubuhnya terasa begitu hangat dengan aroma cologne dan after shave citrus khas yang selalu membuatku mabuk kepayang. Ia masih saja mampu membuat hatiku berdebar-debar setelah bertahun-tahun lamanya.
“Hmmm, kita tidak akan memainkan permainan ini lagi,” ucapnya sambil menjauhkan kepalanya dari tubuhku agar bisa menatapku mataku dengan lebih baik. Aku harus menengadah untuk bisa membalas tatapannya itu.
“Permainan apa?” tanyaku bingung.
“Permainan siapa yang lebih rindu.”
Aku mau tidak mau tertawa mendengar leluconnya yang sama sekali tidak lucu itu. Ia membalas tawaku dengan ciuman lembut di bibir. Ragaku serasa melayang untuk sedetik. Betapa aku merindukan sentuhannya.
“Ayo kita ambil barangmu dan pergi dari sini. Kamu lapar? Atau ada tempat yang mau kamu tuju sebelum kita melihat-lihat apartemen? Hari belum gelap, masih banyak waktu untuk kita berkeliling ke beberapa tempat,” kata Chris.
“Sebenarnya ada tempat yang mau aku datangi. Aku melihatnya beberapa bulan lalu ketika mengurus keperluanku di kampus, hanya saja aku belum sempat mengunjunginya.”
“Tempat apa?”
“Oh, hanya sebuah patisserie.”
Patisserie lagi? Sebenarnya ada apa dengan kamu dan patisserie? Sepertinya kamu terobsesi. Di Central City juga kamu selalu mengunjungi satu demi satu patisserie yang ada di sana.”
“Jangan begitu, Chris. Aku punya banyak kenangan di tempat seperti itu. Lagipula di Central City tidak ada yang menarik. Semua terlalu… eh, modern.”
“Lalu patisserie seperti apa yang sebenarnya kamu cari?” ucapan Chris sedikit terusik dengan ponselnya yang tiba-tiba berbunyi. Sepertinya sebuah pesan singkat baru saja masuk dan menarik perhatiannya.
Patisserie yang mampu mengingatkanku selalu padamu, bodoh,” ujarku pelan.
“Manajerku. Dia memintaku segera menjawab peran terbaru mana yang akan kuambil,” ujar Chris seraya mengangkat ponsel dan menunjukkan layarnya kepadaku.
Aku memberikan tatapan penuh tanda tanya kepadanya.
“Nanti kuceritakan, aku ada tawaran film yang sepertinya harus kuputuskan berdua denganmu.” Ia lalu mematikan ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Aku tersenyum menyaksikan rautnya yang mendadak berubah menjadi serius. Chris selalu serius jika berkaitan dengan pekerjaannya. Mimpi masa muda yang perlahan tapi pasti mulai berada dalam genggamannya.
“Maaf, kamu tadi bilang apa, Julia?” Chris kembali memusatkan perhatiannya kepadaku.
“Tidak, bukan apa-apa. Lupakan saja. Ayo, kita ke sana.” Aku menggenggam tangan Chris yang menunjukkan wajah kebingungan dan segera mengajaknya keluar menuju parkiran.
“Apa pun yang kamu inginkan, little princess. Aku harap mereka menjual strawberry shortcake, karena menunggumu di bandara membuatku sangat lapar dan kamu tahu aku hanya bisa makan kue itu.”
  Patisserie itu ternyata memiliki konsep serupa sebuah kafe buku. Dari kaca besar yang menghiasi bagian depan, aku melihat dinding berlapis rak buku dari bawah hingga ke langit-langit yang berisi deretan buku-buku dan nampak menggiurkan untuk segera dibaca. Di sudut lainnya, sebuah etalase berisi aneka roti dan kue aneka warna dipamerkan untuk menggugah selera. Di sebelahnya, sebuah mesin kopi nampak sibuk bekerja memenuhi pesanan para pelanggan. Kursi-kursi empuk dengan bantal berwarna-warni dan meja-meja kayu disusun di area tengah yang nampak sangat nyaman untuk disinggahi. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dan tak bisa memutuskan, mana yang lebih mampu membuaiku: aroma roti yang baru keluar dari panggangan ataukah kertas-kertas dari buku yang baru saja dibuka.
“Aku tahu kamu itu kutu buku, tapi aku tidak pernah menyangka kamu se-nerdy ini,” ujar Chris yang setengah melongo saat kami tiba di depan patisserie.
Aku menyikut tubuhnya hingga ia berpura-pura merasa kesakitan. “Hey!” teriakku.
“Aku tidak tahu kalau tuan puteriku benar-benar senang dengan suasana seperti ini. Kenapa kita tidak bisa makan di restoran cepat saji saja seperti orang normal? Aku bahkan sekarang mampu memanjakanmu dengan restoran yang lebih baik, Julia.”
Aku mengabaikannya dan segera masuk ke dalam patisserie. Aku merasa di tempat inilah aku akan menghabiskan hari-hariku melamun atau mengerjakan tugas kuliah. Laksana orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Hanya aku merasa tempat ini mampu membawa kedamaian, meski penampakannya amat sangat berbeda dengan patisserie favoritku di kota kecil tepi laut yang selalu membuatku merindukan Chris sejak ia pergi meninggalkan rumah.
“Chris, lihat!” Aku menunjuk ke etalase tempat kue-kue dipajang. Strawberry shortcake.
“Terima kasih, Tuhan! Aku bisa makan dengan tenang,” kata Chris berpura-pura bahagia seperti menemukan mata air di tengah padang pasir. Selalu berusaha melawak, lelakiku itu. Tidak pernah lucu, tapi aku mau tak mau selalu tertawa dibuatnya.
Aku meminta Chris mencari tempat yang nyaman di pojok dekat rak buku dan memesan strawberry shortcake serta kopi hitam untuk Chris. Untukku sendiri, saat ini croissant berlapis cokelat sepertinya akan menjadi santapan yang lezat. Baru saja aku meletakkan pesanan kami di meja dan hendak melihat-lihat koleksi buku yang tersedia di sana, sebuah suara mengisyaratkan keberatannya.
“Jangan sekali-sekali kamu berani menyentuh satu buku pun yang ada di sana, little princess,” ujar Chris sambil merengut. Aku bahkan belum berada satu meter di depan rak buku itu.
“Tapi…”
“Jangan kamu pakai alasan apa pun denganku, tuan puteriku yang manis. Aku hafal betul, sekali kamu menyentuh satu saja buku yang ada di sana, kamu akan mulai membacanya. Begitu kamu mulai membaca, kamu bisa berjalan-jalan ke alam pikiranmu selama berjam-jam dan meninggalkanku sendirian di sini.” Chris menarik lenganku dan membiarkanku duduk di sebelahnya.
“Chris…”
“Oh, tidak hari ini. Aku punya sesuatu yang lebih menarik untuk kamu baca nanti, tapi sekarang aku hanya ingin bersamamu sejenak sebelum kita mulai pergi melihat-lihat apartemen,” ujar Chris dengan nada sok tegas.
“Sesuatu yang menarik untuk aku baca?” tanyaku penasaran.
“Iya, itu kejutan untuk nanti. Kita nikmati dulu tempat yang kamu idam-idamakan ini,” kata Chris dan sedetik kemudian ia memasukkan satu sendok strawberry shortcake ke mulutnya. Wajahnya meringis karena sensasi rasa asam, namun tak lama ia segera menghabiskan kue itu tanpa sisa. Syukurlah jika lelakiku itu sangat menyukainya.
“Jadi, ada lima apartemen yang aku suka,” ujarku penuh semangat seraya mengeluarkan selebaran-selebaran iklan apartemen dari dalam tote bag yang sedari tadi kubawa.
Chris melihat dengan penuh minat. Ia sebenarnya juga sudah melihat daftar apartemen yang menjadi pilihanku dan sempat menyatakan protes karena daftarnya terlalu panjang. Sepertinya ia sedikit lega karena daftar itu jauh berkurang hingga tinggal lima.
“Pertama, ini agak jauh dari kampus, tapi sewanya murah dan dekat dengan taman. Aku membayangkan suasana yang tenang jika tinggal di tempat seperti itu.”
“Tidak,” kata Chris singkat.
“Tidak?”
“Bagaimana jika kamu harus pulang dari kampus malam-malam? Hanya Tuhan yang tahu apa yang bersembunyi di dalam taman dan menerkammu saat tidak ada seorang pun yang melihatmu. Pokoknya tidak!” Chris mengambil selebaran iklan apartemen itu dari tanganku dan meletakkannya jauh-jauh di sudut meja.
“Oke, masih ada yang ini. Dekat dengan kampus, jadi kamu tidak perlu khawatir aku bakal ketemu vampire atau manusia serigala jika aku pulang terlalu malam. Sepertinya bagus juga.”
“Tidak,” ujarnya lagi.
“Maaf?”
“Kamu tidak lihat iklannya baik-baik? Itu semacam apartemen yang penuh dengan gadis-gadis penyuka pesta dan aku tidak akan suka jika kamu terlibat dalam pesta-pesta anak muda yang tidak jelas seperti itu,” kata Chris sambil menunjuk foto-foto yang terdapat dalam brosur tersebut. Isinya memang model-model perempuan yang cantik dan sepertinya sedang bersenang-senang. Bukan berarti mereka semua penyuka pesta, tetapi aku tahu Chris sulit untuk dibantah.
“Baiklah! Jadi tinggal tiga ini. Satu agak jauh dari kampus, tetapi lingkungannya terlihat lebih aman dari yang sebelumnya. Satu lagi dekat dengan kampus, tetapi lingkungannya terlalu padat, jadi aku sendiri kurang menyukainya.”
“Hmmm, bisa dipertimbangkan, meski aku kurang nyaman dengan ide kamu tinggal terlalu jauh dari kampus.”
“Lalu yang terakhir ini juga tidak terlalu jauh dari kampus dan bangunan apartemennya tidak begitu besar. Mungkin tidak tepat juga disebut apartemen karena jumlah ruang yang disewakan hanya tujuh dan letaknya malah di tengah perumahan. Tiga berada di lantai dua dan sisanya di lantai dasar. Tempatnya sedikit terbuka, tetapi kelihatannya ini lingkungan yang aman.”
Chris mulai menunjukkan minatnya pada selebaran iklan terakhir yang ada di tanganku.
“Pemandangannya cukup bagus, ada taman kecil yang penuh bunga di depan apartemen itu,” kataku melanjutkan.
“Ayo kita lihat tempatnya.”
“Yang ini?” tanyaku sedikit terkejut melihat Chris bisa menyetujui setidaknya satu dari pilihanku yang sedari tadi dicemberutinya.
“Coba kamu bayangkan, tetanggamu tidak akan banyak sehingga kamu tidak perlu repot beramah-tamah dengan semua orang. Dan itu artinya lebih sedikit kemungkinan ada lelaki tampan yang tinggal satu bangunan denganmu dan bisa membahayakanku.”
“Hah? Apa?” Aku sangat yakin kalau aku kurang paham dengan perkataannya barusan.
“Tidak, tidak,” Chris tersenyum nakal.
“Huh. Setidaknya bangunan ini penuh bunga yang bisa mengingatkanku pada ibu. Sayang sekali tidak dekat dengan pantai dan bisa melepas kerinduanku pada rumah.”
“Nah, bagus bukan? Ayo kita lihat, little princess.” Chris menyeruput kopi hitamnya dan segera mengajakku meninggalkan patisserie.
Apartemen itu rupanya jauh lebih menarik dari yang terpampang dalam iklan. Memang bangunannya sangat sederhana dan minimalis, tetapi dominasi cat putih pada dinding dan pagarnya membuatnya begitu cerah di tengah rerumputan dan semak bunga mawar merah yang menghiasi bagian depannya. Bunga-bunga alamanda kuning yang menjuntai dari balkon lantai dua juga membuat bangunan itu semakin cantik. Seolah ibuku sendiri yang mempersiapkan tempat ini untukku supaya aku menjalani hari-hari di Spring Haven dengan sentuhan rumah.
Pemiliknya adalah seorang perempuan tua yang sangat ramah. Suaminya sudah lama meninggal dan tiga anaknya yang sudah dewasa berada di kota-kota lain. Berbekal warisan yang ditinggalkan suaminya dan uang yang dikirim anak-anaknya, ia menyulap rumah tinggalnya menjadi bangunan berkamar tujuh yang bisa ia sewakan kepada para mahasiswa di Spring Haven. Ia sendiri tinggal di salah satu kamar paling besar di lantai dasar.
“Cukup untuk seorang perempuan tua sepertiku,” kata Ibu Spencer, pemilik apartemen tersebut, sambil menyerahkan sepasang kunci untuk kamar yang baru saja resmi aku sewa di lantai dua.
Aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
“Semoga kalian berdua menyukai tempat ini,” ucapnya lagi.
“Kami?” tanyaku kebingungan. Aku segera menyadari bahwa ia sedikit salah paham.
“Eh, tidak, Bu. Hanya aku saja yang kuliah di Spring Haven dan butuh tempat tinggal di sini. Dia tidak tinggal di kota ini. Maksudku, kami tidak tinggal bersama,” kataku sambil melirik ke arah Chris.
“Tapi aku akan berada di sini setiap akhir pekan, Bu. Jadi sama saja,” kata Chris menyelaku.
Perempuan itu tertawa. “Yah, tempatnya sudah siap jika kalian mau langsung pindah. Hanya perlu dirapikan sedikit dan peralatan dapur masih lengkap karena penyewa lama meninggalkannya begitu saja. Namun perabot lain tidak ada.”
Chris dan aku kemudian menghabiskan sisa sore itu dengan pergi berbelanja segala keperluan apartemen baruku.
“Jadi sementara ini aku butuh tempat tidur, lemari pakaian, sofa kecil, dan meja kopi. Sepertinya cukup, yang lainnya bisa menyusul,” kataku memberi instruksi kepada Chris begitu kami sampai di sebuah swalayan khusus perabot rumah tangga terbesar di Spring Haven.
“Kamu akan membeli semua itu sendiri?” ujar Chris dengan raut wajah penuh kekaguman.
“Tentu saja! Aku punya uang dari ayah, lalu ada tabungan selama aku menjadi asisten dosen dan sisa honor beberapa tulisanku yang masuk koran. Cukup untuk semua, meski mungkin aku tidak bisa membeli yang terbaik, jika itu maksudmu.”
“Hmmm, kalau begitu aku mau memberimu hadiah. Kemarin kamu ulang tahun dan lulus kuliah, tapi aku belum sempat membelikanmu apa-apa.”
“Tidak usah, Chris,” aku tersenyum padanya.
“Aku memaksa. Hanya saja, hadiah itu adalah hakku sepenuhnya untuk memilih tanpa boleh kamu protes.”
“Memangnya kenapa?” tanyaku curiga.
“Pokoknya itu hakku. Janji?”
“Iya, iya. Kamu boleh membelikanku apa saja selama itu masih masuk akal, Chris. Janji,” kataku mengalah.
“Baiklah, ayo kita pilih hadiahmu sekarang!” Chris menyeretku ke bagian di mana perabot kamar tidur berada. Aku punya firasat kemana semua ini akan mengarah dan jujur saja, perasaanku agak sedikit tidak enak.
“Nah, yang itu bagus,” ujarnya seraya menunjuk sebuah tempat tidur yang dipajang di salah satu sudut toko.
“Terlalu besar, Chris. Apartemenku kecil dan aku juga tidak perlu kasur sebesar itu untuk tidur,” kataku memprotes.
“Lalu di mana aku akan tidur?” ucapnya. Awalnya aku merasa ia bercanda seperti biasa, akan tetapi saat aku menatap matanya, aku menyadari bahwa ucapannya itu sungguh-sungguh.
Firasatku ternyata tepat, hanya saja kini aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku menyayangi Chris dan hubungan kami juga semakin tak terpisahkan setelah bertahun-tahun, nyaris tidak ada yang aku tidak tahu tentangnya, begitu pun sebaliknya. Namun aku perlu meyakinkan diriku bahwa Chris adalah orang yang tepat bagiku dan ia juga menginginkan hubungan yang serius sebagaimana aku diam-diam mendambakannya.
Masih ada sedikit sifat Chris yang terkadang tak dapat kubaca, seolah menyimpan rahasia yang terkadang membuatku khawatir akan kesungguhannya. Ada hari-hari di mana ia tidak memberi kabar kepadaku dan aku terlalu takut untuk menghubunginya, sekedar menanyakan kabar. Ada juga hari-hari di mana pemberitaan mengenai Chris dekat dengan aktris-aktris cantik begitu santer di tabloid gosip, yang kemudian ia tampik dengan tegas bahwa semua itu hanya bualan pers saja agar beritanya laris.
Aku tak keberatan Chris memiliki lawan main aktris cantik mana pun, karena begitu aku menonton filmnya, aku bisa tahu bahwa itu hanya akting. Berbeda dengan gosip yang memiliki kemungkinan untuk menjadi nyata. Apakah Chris hanya milikku seorang ataukah masih ada perempuan-perempuan lain yang menemani hari-harinya seperti ketika kami masih SMA dan kuliah dulu? Pikiran-pikiran semacam itu selalu saja menghantuiku, namun tak pernah sepatah kata tanya pun kuucapkan kepadanya.
“Semua sudah beres. Mereka akan mengirim semuanya dalam dua hari ke depan, jadi setelah itu kamu bisa pindah ke apartemen barumu,” kata Chris membuyarkan lamunanku. Ia baru saja menyelesaikan transaksi dan hendak mengajakku keluar.
“Terima kasih, Chris,” aku mengecup lembut pipinya.
“Jadi sekarang apa yang mau kamu lakukan, Julia? Kita bisa makan malam lalu pergi ke Bed and Breakfast yang sudah kamu pesan untuk beristirahat.”
Aku mengangguk dan kami berdua makan malam di sebuah restoran cepat saji pilihan Chris, tak jauh dari Bed and Breakfast. Tanpa kusadari, aku benar-benar kelaparan setelah perjalanan panjang dan seharian sibuk mengurus keperluanku di Spring Haven. Chris berhasil menjejalkan sepiring burger dan kentang goreng yang akhirnya kuhabiskan tanpa sisa.
“Jadi, tadi kamu bilang ada sesuatu yang perlu kubaca?” kataku setelah menyeruput milk shake cokelatku hingga tetes terakhir. Perutku benar-benar terasa penuh sekarang.
“Sudah tidak sabar untuk membaca? Aku tidak pernah sekali pun melihatmu jauh dari buku dan bahan bacaan, Julia. Benar-benar puteri kutu-buku,” kata Chris tertawa.
“Bukan salahku! Aku memang sudah tercipta dengan kecanduan pada buku-buku, terutama yang membuatku penasaran seperti ini. Cepat, berikan padaku apa pun itu yang kamu minta aku baca!”
“Sabar, little princess. Ini sebenarnya bukan buku, tapi naskah film,” ujar Chris sambil mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Ia menyerahkan kepadaku dua jilid naskah film dengan judul berbeda.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Aku bosan jadi pemanis dalam film, Julia. Aku belajar jauh-jauh ke Central City dan meninggalkan semuanya bukan untuk jadi semacam hot shot atau pajangan dalam film-film komedi romantis. Sudah dua film berlalu dan aku merasa ilmu aktingku tidak terpakai. Aku mau berakting secara serius seperti Garry Oldman atau Tom Hanks, mungkin.”
“Lalu mengapa tidak kamu lakukan?”
“Sulit sekali mendapat tawaran film serius seperti yang kuinginkan jika aku memang belum pernah melakukan pembuktian apa-apa selain jadi pria tampan dalam kisah yang disukai para perempuan,” kata Chris muram.
Aku membaca sekilas kedua naskah yang ia sodorkan kepadaku. “Ini dua jenis film yang berbeda, Chris. Dan kamu hanya bisa pilih salah satu?”
“Kedua produser film ini menyukaiku saat kasting, tetapi jadwal mereka bersamaan, jadi manajerku hanya bisa memberi kabar baik kepada salah satu dari mereka saja.”
“Dan kamu bingung memutuskan yang mana?”
“Aku butuh pendapatmu. Bahasa adalah keahlianmu, Julia. Jadi aku berharap kamu bisa membaca dua naskah itu dan menangkap esensinya. Kamu bisa membantuku memutuskan peran mana yang harusnya kuambil.”
“Kalau pilihanku salah?”
“Aku percaya pilihanmu tidak akan pernah salah. Kalaupun filmnya tidak sukses, itu karena aku yang tidak mampu menghidupkan karakter yang aku perani. Aku selalu percaya padamu sejak dulu.”
Aku kembali fokus pada dua naskah di hadapanku. “Jadi di film pertama ini kamu menjadi agen rahasia?”
“Para produser membuat remake dari film agen rahasia yang pernah populer di tahun 1970an. Mereka sepertinya ingin membuatnya lebih modern dengan latar waktu masa kini untuk menarik para penggemar lama yang masih setia dan menciptakan penggemar baru yang terdiri dari anak-anak muda.”
“Hmmm, memainkan peran yang sudah melekat pada sosok satu aktor bakalan sulit, namun aku yakin kamu bisa mencipta sosok agen rahasia versimu sendiri. Memang ada resikonya, tapi kalau berhasil, kamu bisa mengungguli aktor yang lama.”
“Tapi…”
“Tapi?” tanyaku heran.
“Kalimatmu menggantung, jadi aku yakin masih ada kata tapi sebagai kelanjutannya.”
“Tapi mari kita lihat dulu film yang kedua,” ucapku sambil menggodanya. Chris sering menunjukkan raut wajah yang lucu ketika kebingungan. Seperti anak kecil yang sedang kehilangan arah dan bisa tersesat jika aku tidak cepat-cepat menuntunnya kembali ke jalur yang benar.
“Film kedua, tokoh superhero yang diambil dari game. Jujur saja aku tidak tertarik pada superhero semacam ini, Julia. Peluang gagalnya jauh lebih besar dari jenis film apa pun. Aku hampir tidak pernah mendengar film yang diangkat dari game meraih kesuksesan.”
“Kamu terlalu cepat berbicara, Christopher! Apa kamu tidak lihat nama sutradaranya? Ini sutradara muda yang tengah naik daun. Ia banyak dipuji karena debutnya tahun lalu berhasil masuk deretan nominasi film terbaik versi Golden Globe dan Academy Awards. Bayangkan, untuk sebuah debut! Itu adalah poin penting yang harus jadi pertimbangan.”
“Tapi ini superhero, Julia! Aku bakalan jadi pemimpin geng superhero yang terdiri dari lima orang yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Aku bahkan harus memakai topeng! Aku tidak yakin dengan semua ini.”
“Lalu mengapa seorang sutradara muda yang semestinya berhati-hati dalam menggarap karya kedua setelah karya pertamanya yang gemilang ini memilih menyutradarai film bergenre superhero?”
“Errr…” Chris tidak mampu menjawab.
“Ada poin yang hilang di sini, Chris. Poin mengapa sutradara ini nekat, aku rasa bakal ada kejutan dari film ini. Aku sangat yakin!”
“Itu bisa jadi sebuah kemungkinan,” kata Chris mulai sedikit bersemangat.
“Tentu saja! Sutradara itu tidak bodoh, Chris. Dari yang aku baca di berita, ia belajar dengan serius untuk menjadi seorang sutradara dan meniti kariernya dari bawah. Ia sebenarnya mirip denganmu, jiwa muda yang penuh cita-cita. Kamu harus memberinya kesempatan, memberi film ini kesempatan.”
“Jadi menurutmu aku sebaiknya menerima tawaran ini?”
“Semua tergantung pada keinginanmu, Chris. Terkadang kamu juga harus mempercayai instingmu, biarkan dirimu sendiri yang mengarahkan jalan mana yang mau kamu pilih. Seperti ketika kamu memutuskan untuk pergi ke Central City.”
“Aku akan membaca dua naskah ini lagi baik-baik, tetapi aku merasa film inilah yang akan menjadi awal kesuksesanmu.”
“Meski ini film tentang superhero?”
“Mengapa tidak? Di tangan sutradara dan penulis skenario yang handal, film superhero akan menjadi berbobot. Dan di tangan aktor yang tepat, ketua geng superhero ini akan jadi sosok legendaris yang masih akan dikenal hingga generasi-generasi ke depan.”
“Oh, ada satu lagi. Jika film superhero ini sukses merajai box office, aku akan dikontrak eksklusif selama delapan tahun ke depan untuk enam film franchisenya. Kelihatannya mereka berambisi membuat film solo untuk setiap anggota geng superhero itu sebelum akhirnya membuat film yang menggabungkan aksi mereka bersama lagi.”
“Wow! Kontrak eksklusif?”
“Iya, artinya selama delapan tahun ini aku akan terus dikenal sebagai pahlawan bertopeng, entah dipuji maupun dihujat.”
“Aku yakin kamu tidak akan dihujat,” ujarku tertawa.
“Dan kamu yakin?” ujarnya sambil menatap mataku lekat-lekat. Mata biru gelapnya seolah berpendar diterpa cahaya temaram bulan purnama.
“Seratus persen!” Aku membelai rambut cokelat gelapnya dan mengecup lembut bibirnya.
“Kamu yakin aku akan cocok menjadi superhero?” tanyanya setengah bergumam.
Aku kembali menatap kedua bola matanya lekat-lekat. “Sudah sejak lama kamu menjadi Superman bagiku, Christopher Michael North.”

                                                                   *****

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha