Skip to main content

Strawberry Shortcake on the Shore: Chapter 3


Don’t Wanna Break Your Heart, Wanna Give Your Heart a Break


Sekolah tempat kami menghabiskan masa remaja sebenarnya tak ubahnya sekolah-sekolah negeri lainnya di penjuru negara ini. Jumlah murid selalu membludak setiap tahunnya, karena dibandingkan segelintir sekolah milik pemerintah yang ada di kota kecil tepi laut dan sekitarnya, sekolah inilah yang dapat dikatakan terbaik karena pencapaian akademis dan kegiatan ekstra kurikulernya yang beragam.

Memang tim football dan cheerleadernya bukan yang terbaik, tetapi cukup kompeten untuk berlaga dalam kejuaraan antarsekolah. Sesekali menang, berkali-kali harus puas dengan gelar runner-up, dan sesekali pula menerima kekalahan. Setidaknya sekolah ini masih bisa membanggakan klub matematikanya yang pernah menang kejuaraan di tingkat negara bagian, plus koran sekolah yang selalu konsisten hadir setiap bulannya dan dikenal sepenjuru kota kecil tepi laut. Tak banyak sekolah yang memiliki koran sekolah cukup ternama layaknya sekolah kami.

Di sekolah “biasa” seperti inilah aku dan Skye tumbuh besar. Kami resmi menjadi murid freshman di SMA ini setelah musim panas 1997. Tahun yang sama dengan gemparnya jagad raya dengan pemberitaan mengenai Putri Diana dari Inggris yang tewas dalam kecelakaan di Paris. Pemakamannya digelar besar-besaran, melibatkan konspirasi keluarga kerajaan, serta mengundang duka seluruh warga dunia yang tak pernah mengenalnya secara pribadi.

Pernah suatu ketika, Aku dan Skye membahas sebuah tabloid yang memuat kabar Pangeran William dan Harry pasca tragedi tersebut. Kami duduk berdua di kafetaria saat jam makan siang, karena sebagai anak baru, kami masih bingung untuk memutuskan di meja mana semestinya bergabung. Pemetaan meja pada jam makan siang di kafetaria biasanya menentukan tipe siswa seperti apa kita di SMA ini hingga lulus nanti. Ada meja untuk anak-anak populer, dan sebaliknya, ada meja untuk anak-anak yang jauh dari kata populer.

Dalam berita yang tengah kami baca, dua putra mahkota kerajaan Inggris yang kurang lebih seumuran dengan kami saat itu, begitu terpukul dengan kematian ibunya. Di usia yang masih sangat muda, mereka tak hanya harus mengadapi perceraian kedua orang tuanya, melainkan juga kematian ibu yang mendadak. Tak dapat dibayangkan bagaimana jika kami harus menerima berita setragis itu dan terpaksa mendengar pembahasannya di mana-mana selama berbulan-bulan lamanya akibat media massa yang selalu haus akan publisitas.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan Skye secara bersamaan sehingga kami berdua nyaris terlonjak dari kursi saking terkejutnya. “Kakaaaaakkkkkk!!!” ujar Skye berang.

Wajah dengan rambut cokelat acak-acakan menyembul dari belakang kami. “Wow, Skye! Kamu harus belajar lebih tenang sedikit. Aku hanya ingin menyapa adik kesayanganku ini.”

“Jangan aneh-aneh, Kak! Biasanya kakak tidak pernah mau mengenalku di sekolah, meski setiap hari kita berangkat sekolah bersama. Sekalinya kakak memutuskan untuk mau mengenalku kembali di sekolah, jantungku nyaris copot dibuatnya!”

“Kukira… Yah, ada Julia di sini, jadi aku rasa aku perlu sedikit sopan,” kata kakak Skye memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapan matanya yang selalu membuatku merasa ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut itu membuatku menunduk malu. Aku hanya bisa menatap pasta di atas nampan sambil mengaduk-aduknya tanpa arah.

“Huh, ada perlu apa sih?” tanya Skye semakin galak.

“Kamu lihat jaket hitamku? Aku tahu kamu pernah memakainya, anak kecil. Tidak usah menghindar! Aku mencarinya tadi pagi karena mau kupakai kencan… Eh, pergi bersama teman-teman tim footballku malam ini.” Ia menunjuk ke arah teman-teman satu timnya yang sedang makan siang dan berkelakar di meja pojok yang disebut oleh seisi sekolah sebagai meja anak-anak populer.

Kencan bersama Melody Stevens, aku melanjutkan kalimat yang sempat terhenti tadi sebelum ia ganti dengan “teman-teman tim football” secara tiba-tiba. Semua orang di sekolah juga pasti tahu, kakak Skye berpacaran dengan Melody yang wakil kapten pemandu sorak sejak tahun pertama mereka masuk SMA. Mereka berdua masuk SMA di tahun yang sama dan banyak mengambil kelas yang sama, jadi seolah keduanya tak pernah terpisahkan.

Sebenarnya aku tak perlu heran akan rencana semesta yang mempersanding keduanya, karena di mana pun akan selalu saja begitu: bintang quarterback mendapatkan gadis paling cantik dan populer di sekolah. Lalu untuk apa ia menyembunyikannya?

“Ada di dalam lemari bajuku. Nanti pulang sekolah ambil saja sendiri!” kata Skye acuh tak acuh menunjuk ke sembarang arah seolah-olah lemari yang dimaksud memang berada di situ.

Agaknya ada hal lain yang ingin disampaikan oleh kakak Skye, namun ia kelihatan begitu canggung karena ada aku di samping Skye. Luput dari perhatiannya, betapa tak karuannya perasaanku saat ini. Rasanya ingin menghilang saja ditelan bumi.

“Kalian sedang apa?” tanyanya setelah berhasil menemukan rasa percaya dirinya kembali.

“Tidak usah ikut campur!” Skye berusaha menutupi tabloid yang sedang kami baca, akan tetapi terlambat, karena tabloid itu sudah mendarat di tangan kakaknya.

“Putri Diana, ya aku baca beritanya. Benar-benar tragis untuk seseorang yang memiliki nama secantik ini. Diana, Diana, Dian-na… Dianna! Terdengar seperti nama paling indah di dunia,” ujarnya.

“Tahu apa kakak soal nama-nama yang indah? Biasanya kakak tak peduli pada apa pun kecuali diri sendiri,” kata Skye ketus.

Aku hanya bisa mengamati perseteruan kakak beradik ini lagi-lagi dalam diam. Setiap hari mereka seperti ini, meski aku tahu Skye sangat menyayangi kakaknya, demikian juga sebaliknya. Hanya saja cara mereka menunjukkan kasih sayang begitu aneh.

“Setidaknya aku tahu kamu itu jauh sekali dari sosok putri yang memiliki nama seindah itu. Berbeda dengan Julia ini, dia seperti… Siapa itu namanya? Putri yang senang membaca buku dan terjebak di istana monster buruk rupa bersama lilin yang bisa berbicara? Film yang akhirnya kita tonton di bioskop karena ayah sudah tidak tahan dengan rengekanmu setiap hari yang selalu saja meminta nonton film itu?”

“Belle?”

“Nah, iya! Julia itu seperti Belle, yang hobi baca buku setiap saat dia bersamamu, si monster buruk rupa.” Kakak Skye mengatakan hal itu sambil nyengir lebar dan memasang kuda-kuda untuk mengelak dari tinju adiknya.

“Awas saja! Kakak selalu lebih senang memuji Julia daripada adiknya sendiri. Kakak tidak akan pernah bisa merebut perhatian Julia dariku!” Skye menahan agar dirinya tak berteriak karena dapat memancing perhatian seisi kafetaria.

“Biarkan saja, Skye. Dia hanya bercanda,” kataku akhirnya setelah sekian lama membisu.

“Nah, tuan putri ini benar, Skye! Santailah sedikit. Benar kan, little princess?” kakak Skye menatapku seolah meminta persetujuan. Aku menyadari sejak saat itulah ia mulai memanggilku little princess hingga kami dewasa kelak.

“Oh, dan kamu! Selalu saja membela ulah kakakku itu! Kalian berdua itu sama saja, tahu tidak? Menyebalkan!” kata Skye sebelum akhirnya kembali memusatkan perhatiannya kepada berita Pangeran William dan Harry. Kakaknya sudah mengambil langkah seribu dan kembali ke meja bersama tim footballnya.

“Tenang saja, Skye. Kakakmu selalu sayang kepadamu melebihi apapun di dunia ini, aku sangat yakin akan hal itu,” ujarku menenangkan hati sahabatku itu. Juga melebihi Melody Stevens, gumamku dalam hati.

“Sumpah, Julia! Aku punya firasat kalian berdua memang ditakdirkan untuk bersama melihat betapa seiring sejalannya kalian menghadapiku. Kakak yang menyebalkan, dibalas dengan kamu yang begitu menenangkan. Sepertinya memang perlu ada dua kutub berlawanan di dalam kehidupanku dan kalian berdualah kutubnya.,” kata Skye ceplas-ceplos.

Aku memberikan tatapan memohon kepadanya agar tidak mengatakannya keras-keras dan memberi isyarat dengan mata ke arah kakaknya di meja anak-anak populer. Lelaki itu sedang merangkul sang kekasih yang langsung memberinya kecupan tepat di bibir.

“Ew, jijik!” ujar Skye sambil menunjukkan wajah mual.

“Kakakku harusnya mendapatkan yang lebih baik, bukan gadis yang mirip boneka Barbie tanpa kepribadian seperti itu. Andai saja kamu berminat pada kakak, aku tentu lebih bahagia.”

Aku nyaris tersedak pasta.

“Yah, aku paham sih kalau dia hanyalah kakakku yang sudah terlalu biasa kita lihat setiap hari hingga bosan,” katanya melanjutkan sambil lalu.

Kami berdua, aku dan kakak Skye, memang pada akhirnya ditakdirkan untuk bersama. Bertahun-tahun setelah hari itu, bertahun-tahun setelah masa pacaran dengan Melody dan entah siapa lagi, tanpa pernah sedikitpun kami bayangkan sebelumnya. Hanya saja, agaknya jalan itu sudah tidak terbentang lagi setelah peristiwa yang menimpaku saat ini.

“Sepuluh minggu, Julia! Kandunganmu usianya sudah sepuluh minggu dan tidak sepatah kata pun kamu ceritakan kepada sahabatmu ini?” Skye berkata dengan nada tinggi, setengah membentak. Aku tahu ia marah, dan pasti akan meledak amarahnya, jika saja dia tidak tahu peristiwa apa yang baru saja menimpaku.

Aku bangkit dari kursi periksa, segera melepas pakaian rumah sakit dan segera berganti dengan pakaianku kembali. Ruangan itu begitu dingin dan terasa berlipat lebih dingin setelah dokter kandungan, yang juga teman Skye, keluar ruangan usai memeriksa kondisiku.

“Setidaknya kita tahu janinnya dalam kondisi sehat. Kamu seharusnya memberitahuku atau yah… memberi tahu kakakku lebih cepat,” ujar Skye lebih tenang.

“Maaf, Skye. Aku benar-benar bingung ketika pertama kali tahu bahwa aku hamil. Aku masih belum selesai kuliah dan kakakmu… dia… Kakakmu itu sedang bersinar. Film besar pertamanya baru saja tayang dan mendapat sederet pujian untuk kualitas aktingnya, setelah tiga tahun lamanya ia terpaksa berperan dalam film-film yang sebenarnya tidak ia inginkan. Seorang bayi bisa saja membuatnya jatuh…”

“Aku akan menyetop ucapanmu tepat di situ, Julia! Kamu dari semua orang yang ada di dunia ini, yang seharusnya paling mengerti kakakku,” Skye mulai membentakku lagi.

“Apakah kamu mengira kakak akan marah atau kecewa jika ia mengetahui perempuan yang paling ia sayangi, melebihi adik dan mungkin orang tuanya sendiri, tengah mengandung darah dagingnya? Dia akan menempatkan bayi itu di atas segalanya, bahkan di atas kariernya sendiri. Dia tergila-gila padamu! Aku mengira kamu mengenal kakakku dengan lebih baik, Julia!” katanya lagi.

Aku ingin sekali mempercayai setiap ucapan Skye, akan tetapi jauh di relung hati, banyak hal yang sebenarnya aku ragukan. Lelakiku itu terkadang tak dapat ditebak, meski sebenarnya ia tak pernah melakukan sesuatu yang secara terang-terangan salah terhadapku. Hanya saja, dalam beberapa peristiwa, aku kerap tak dapat mengerti jalan pikirannya sama sekali.

Ketika dahulu masih berpacaran dengan Melody, lelaki itu justru memulai rutinitas Sabtu paginya bersamaku di pattiserie sambil menikmati manisnya strawberry shortcake, seolah hanya kami berdua manusia yang tersisa di dunia. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan kebiasaan ini terus terjadi hampir setiap Sabtu pagi sampai pada hari di mana ia memutuskan untuk pergi.

“Aku bisa bercerita apa saja, kamu tahu? Bahkan dengan Skye pun, ada hal-hal yang aku simpan untuk diriku sendiri,” ucap lelakiku suatu ketika.

“Memangnya Skye tidak tahu kalau kamu menyukai Backstreet Boys?” ujarku mengkonfirmasi apa yang baru saja ia ceritakan.

“Wah, kalau sampai Skye tahu, dia bisa meledekku habis-habisan. Dia hanya boleh tahu aku suka Nirvana dan Pearl Jam, oke? Aku menyimpan kaset Backstreet Boys dan New Kids on the Block rapat-rapat di dalam laci meja belajarku yang memiliki kunci. Top secret,” ujarnya sambil tersenyum.

Mau tidak mau aku pun tertawa terbahak-bahak. Aku sendiri yang banyak menghabiskan waktu di rumah Skye tak pernah mengetahui kesukaannya pada boyband. Tak ada yang salah memang, hanya saja lelakiku itu sudah terlanjur populer dengan image macho, cuek, atlit, dan hal-hal yang lekat dengan maskulinitas lainnya. Jadi membayangkan ia bersenandung As Long As You Love Me sambil bersiap-siap mengikuti latihan football mau tak mau membuatku merasa geli.

“Jangan pernah sekalipun kamu bercerita kepada Skye soal itu. Aku memercayakan nyawaku ini sepenuhnya padamu, Kapten Julia!” ujarnya seraya memberi hormat menirukan gaya serdadu.

Seingatku, di akhir tahun ketiga mereka di SMA memang hubungannya dengan Melody terlihat tak menunjukkan masa depan cerah, setidaknya baginya. Aku mulai jarang menemukan mereka bergandengan tangan berdua di lorong sekolah, atau bercengkerama di kafetaria. Skye bahkan bisa pulang sekolah bersama kakaknya lebih sering karena Melody tak lagi ada dalam gambaran. Lambat laun mereka berdua pun tak pernah lagi terlihat bersama.

Terkadang aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah pertemuan kami di patisserie tepi laut itu yang menyebabkan hubungannya dengan Melody retak? Atau justru ia berlabuh kepadaku usai kisahnya dengan Melody tak lagi ada harapan? Hingga detik ini aku larut dalam keraguan yang menggerayangi batinku, namun mulutku tak kunjung mau mengucap kata tanya kepadanya.

“Ayo, ke apartemenku saja. Kita bicara di sana,” kata Skye memecah lamunanku. “Aku butuh menenangkan diri dari semua ini. Rasanya situasi di ruang gawat darurat semalam jadi lebih ringan jika melihat situasi gawat yang sedang kucoba cerna sekarang ini.”

Kami berdua kemudian berjalan ke apartemen dalam diam.

Rasanya sudah berabad-abad aku tidak mengunjungi apartemen Skye. Setiap kali aku mengunjungi kota ini, aku pasti akan berada di tempat tinggalku sendiri, atau dalam hal ini apartemen milik lelakiku. Biasanya Skye lah yang akan mengunjungiku dan kakaknya di sana. Kami juga lebih senang bertemu di restoran atau kafe yang nyaman, sehingga aku tak dapat mengingat tepatnya sudah berapa lama aku tidak menapakkan kakiku di sini.

Berbeda dengan apartemen lelakiku yang berada tepat di denyut jantung kota, bangunan apartemen tempat adiknya mukim terletak agak di daerah pinggiran. Aku sangat menyukainya, karena daerah ini terlindungi dari hingar-bingarnya pusat kota oleh deretan pepohonan yang rindang, menaungi siapa pun yang berjalan di bawahnya. Semilir angin yang berhembus dengan sejuk dan daun-daun bulan Oktober yang mulai menampakkan semburat jingga berguguran ke tepi jalan. Menurutku suasana seperti ini sangat romantis, meskipun aku dan Skye berjalan di bawahnya tanpa memecah keheningan sedikit pun.

Apartemen Skye nampak seperti yang selalu kubayangkan. Sedari dulu kamar Skye memang terlihat ajaib. Sebenarnya ia memiliki selera yang baik dalam hal tata ruang dan desain interior, hanya saja ia terlihat selalu tak mampu melakukan banyak hal dalam bidang perawatan.

Aku ingat ketika kami masih remaja, aku sangat iri ketika ayah Skye membelikan tempat tidur berkelambu seperti yang biasa digunakan putri raja dalam negeri dongeng. Akan tetapi hanya dalam hitungan beberapa bulan, ibu Skye terpaksa melipat kelambu yang tadinya menggantung dengan cantik dan menyimpannya di loteng. Kelambu itu menjadi begitu kusam dan robek di sana-sini karena Skye terlalu cuek untuk mempertahankan bentuk cantiknya. Aku merasa ia terkadang tak begitu peduli dengan barang-barang miliknya.

Rasa iriku pun berubah menjadi prihatin karena seandainya saja ayahku yang menghadiahkan tempat tidur berkelambu itu kepadaku, tentu aku akan merawatnya dengan penuh cinta kasih. Tempat tidur itu bahkan mungkin masih akan berdampingan dengan kelambunya hingga saat ini. Oh, mengapa gadis secantik Skye tak mampu membuat kamarnya secantik dirinya?

Apartemen Skye yang semestinya apik dengan dekor minimalis itu terlihat begitu penuh – jika aku tak ingin mengatakannya sebagai berantakan, dengan mug-mug betebaran di atas meja kopi dan buku-buku super tebal yang terbuka di atas sofa bahkan lantai. Hanya Tuhan yang tahu apa isi mug-mug yang malang itu dan sudah berapa lama mereka dibiarkan menganggur di atas meja. Aku masih bersyukur tidak ada pemandangan pakaian kotor tersebar di seluruh penjuru apartemen. Sepertinya ruangan bercat biru muda ini aman untuk dimasuki.

Aku menggantung jasku di tempatnya, di sebelah pintu, sekaligus melepas syal dan topi rajut yang sedari tadi kukenakan. Skye melemparkan hoodie dan ranselnya ke atas sofa.

“Jadi, Julia, mulailah bicara,” ucapnya kemudian. Ia menunjuk salah satu kursi di meja makannya dan tanpa membantah aku segera duduk. Ia pun mengambil tempat duduk tepat di hadapanku.

“Kamu harus mengerti bahwa aku tetap pada pendirianku. Aku tidak ingin punya bayi dari lelaki yang… Aku tidak ingin bayi ini.”

Skye menatap mataku lekat-lekat. Mata biru gelapnya begitu mirip dengan lelakiku, sehingga aku merasa pada satu sisi aku sedang dihakimi oleh mereka berdua sekaligus. Skye juga memiliki ciri khas guratan yang sama pada ujung luar matanya ketika sedang berpikir keras atau merengut, persis seperti kakaknya.

“Alasan, Julia. Aku butuh setidaknya satu alasan yang bisa diterima oleh akal sehatku. Bukan alasan yang dibangun berdasar asumsi, rasa sakit hati, atau kecemburuan yang tidak jelas arahnya,” kata Skye.

“Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Aku sudah menceritakan semuanya kepadamu apa yang kualami pagi tadi. Dan kecurigaanku selama ini...”

“Maksudmu, kakakku yang menyebalkan itu tega selingkuh darimu dengan perempuan lain?”

“Bukan begitu, aku tidak yakin. Rasanya aku pernah melihat perempuan yang keluar dari apartemen itu sebelumnya, namun aku tak bisa mengingatnya dengan pasti,” ujarku ragu.

“Apakah itu artinya kakakku berselingkuh dengannya?”

“Aku tidak tahu.”

“Lalu apa yang sebenarnya kamu tahu? Dari tadi semua alasanmu tidak dapat kuterima, Julia. Aku sangat yakin ada kesalahpahaman yang bisa diluruskan oleh kakak,” ujar Skye dengan nada putus asa.

“Dan aku sangat yakin tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku tidak ingin memiliki anak dari lelaki yang tidak bisa kupercaya! Mestinya kamu tadi membantuku menggugurkan janin ini selagi kita masih di rumah sakit.”

“Stop, Julia! Aku mohon padamu demi apa pun yang ada di dunia ini, berpikirlah secara logis. Luruskan dulu semua ini dengan kakakku sebelum kamu mengambil keputusan yang tidak hanya berbahaya bagi bayi malang ini, melainkan juga berbahaya bagi dirimu. Kamu bisa menyesalinya suatu hari nanti!”

Skye mengatakan hal itu dengan keras hingga ia berdiri dari kursinya dan memberikanku tatapan yang tajam. Aku tak kuasa melihat lurus ke dalam matanya yang semakin mengingatkanku pada ayah dari makhluk yang ada di dalam tubuhku ini.

“Aku sudah cukup lelah berurusan dengan kakakmu,” kataku akhirnya.

“Apa maksudmu?” Skye menatapku seolah tak percaya.

“Ia selalu saja begitu. Di SMA dulu ada Melody, meskipun ia lebih senang menghabiskan waktu bercerita segala hal kepadaku. Ketika ia pindah ke kota ini dan mulai kuliah, entah berapa gadis sorority yang ia pacari. Padahal ia memberi harapan kepadaku dan berjanji menungguku hingga ia merasa aku cukup dewasa untuknya.”

Skye sempat ragu sebelum menjawab, “Julia, kamu tahu semua itu tidak ada artinya. Tidak pernah ada perempuan lain yang dicintainya selain dirimu. Mereka semua tak memiliki arti apa-apa.”

“Aku tidak akan pernah tahu…”

“Kamu lihat ini, Julia!” kata Skye sembari mengangkat tangan kiriku, memperlihatkan cincin bertatah berlian mungil yang tersemat dengan begitu cantiknya di jemari manisku.

Aku masih belum berani menatap mata sahabatku itu.

“Ini adalah bukti bahwa ia serius dengan janjinya!” teriaknya.

Dua tahun lalu ketika aku baru lulus kuliah, lelakiku itu memintaku pindah dan tinggal bersamanya di kota ini. Meski aku sangat gembira ketika mendengarnya, namun aku merasa tidak dapat menyanggupi permintaan ini karena aku sangat ingin menyelesaikan kuliah master yang kudapat dengan susah payah melalui beasiswa.

Lagipula, ia baru saja menyelesaikan film layar lebar perdanya, sebuah komedi romantis yang menampilkan dua bintang baru. Masih panjang perjalanannya untuk diakui di dunia film yang memang telah menjadi cita-citanya sejak lama. Aku khawatir keputusan ini akan terlalu terburu-buru dan menjadi penyesalan bagi kami berdua di kemudian hari.

Ada sedikit guratan kecewa di wajahnya saat aku menolak, namun akhirnya ia berkata bahwa ia akan menunggu hingga aku siap. Ia menyematkan sebuah cincin berlian yang katanya adalah promise ring untuk mengingatkanku pada dirinya yang memang akan selalu menunggu.

“Aku berhasil menunggumu hingga kamu dewasa, little princess. Bagiku, menunggu sebentar lagi hingga kamu benar-benar siap, bukanlah masalah besar,” ucapnya ketika itu sambil memberikan sebuah kecupan di pipi.

Sebenarnya, keraguan sudah lama menggelayuti alam pikiranku mengenai hal-hal yang berkaitan dengan komitmen lelaki itu. Bahkan jauh setelah Melody Stevens tak lagi menghiasi hari-harinya, aku selalu ragu bahwa ia sebenarnya hanya membutuhkanku sebagai teman berbicara, bertukar pikiran, melarikan diri dari kepenatan rutinitas dan mencari kedamaian.

Aku tidak tahu apakah ia benar-benar membayangkanku sebagai kekasihnya. Setiap janji yang ia buat untuk menungguku dewasa, setiap langkah yang ia buat untuk membuat diriku lebih dekat dengannya, terasa begitu tidak nyata. Kami dekat, tetapi aku selalu saja curiga ada sosok-sosok lain yang menemani hari-harinya.

“Bahkan ketika ia telah memberiku cincin ini, selalu saja ada hal-hal yang menurutku aneh terjadi di sekitarnya,” ucapku pada Skye dengan pelan, nyaris berbisik.

“Cincin ini masih kamu pakai. Itu saja yang aku perlu tahu.”

Aku menatap nanar ke arah cincin yang tanpa kusadari masih tersemat di jemariku. Semestinya tadi kulemparkan saja benda ini ke wajahnya sebelum aku memutuskan untuk pergi.

“Aku menyayangimu, Julia. Sejak kecil kita selalu menanggung berbagai hal bersama, jadi aku tidak akan membiarkan kamu menanggung semua ini sendirian,” ujarnya lagi.

“Maka bantulah aku memenuhi keinginanku. Aku ingin menghentikan semuanya, mengakhiri segalanya dengan kakakmu,” kataku yang akhirnya berani menatap mata Skye.

“Tidak! Itu anak kakakku, jadi ada sedikit darahku juga mengalir di dalamnya. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil keputusan dengan gegabah! Tidak sebelum kamu melangkahi mayatku!”

“Demi Tuhan, Skye! Aku mohon…”

“Tidak! Kamu dengar, Julia! Kamu tidak akan melakukan apa pun sebelum kamu membicarakannya dengan kakakku,” kata Skye keras.

Aku terdiam dan berusaha menahan emosi yang sedari tadi pagi sudah meluap dan membuatku sesak. Wajahku pasti merah padam tak karuan. Aku melihat wajah Skye pun demikian, namun ia terdiam, seolah kehabisan kata-kata untuk menceramahiku yang tak kalah keras kepala dengannya.

Tiba-tiba bel pintu apartemennya berdenting, seolah menyelamatkan dunia ini dari keheningan abadi.

“Kamu tahu, Julia. Sebesar apa pun aku menyayangimu, aku tetap perlu tidur nyenyak setelah semua ini,” kata Skye akhirnya. Ia berjalan pelan ke arah pintu yang belnya masih berbunyi tadi sambil memakai hoodie dan tas ranselnya kembali.

Aku ditinggal seorang diri di meja makan, kebingungan dengan perubahan suasana hati sahabatku yang mendadak ini.

“Aku mau pergi ke tempat temanku dan tidur di sana untuk sementara waktu. Kamu tetap tinggal di sini saja sesukamu dan aku mohon, bicarakan semuanya dengan kakak secara baik-baik. Aku sayang padamu, Julia,” ucapnya sambil membuka pintu, melihat ke arahku dengan sebuah senyuman, dan berjalan keluar tanpa menoleh lagi.

Belum habis rasa heranku, dari balik pintu yang tadi dibuka Skye, muncul sosok lelaki berambut kecokelatan dengan mata biru gelap.

“Halo, Julia,” ujar lelaki itu dengan tatapan yang menyiratkan kerinduan.

“Chris!”

*****

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha