Skip to main content

Strawberry Shortcake on the Shore: Chapter 2

Standing in the Crossroads of My Mind




Persimpangan ini nampak begitu asing bagiku. Lampu jalannya memang sama, menggantung pada tiang hitam berukir ornamen emas, seakan memberi naungan pada papan hijau penunjuk nama jalan yang melekat dengan kokoh di bagian tengah tiang. Akan tetapi Kafe Perancis yang biasa terlihat manis dengan kursi-kursi putih dan dekorasi bunga-bunga berwarna merah jambu di sudut jalan tak terlihat sedikit pun. Begitu pula dengan toko serba ada yang selalu saja sibuk di seberangnya. Pemandangan yang biasa kulihat itu mendadak berganti menjadi barisan butik kelas atas yang menjulang dengan dominasi warna hitam dan putih. Benar-benar pemandangan yang terasa asing bagiku.
Ternyata benar, aku tidak pernah melewati persimpangan ini sebelumnya. Nama jalannya jelas-jelas berbeda. Sepertinya ini adalah salah satu jalanan utama kawasan pertokoan mewah yang belum pernah aku lalui. Aku tidak tahu kini berada di mana atau harus melangkah ke mana. Sepertinya aku tadi melewati satu atau dua persimpangan dan berbelok di jalanan yang salah.
Aku melihat sekeliling, mencoba memutar otak sambil memastikan kewaspadaanku tetap terjaga. Aku tidak ingin dia menemukanku dan memberinya alasan untuk menghampiriku atau sekedar berbicara kepadaku. Tidak ada satu kata pun yang aku ingin dengar darinya. Paling tidak untuk saat ini, ketika pikiranku belum benar-benar jernih. Aku harus memastikan dia kehilangan jejakku.
Menyadari pengetahuanku pada peta yang sepenuhnya telah buntu, aku mulai merasa cemas dan ingin menyerah saja. Aaargghh! Kota ini terlalu besar. Gedung-gedungnya begitu beragam, dengan persimpangan-persimpangan jalan yang nyaris identik. Belum lagi trotoar disesaki para pejalan kaki yang hilir-mudik. Mereka semua melangkah dengan langkah-langkah panjang yang tergesa-gesa, seolah mengejar sesuatu yang nyaris lepas dari hadapan. Seperti akan melewatkan kesempatan berharga jika mereka berjalan dengan ritme yang lebih lambat, biarpun hanya sedikit. Bunyi decit rem dan klakson mobil di jalan raya pun tak membantu. Semua bising dan menyesakkan.
Kepalaku mendadak pusing, serasa mau pecah. Gejolak di perutku makin tak karuan. Apakah benda asing di ruang rahimku ini juga merasa gelisah usai menyaksikan sesuatu yang sebegitu mengejutkan? Aku tak bisa berpikir. Masih merasa kesulitan mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku dan insting bodohku yang sudah terlanjur memutuskan untuk mengambil langkah seribu sebelum telinga ini mendengar sebuah penjelasan. Jika dipikirkan kembali, mungkin memang relung hati ini tidak siap menerima penjelasan apa-apa dari lelaki itu.
“Julia, ini tidak seperti yang kamu pikirkan…” ucapnya beberapa saat lalu tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun pada kedua mataku. Tatapannya begitu lembut, tetapi aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Aku tiba-tiba merasa tak mengenal lelaki yang berada di hadapanku.
Lelaki itu kemudian berjongkok dan memungut bingkisan kecil berpita perak yang tadi kujatuhkan tanpa sengaja. Ia menatap barisan-barisan huruf yang terbuat dari cokelat di atas kue favoritnya semasa remaja itu.
“Julia, apakah kamu… kita…”
Belum selesai ia berbicara, aku melangkah pergi. Aku menekan tombol lift berkali-kali dengan frustasi karena pintu lift tak mau juga membuka. Tiba-tiba telapak tangannya yang terasa begitu hangat menggenggam lenganku dan kemudian menyentuh pipiku.
“Julia…” ucapnya lagi. Kali ini sebuah senyum mulai merekah menghiasi wajahnya yang tadi terlihat begitu sedih dan lelah.
Aku mendorong tubuhnya yang nyaris dua kali lebih besar daripadaku itu menjauh. Aku ingin sekali meneriakinya, memakinya, bahkan mengucap sumpah serapah yang akan membuat mendiang nenekku bangkit lagi dari kubur hanya untuk kemudian kena serangan jantung lagi jika mendengarnya. Namun lidahku kelu. Aku hanya bisa diam dan memalingkan wajahku dari hadapannya.
“Ayo, kita pulang. Tubuhku kedinginan dan aku yakin kamu juga lelah setelah perjalanan pagi. Kita bicara di dalam,” katanya seraya berusaha menggenggam tanganku.
“Aku – tidak – sudi – masuk – ke – ruangan – yang – kamu – bagi – bersama – perempuan – lain! Tempat itu sudah bukan rumahku lagi!!!”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku dan membuat lelakiku itu terkejut. Aku sendiri tidak percaya aku bisa berkata seketus itu sambil susah payah menahan air mata agar tak setetes pun jatuh di hadapannya. Saat itu aku merasa harga diriku jauh lebih penting dari segalanya, terutama setelah aku mencium sebuah pengkhianatan.
Apa boleh buat, semua sudah terjadi. Aku mendorong tubuhnya agar kembali menjauh dan memasuki pintu lift yang akhirnya terbuka di belakangku. Pintu lift itu kemudian berdenting dan menutup tepat di hadapan lelaki yang berdiri mematung seolah lemah tak berdaya karena baru saja mendengar sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia dengar. Sesaat sebelum lift meluncur turun, aku sempat mendengar ia meneriakkan namaku sekali lagi dan memohon agar aku mendengarkan penjelasannya.
Semua kejadian itu akhirnya membawaku ke persimpangan antah berantah ini. Aku memutuskan untuk membuka aplikasi penunjuk jalan yang menghiasi layar ponselku dan mulai mengetik arah ke tempat sahabatku bekerja di kota ini. Rumah Sakit Umum Pusat.
Semenjak lulus SMA, Skye hanya memiliki dua prioritas dalam hidupnya: menjadi dokter anak dan menyeret kakaknya pulang kembali ke kota kecil tepi laut, bertekuk lutut di hadapan ayah ibu mereka. Oh, tadinya prioritas sahabatku itu hanya menjadi dokter anak, namun ketika kakaknya pergi dari rumah, ia tanpa ragu menjadikan kepulangan sang kakak ke rumah sebagai tujuan kedua dari hidupnya.
Maka setelah melalui proses pemikiran yang panjang dan kerja keras tiada akhir, Skye berhasil menjadi mahasiswa kedokteran di universitas yang letaknya tepat di kota tempat kakaknya menimba ilmu dan pengalaman menjadi aktor. Artinya, ia bisa leluasa menjalani cita-citanya menjadi dokter dan menjalin hubungan lebih dekat dengan sang kakak yang keras kepala, dengan harapan suatu hari bisa membuatnya pulang ke rumah dan membuat mereka semua berkumpul layaknya sebuah keluarga bahagia.
Aku selalu mengagumi Skye entah sejak berapa lama. Mungkin semenjak ia yang baru berusia lima tahun dengan nekat menyeberang jalan yang memisahkan kedua rumah kami dan membuat ibunya nyaris pingsan karena sedetik saja ia lengah dan anak perempuannya itu dengan gagah melintasi jalanan yang biasanya dilalui kendaraan bermotor dan sepeda dengan laju yang tak bisa dibilang pelan.
Skye kecil penasaran dengan gadis berambut merah yang selalu dikuncir kuda dan tak pernah terlihat selangkah pun keluar dari rumah. Gadis itu hanya bermain di teras rumah dan tak pernah menikmati sinar mentari di pekarangan. Tak pernah naik sepeda, main sepatu roda, atau sekedar bermain bola di pinggir jalan. Gadis kecil itu, aku.
Ibu Skye datang tergopoh-gopoh ke rumah, tepat ketika Skye sedang menarik tanganku dan menyeretku ke pekarangan. Aku yang pemalu dan penakut saat itu tentu saja menangis keras hingga ibuku sampai keluar rumah dengan wajah yang tak kalah panik dengan ibu Skye. Tak butuh waktu lama sebelum akhirnya kedua ibu yang bertetangga sekaligus bersahabat karib itu tertawa terbahak-bahak melihat kepolosan anak-anak mereka.
“Tapi, Bu. Aku hanya ingin mengajak Julia bermain di luar,” ucap Skye kala itu tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Seingatku, sejak saat itulah hari-hariku selalu diwarnai dengan petualangan bersamanya. Di tahun-tahun pertama aku berteman dengannya, entah bagaimana keberanian muncul dalam diriku. Aku yang tadinya selalu enggan bermain di luar rumah pun mulai mengenal asyiknya bercengkerama di kebun, piknik di atas rumput yang baru saja dipotong, menangkap kupu-kupu dan kumbang yang menyeramkan, mencicipi berbagai buah berry yang ditanam oleh ibuku di kebun, dan tentu saja yang paling mengasyikkan adalah bersepeda mengelilingi blok, hingga jauh ke tepi pantai.
Ketika memasuki usia remaja, kami memang memiliki banyak perbedaan. Aku yang pada dasarnya memang cenderung pendiam dan pemalu, tak banyak aktif di kegiatan sekolah. Nilai-nilaiku juga biasa-biasa saja. Hanya di kelas Bahasa Inggris aku menonjol. Essayku kerap dipuji guru dan puisi-puisiku tak jarang menghiasi koran sekolah. Selain itu, rasanya tak banyak yang tahu kalau aku hidup dan bernafas di sekolah itu.
Berbeda dengan Skye yang begitu populer. Di tahun sophomore ia sudah terpilih jadi wakil kapten di tim pemandu sorak. Sebuah prestasi yang biasanya hanya bisa dicapai oleh siswa tahun ketiga, tak pernah sekalipun oleh siswa sophomore. Meski selalu terlihat sibuk latihan dan berkompetisi, akan tetapi Skye tetap mampu mempertahankan nilai-nilainya di atas rata-rata.
“Sumpah, Julia. Aku tidak mau larut dalam stereotipe gadis pemandu sorak yang bakalan hamil di tengah-tengah puncak prestasinya dan menghancurkan hidupnya sendiri. Tidak, terima kasih! Aku bakalan jadi gadis pemandu sorak yang berbeda dari ekspektasi semua orang. Rambutku bahkan tidak pirang, demi Tuhan!” katanya suatu ketika sambil mengibaskan rambut ekor kudanya yang berwarna cokelat gelap. Aku hanya tertawa dan merasa Skye terlalu banyak nonton drama televisi tentang gadis pemandu sorak yang kebanyakan memang berambut pirang.
Perbedaan karakter dan segalanya yang membuat kami seakan tak mampu sejalan itu ternyata tak pernah menghalangi pertemanan kami. Berapa pun banyaknya teman kami pada masa sekolah dan berapa pun banyaknya kesibukan kami, Skye dan aku selalu saja tak terpisahkan. Pertemanan selamanya ini lah yang juga kemudian membuatku mengenal kakak lelaki Skye sejak hari pertama aku berteman dengannya. Kakak lelaki yang baru saja aku tinggalkan di depan pintu lift.
“Skye, aku menuju rumah sakit tempatmu bekerja sekarang. Telepon aku jika kamu sedang tidak sibuk.” Aku mengetik kata-kata itu dengan jemari yang gemetar. Kuharap Skye membacanya, karena jujur saja aku sedikit bertaruh pada nasib jika mengingat Skye tak bisa memegang ponsel sesuka hatinya karena ia tengah sibuk menjadi dokter residen di rumah sakit itu. Namun ternyata aku tak perlu meletakkan harapanku, karena beberapa detik kemudian ponselku berdering dengan wajah Skye yang sedang tersenyum lebar menghiasi layar.
“Julia! Apa-apaan? Kenapa tidak bilang kalau kamu akan ke sini? Aku bisa menjemputmu di stasiun atau kita bisa janjian di restoran favorit kita, atau dimana pun yang kamu suka,” cerocosnya dari ujung saluran.
“Skye, aku hanya ingin bertemu… sebentar,” suaraku terdengar begitu lirih tanpa kusadari.
“Hey, Julia? Kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, hanya ingin bertemu sebentar sebelum aku pulang kembali. Aku ke rumah sakit sekarang, ya?”
“Oke, jadwal piketku akan selesai sebentar lagi. Kebetulan kemarin aku kebagian shift malam. Kemarilah, tunggu aku di kafetaria. Aku mendadak khawatir denganmu,” katanya sebelum memutuskan hubungan telepon.
Aku menghela nafas dan kembali memantau aplikasi peta di layar ponsel. Rumah Sakit Umum Pusat semestinya tidak jauh, hanya butuh beberapa menit berjalan kaki dari apartemen tempatku tadi keluar sembari menahan luapan emosi yang menyesakkan jiwa. Kalau saja aku bisa kembali ke persimpangan jalan yang benar tempat Kafe Perancis itu berada. Setelah sibuk berbelok sana-sini mengikuti arahan aplikasi selama hampir sepuluh menit, tibalah juga aku di muka rumah sakit terbesar di kota ini: Rumah Sakit Umum Pusat.
Kafetaria rumah sakit tak terlalu penuh. Hari memang masih cukup pagi, sehingga kelihatannya belum banyak yang mengunjungi rumah sakit, kecuali mungkin mereka yang memang terjaga semalaman atau baru saja meringkuk di kursi ruang tunggu demi menunggu kabar dari kerabat mereka yang tengah dirawat. Aku memesan kopi dan roti bagel sembari menunggu Skye. Aku baru sadar bahwa aku belum sarapan dengan layak sebelum naik kereta dan peristiwa yang baru kualami tadi membuatku membutuhkan banyak asupan untuk bisa berpikir apa yang selanjutnya harus kulakukan.
Beberapa saat kemudian, Skye masuk ke kafetaria dan mengambil tempat duduk di hadapanku. Ia masih mengenakan seragam kerjanya yang berwarna biru dan sepatu kanvas putih. Tas ransel tersampir di bahu kirinya dan sweater hoodie di bahu satunya. Rambut ekor kudanya nampak acak-acakan. Wajahnya terlihat begitu lelah dengan kantung mata menebal yang membuatnya sebentar lagi nampak seperti zombie.
Skye memang pada dasarnya cantik apa pun yang ia kenakan dan dalam seribu satu macam kondisi. Skye yang harus lari di bawah guyuran hujan sepulang sekolah karena ketinggalan bus pun masih nampak keren seolah baru keluar dari salon kecantikan dengan dandanan a la wet look. Kalau dipikir-pikir, begitu pula dengan kakaknya yang terlihat seperti dewa laut yang tengah mengunjungi daratan ketika ia bermain football di lapangan, di tengah guyuran hujan. Gen keluarga mereka sepertinya memang bagus. Mata biru gelap, rambut dengan rona kecoklatan yang di bawah sinar mentari bisa terlihat cerah, dan menggelap ketika terkena air hujan.
Bandingkan denganku ketika harus lari-lari dalam hujan sepulang sekolah akibat si kembar lupa bilang kepada ibu bahwa aku ada kelas tambahan dan harus pulang lebih sore dari biasanya, pasti penampilanku sudah seperti Fluffy, kucing angora kami yang dimandikan paksa oleh si kembar, dan bulunya belum dikeringkan oleh hair dryer. Sama sekali tak menyisakan rona kecantikan sedikit pun. Definisi nyata dari istilah “kucing tercebur got”.
Jadi Skye yang tengah duduk di hadapanku ini adalah pemandangan yang super langka. Maksudku, ia tetaplah Skye yang cantik, namun terlihat jelas wajah lelahnya yang mungkin menyurutkan pesonanya nol koma sekian persen. Apa pun itu, tetap saja langka!
“Malam yang berat?” tanyaku penuh simpati.
“Yah, kamu bisa bilang itu sekali lagi. Semalam terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya 41. Tiga mobil pribadi dan satu truk kontainer. Kamu tidak akan bisa membayangkan betapa riuhnya ruang gawat darurat dan bagaimana kondisi para korban yang masuk ke sana,” ujarnya.
“Kamu sekarang ditugaskan di ruang gawat darurat?”
“Semua tenaga yang ada malam tadi dikerahkan untuk membantu, Julia. Ini mungkin peristiwa kecelakaan terbesar yang pernah aku alami sepanjang tahun-tahunku menjadi dokter residen di sini. Meski pengalaman luar biasa, namun kuharap hal seperti itu tidak pernah terjadi lagi,” katanya sembari meletakkan tangannya di dada dan menghela nafas lega.
Aku bersandar pada kursi dan tersenyum membayangkan betapa sahabat terbaikku di dunia sepertinya telah menemukan apa yang menjadi hasratnya dalam hidup.
“Berhenti bicara soal aku, apa yang membuatmu tiba-tiba datang kemari?” tanyanya.
Jujur saja, aku bingung harus bercerita apa kepada Skye saat ini. Menghubunginya adalah insting pertamaku setelah melarikan diri dari kakaknya, karena aku sungguh tidak tahu harus melangkah ke mana lagi di kota yang selalu nampak asing ini. Padahal aku hampir selalu menghabiskan masa liburan musim panasku di sini semenjak lulus SMA. Mendatanginya, bersamanya.
Masih terekam jelas dalam ingatan ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di kota ini bertahun-tahun silam. Saat itu aku menemani Skye yang harus menghadiri wawancara seleksi masuk dengan Dekan Fakultas Kedokteran tempatnya mendaftar. Bagi Skye, peluang itu adalah segalanya. Jadi ia tidak mau pergi sendirian. Orang tuanya terlalu sibuk menangani bisnis yang menopang banyak keluarga di kota kecil kami, sehingga merasa tak sanggup untuk menghabiskan waktu dengan pergi meninggalkan para pekerjanya. Bisnis sedang cukup sulit kala itu, sehingga mereka membutuhkan semua tenaga yang ada.
Flynn, kekasih Skye semenjak SMA yang juga kakak kelas kami, sedang mengikuti latihan persiapan kompetisi football nasional musim depan di universitasnya yang terletak di belahan negara bagian lain. Tentu saja kondisi ini membuat Skye langsung menggandengku pergi bersamanya. Aku yang sudah memastikan diri mendapat bangku kuliah dan mengurus segala administrasinya, tentu saja tak punya alasan untuk menolak.
Selama Skye mengikuti proses seleksi dan wawancara, aku terpaksa menunggunya di sekitar kampus. Aku tak berani berpetualang di kota itu sendirian tanpanya. Kota ini terlalu besar bagiku dan tak ada seorang pun yang kukenal di sini, kecuali lelaki itu: kakak Skye. Ah, aku sudah dua tahun tak berjumpa dengannya. Meski ia memang tak pernah sepenuhnya pergi dari kehidupanku, namun segala perbincangan yang kami lakukan semenjak ia pergi ke kota ini hanyalah melalui telepon, pesan singkat, video call, atau email. Semua begitu intens pada awalnya dan menjadi semakin berkurang hingga saat ini. Terakhir aku mengabarinya bahwa aku akan datang kemari pekan lalu, namun ia tak kunjung membalasnya.
Aku memutuskan menunggu Skye sambil duduk dan membaca buku di tepi danau dekat kampus. Udara begitu sejuk dengan semilir angin yang berhembus memainkan anak-anak rambutku yang terlepas dari ikatannya. Udara seperti ini yang membuatku rindu akan pantai tempatku biasa merenung dan mencari inspirasi. Suasananya juga begitu tenang, tak banyak manusia dalam gambaran tempat sedamai ini.
Aku hanya melihat beberapa orang yang kelihatannya seperti mahasiswa, lengkap dengan tas punggung mereka, sibuk dengan buku, laptop, atau sekedar mengobrol. Sebuah tempat yang benar-benar cocok dengan diriku yang memang tak pernah suka pada keramaian.
“Kamu benar-benar sudah dewasa sekarang, little princess!”
Tiba-tiba sebuah sosok berdiri di hadapanku, menutupi sinar mentari yang sedari tadi menerpa dari balik pepohonan yang rindang. Aku menengadah ke atas sembari melindungi mata dari silaunya cahaya. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya siluetnya yang terlihat. Tanpa memfokuskan pandangan, aku sudah tahu sejak awal siapa yang kini sedang berdiri di hadapanku. Hanya lelaki itu satu-satunya manusia di dunia yang memanggilku dengan sebutan little princess.
Sebelum aku sempat bangkit, ia mendudukkan dirinya tepat di sampingku. “Lihatlah dirimu sekarang, Julia,” ujarnya.
“Ke… Kenapa kamu ada di sini?” kataku dengan sedikit serak. Aku berdehem dan memperjelas ucapanku, “Maksudku, dari mana kamu tahu aku sekarang sedang berada di sini?”
“Yah, kamu sendiri yang memberi kabar bahwa kamu akan ke sini,” katanya santai. Pandangannya lurus ke arah danau sehingga aku sulit menerka raut wajahnya sedang menyiratkan apa. Aku sendiri hanya berani menatap rerumputan sejak ia memutuskan untuk duduk di sebelahku.
Lelaki itu akhirnya tertawa dan menatapku sembari mengucap, “Skye mengabariku bahwa ia akan berada di kampus pagi ini. Dan sejak kamu sudah pasti akan mengekornya kemana-mana, aku menduga hanya ada dua tempat yang memiliki kemungkinan terbesar di mana aku bisa menemukanmu: perpustakaan atau di sini. Dugaan pertamaku adalah di sini dan lihatlah sekarang.”
“Aku tidak mengekor Skye!” protesku.
“Tidak?”
“Tentu saja!”
“Kalau begitu, ayo! Aku yakin adikku itu tidak akan keberatan jika aku menculikmu sebentar,” ujarnya seraya menggenggam tanganku dan membawaku berlari meninggalkan tepi danau yang nyaman itu. Tanpa punya kesempatan sedikitpun untuk memberontak, ragaku pasrah mengikuti lelaki itu. Dari situlah kemudian hubungan kami yang tadinya hanya teman bertukar pikiran di sebuah patisserie di kota kecil tepi laut, menjadi sesuatu yang lebih. Setidaknya hingga hari ini.
“Julia!!!!”
Sebuah suara samar-samar meneriakiku berkali-kali. Skye versi dokter residen sedang menatapku dengan bingung dan sedikit merengut. “Aku kira kamu kerasukan, Julia! Menatap entah ke mana dan berpikir entah apa, membuatku nyaris terkena serangan jantung saja!” ujarnya.
“Ma… Maaf, Skye!” Aku kembali tersadar dari lamunanku.
“Ada apa sebenarnya? Aku mencemaskanmu, Julia.”
“Itu… Skye, aku rasa aku…. hamil,” kataku lirih.
Mata Skye yang biru gelap seperti milik kakaknya terbelalak, seolah ada binar-binar gemintang di dalamnya, dan bibirnya merekah lebar. “Benarkah? Kakakku? Julia, ini berita gembira! Bakalan ada bayi kecil dalam keluarga North yang bisa kumanja sesuka hatiku.”
Aku memalingkan wajahku darinya.
“Julia? Ada apa?” Sorak-sorainya mendadak lenyap berganti tatapan heran ke arahku.
Aku hanya membisu, tidak sanggup berkata apa-apa.
“Sebentar, apakah kakakku sudah tahu?”
“Kurang lebih,” jawabku akhirnya.
“Apa maksudmu kurang lebih? Demi Tuhan, Julia! Sebenarnya ada apa? Kamu harus segera menjelaskan semuanya kepadaku sebelum aku menjadi gila!”
“Masalahnya, Skye...”
“Masalah apa? Ini berita luar biasa gembira! Aku tahu kalian belum menikah atau semacamnya, tapi kalian berdua saling mencintai dan kalian patut merayakannya. Bahkan kakakku itu sebaiknya segera melamarmu dengan lamaran paling romantis sedunia. Awas saja kalau kakak tidak melakukannya,” cerocos Skye tanpa henti.
“Skye, dengar dulu…”
“Apakah kakakku sudah tahu? Oh, jangan-jangan kamu memberitahuku secara resmi lebih dulu daripada dia. Aku tersanjung sekali, Julia. Aku selalu tahu kamu akan lebih menyayangiku daripada menyayangi kakakku itu,” ujarnya berkelakar. Kegembiraan Skye seolah tak terbendung lagi. Kegembiraan yang semestinya diluapkan oleh kakaknya kepadaku. Namun semua itu tinggal harapan yang sia-sia.
Skye mengeluarkan ponsel dari tas ranselnya. “Aku akan menelepon kakakku dan menyuruh bedebah itu segera menjemputmu dari sini. Kalian perlu waktu merayakan ini berdua dan Julia, meski kamu tahu aku sangat menyayangimu dengan segenap hatiku, tapi setelah malam yang luar biasa melelahkan tadi, aku hanya butuh berendam di bak air panas kamar mandi apartemenku, segelas sampanye, dan tidur pulas.”
Secara refleks aku merebut ponsel Skye dari genggamannya. Aku melakukannya dengan cukup kasar sehingga Skye nyaris melompat dari kursi saking terkejutnya.
“Julia, apa-apaan?”
“Skye, dengar dulu. Dari tadi kamu terus berbicara dan tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk menjelaskan.”
Skye memelototiku dan merebut ponselnya kembali. “Baik, cepat katakan. Kamu aneh sekali hari ini, Julia. Aku mencemaskanmu sekaligus kesal, tapi katakan saja apa yang mau kamu katakan.”
“Aku butuh bantuanmu untuk menggugurkan janin ini.”

*****

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha