Skip to main content

Strawberry Shortcake on the Shore: Chapter 4


Before You Tell Him Goodbye


          Perjalanan pertamaku meninggalkan rumah, jauh dari kota kecil tepi laut dan seluruh kehidupan masa kecilku memang bukan ke kota Spring Haven. Ketika aku masih kecil, orang tuaku beberapa kali mengajakku menghabiskan liburan musim panas ke negara-negara bagian lain untuk menikmati suasana yang berbeda, jauh dari laut. Beberapa liburan musim dingin, kami juga mengunjungi wilayah yang bersalju agar aku dan adik-adikku bisa menikmati sensasi berseluncur di atas kereta es. Di pesisir barat memang salju tak pernah turun. Lalu setelah lulus dari SMA, aku menghabiskan setiap liburan musim panasku mengunjungi Skye di Central City. Skye dan Chris, tentu saja.
Musim panas 2005 menjadi penanda kepergianku dari kota kecil tepi laut untuk memulai kehidupan baru di Spring Haven. Di tahun terakhir kuliahku, aku mengikuti program seleksi beasiswa untuk mendapat gelar master di bidang English Literature di universitas terkemuka yang berlokasi tepat di jantung Spring Haven. Universitas itu termasuk salah satu universitas tertua di negara ini dengan reputasi yang mengagumkan. Ditambah, jurusan yang sangat aku minati adalah yang terbaik dengan lulusan terdiri dari deretan penulis ternama dan tak sedikit pemenang penghargaan Pulitzer serta Nobel.
Sudah menjadi impianku sejak lama untuk bisa merintis cita-cita sebagai penulis berbekal ilmu dari tempat sehebat itu. Namun saat memilih universitas untuk pertama kalinya empat tahun lalu, ayah sangat menentangku untuk pergi jauh darinya. Aku yang masih sangat muda kala itu terpaksa mengalah dan berkata untuk menyemangati diri sendiri bahwa universitas di kota kecil tepi laut juga tak kalah bagusnya. Aku kemudian menghabiskan empat tahun masa kuliahku di sana, tidak jauh dari rumah, tanpa pernah menjajal pengalaman tinggal di asrama atau flat sewaan, dan nyaris tak punya pengalaman berpesta sebagai mahasiswa.
Menjelang lulus kuliah, aku memberanikan diri untuk menyuarakan keinginanku kepada ayah dan ibu. Mereka pun akhirnya merelakan aku mendaftar beasiswa ke universitas pilihanku sendiri, mungkin dengan sedikit harapan sainganku akan banyak dan peluangku untuk diterima menjadi sangat minim.
Aku memang pada awalnya tak banyak berharap pada beasiswa itu dan ayah sudah siap mendanai jika aku memang masih betah duduk di bangku kuliah daripada bekerja, asalkan tetap dilakukan di almamaterku yang hanya sepelemparan batu dari rumah. Lalu secara mengejutkan, namaku berhasil masuk dalam daftar pendek pemegang beasiswa. Ayah tak lagi punya alasan untuk mencegahku mengejar impian dan dengan tabah mendukung keinginanku sepenuhnya.
Musim panas memang baru saja dimulai, akan tetapi kedua orang tuaku sudah harus mengantar anak gadis satu-satunya ini ke bandara dengan perasaan campur aduk. Aku yakin setengah dari hati mereka masih mempertanyakan mengapa perlu bagiku untuk terbang ribuan mil jauhnya ke ujung timur negara ini untuk menuntut ilmu. Bagi ibu, itu tak ada bedanya dengan aku kuliah di luar negeri.
            “Aku kan bukan pergi untuk selamanya, Bu,” kataku sembari memeluknya erat-erat.
            Ibuku adalah tipe perempuan sederhana yang lekat dengan sifat keibuan. Seolah ia memang terlahir untuk menjadi perempuan yang mengabdi pada keluarga. Setelah menikah dengan ayahku sesaat selepas SMA, ibu mendedikasikan dirinya secara penuh untuk ayah yang hampir menyelesaikan kuliah kedokteran di kota seberang dan kemudian tinggal berpindah-pindah selama ayah bekerja sebagai dokter residen di beberapa rumah sakit. Ibu selalu setia mendampingi ayah sambil merawatku yang lahir hanya dua tahun setelah mereka menikah. Ketika aku berusia lima tahun, ayah memutuskan untuk kembali ke kota asalnya di tepi laut ini dan memberikan tempat menetap bagi keluarga kecilnya, terutama bagi ibu.
Ibu sama sekali tak pernah mengeluh atau merasa hidupnya terbuang sia-sia karena tak pernah mencicipi rasanya berkarier dan memiliki kebebasan layaknya perempuan lajang. Ayah memang memberikan segalanya untuk ibu, meski kami tak bisa dibilang sebagai keluarga yang kaya. Ayah yang pada akhirnya berhasil meniti karier sebagai seorang dokter bedah syaraf ternama lebih senang melakukan kegiatan sosial di sepanjang pesisir barat ketimbang menjalani prosedur bedah berbiaya jutaan dollar di rumah sakit besar.
Untuk mengisi waktu luangnya saat aku dan adik-adikku bersekolah, ibu menanam berbagai bunga dan buah berry lalu merawatnya dengan sepenuh hati sehingga kebunnya selalu memenangi kontes kebun terbaik di kota kecil tepi laut. Para tetangga pun tak jarang meminta ibu untuk membuatkan buket bunga untuk berbagai keperluan mereka, seperti korsase untuk prom, hadiah Valentine, atau sekedar diletakkan di dalam vas untuk mempercantik rumah mereka. Mereka membayar ibu dengan layak meski awalnya ibu sempat menolak, sehingga pada akhirnya ibuku menjadi seorang entrepreneur dadakan yang hingga kini semakin mantap menjalani bisnis lokal. Ibu bahkan bisa membuka toko kecil dan mempekerjakan dua pegawai untuk membantunya mengelola bisnis tersebut.
            Sepanjang dua puluh dua tahun hidupku, ibu tak pernah berpisah lama denganku. Jadi perjalananku ke Spring Haven tidak hanya menjadi pengalaman pertama bagiku, melainkan juga bagi ibuku. Dia yang sedetik pun tak tahan berpisah dengan keluarganya, harus belajar menghadapai kenyataan bahwa satu per satu anaknya akan tumbuh dewasa dan memiliki impiannya masing-masing.
            “Kita baru saja merayakan ulang tahunmu, dear!” ucapnya memprotes.
            “Aku tahu, Bu. Setiap ulang tahunku bersama ibu adalah ulang tahun terbaik dan aku akan berusaha selalu pulang untuk merayakannya bersama ibu,” kataku akhirnya melepaskan pelukan darinya.
Ibuku memiliki tinggi yang sama denganku, wajah dengan bintik-bintik yang sama di atas tulang pipi, dan rambut kemerahan yang biasa disebut orang sebagai ginger red, akan tetapi warna mata kami berbeda. Ibuku beruntung memiliki bola mata berwarna cokelat yang membuat pesona kecantikannya memancar karena kontras dengan warna rambutnya. Sedangkan aku memiliki mata berwarna hijau yang membuatku selalu tidak percaya diri. Betapa tidak, seluruh anggota keluargaku memiliki warna mata yang sama dan aku seakan terlahir sebagai anomali.
Apalagi jarang sekali aku menemui orang yang senasib denganku di kota ini: berambut merah dan mata hijau. Ibu bilang, keistimewaan yang langka itu aku warisi dari nenek buyut dari pihaknya yang keturunan Eropa Utara. Nenekku dari pihak ayah juga memiliki rambut merah. Sepertinya rambut merah adalah tradisi keluarga, meski sepanjang sekolah dasar aku harus berpura-pura tidak mendengar saat beberapa anak lelaki yang nakal memanggilku dengan sebutan gingerhead alien.  
“Bagaimana denganku, love?” kata ayah melebarkan tangannya, menanti giliran untuk mendapatkan pelukan. Aku membalasnya dengan pelukan yang sangat erat.
Ayah adalah penyelamat dan panutanku nomor satu di dunia. Mungkin orang-orang yang mengatakan bahwa anak gadis akan selamanya dekat dengan sosok ayah itu benar. Aku sangat dekat dengan ayah, kami memiliki banyak sekali kemiripan Meski secara fisik aku terlihat jelas-jelas merupakan fotokopi dari ibu dan mewarisi sifat pendiamnya, akan tetapi keteguhan hati ayahlah yang mengalir dalam tubuhku.
Kami berdua sama-sama memiliki mimpi besar yang harus kami kejar meski itu berarti meninggalkan tempat tinggal kami yang nyaman. Berbeda dengan ibu yang tak pernah berpikir untuk meninggalkan kota kecil tepi laut. Impianku terkadang begitu liar dan godaan untuk menggapainya terasa makin nyata di saat aku tumbuh dewasa.
Ayah juga menyukai segala sesuatu yang berbau vintage dan retro, terutama yang berasal dari era 1960an dan 1970an. Ia bahkan masih menyimpan koleksi piringan hitam beserta alat pemutar yang ia warisi dari kakeknya. Setiap Jumat malam sepulang dari rumah sakit, ayah akan mengajak ibu berdansa di ruang tengah diiringi lagu-lagu dari koleksinya itu. Musik yang paling sering diputarnya, tentu saja The Beatles. Ayah bilang waktu aku masih sekolah dulu ia pernah mencoba menata rambutnya dengan gaya poni, tetapi para pasiennya malah memanggilnya dengan julukan dokter boyband karena lebih mirip Nick Carter ketimbang Paul McCartney. Sejak saat itu ayah tak pernah lagi bereksperimen dengan poni.
Kecintaannya pada The Beatles juga ia salurkan lewat diriku yang ia beri nama seperti nama ibu kandung John Lennon. Julia, juga menjadi salah satu lagu The Beatles yang manis walaupun tak begitu populer. Seperti aku, yang menurut ayah begitu sederhana dan sangat berharga meski aku tak pernah mau memperlihatkannya kepada dunia. Lalu nama kedua adik kembarku yang begitu spektakuler: John dan Lennon. John lahir lebih dahulu sekitar 5 menit dari Lennon. Meski keduanya identik, akan tetapi John lebih sabar dan pendiam seperti ibu, sementara Lennon begitu mirip ayah yang ekspresif dan tak bisa dibendung. Mereka terpaut lebih muda enam tahun dariku, jadi aku terkadang tak bisa memahami alam pikiran dan dunia mereka.
“Aku masih heran mengapa kamu harus pergi secepat ini. Kuliahmu baru akan dimulai bulan September, kan?” tanya ayah.
Aku tersenyum, “Kita sudah membicarakan ini, Yah. Aku perlu waktu untuk mencari apartemen dan berbenah sebelum mulai disibukkan dengan jadwal kuliah. Lalu aku juga akan pergi ke Central City mengunjungi Skye.”
“Apakah Chris akan ada di sana untuk membantumu?” tanyanya kemudian.
Topik mengenai Chris selalu mengusik tanda tanya bagi kedua orang tuaku, terutama ayah. Mereka tahu aku menjadi dekat dengan dirinya ketika aku mulai masuk SMA dan hubungan kami semakin berkembang setelah aku kuliah. Hanya saja mereka tidak pernah percaya kepada Chris yang meninggalkan orang tuanya begitu saja dan tak pernah berbicara lagi dengan mereka sejak saat itu. Bagi ayah, tindakan seperti itu sangat kurang ajar.
Kekhawatiran mereka ada benarnya juga. Chris tak pernah membahas mengenai hubungan kami secara serius. Sejujurnya aku juga tidak tahu apakah hubungan kami sebagai pasangan ini resmi atau tidak. Aku hanya merasa ada ikatan di antara kami berdua yang tak dapat kujelaskan dan semakin lama semakin sulit untuk melepaskan diri darinya. Seolah jalan hidup kami memang terhubung satu sama lain. Orang tuaku hanya khawatir jika pada akhirnya aku akan menjadi pihak yang tersakiti.
“Ia akan menjemputku di Spring Haven, Ayah,” kataku seraya mengecup pipi pahlawanku itu. “Aku memberikan Chris daftar apartemen yang menarik bagiku dan ia sudah menyewa mobil untuk mengantarku melihat-lihat. Kami juga akan berbelanja beberapa keperluan dan mungkin merapikan apartemen baruku selama satu atau dua minggu sebelum bertemu Skye di Central City.”
“Apakah itu ide yang bagus?” Aku melihat ayahku sedikit merengut, tidak senang dengan ide aku dan Chris hanya berdua selama seminggu penuh.
“Semua akan baik-baik saja, aku berjanji. Aku sudah besar, Ayah harus mulai belajar memercayaiku.”
“Jika memang kamu menghendakinya, love.”
“Chris itu anak yang baik, darling. Hanya saja ia perlu dibimbing perlahan untuk kembali pulang. Aku percaya ia akan menjaga Julia baik-baik,” kata ibuku tiba-tiba kepada ayah.
Ibu yang lembut selalu bisa meredam suasana hati ayah yang seringkali begitu skeptis dan protektif terhadapku, terutama jika mengangkut soal laki-laki. Sikap ayah ini bermula sejak aku SMA dan berlanjut hingga kini ketika aku sudah menginjak usia dewasa. Tak heran jika aku pada akhirnya tak pernah berpacaran dengan siapa pun secara serius.
Ibu kemudian menatapku dan melanjutkan, “Tolong sampaikan bahwa ibunya sangat merindukannya. Kami berdua menonton filmnya di bioskop tahun lalu, dan aku bisa lihat betapa ibunya sangat ingin memeluk anaknya itu. Ia sangat dewasa dan tampan sekarang.”
Aku tersenyum pada ibu. Sudah sekitar enam tahun Chris memutuskan kontak dengan keluarganya, kecuali Skye. Seolah seluruh kehidupan masa lalunya di kota kecil tepi laut menguap. Ia bahkan tak pernah menghubungi teman-teman tim footballnya, kecuali Flynn yang memang menjalin hubungan dengan adiknya selama bertahun-tahun.
Aku tak pernah berani banyak bertanya kepadanya, karena setiap kali aku membahas masalah itu, sorot matanya langsung menyiratkan kemarahan. Aku tidak tahu apa yang tersimpan rapat dalam hatinya, tetapi aku pernah dengar dari Skye bahwa Chris tidak pernah bisa menerima bahwa ayahnya sudah mengatur hidupnya untuk menjadi pewaris bisnisnya tanpa menghiraukan impiannya sama sekali. Sebelum ia meninggalkan rumah, mereka berdua bertengkar hebat sampai Skye juga tidak bisa memastikan apakah Chris benar-benar meninggalkan rumah atau ayahnyalah yang sebenarnya mengusirnya.
“Akan aku usahakan, Bu.”
“Oh, sayangku! Mengapa rasanya baru kemarin aku mengantarmu ke depan gerbang sekolah dasar dan kini aku harus rela melepasmu hidup di kota lain,” kata ibu lagi.
Aku memeluknya kembali. “Saat ibu seusiaku, ibu sudah memiliki aku. Itu adalah satu langkah besar yang tidak bisa aku saingi hingga kapan pun, Bu. Kini aku mau ibu membiarkanku mengambil langkah besarku sendiri. Aku percaya ibu bisa, dengan doa yang selalu ibu panjatkan setiap malam untukku.”
Suara dari pengeras terdengar memanggil nomor penerbanganku. Para penumpang sudah bisa melakukan proses check-in.  Suasana di lobby keberangkatan mendadak penuh dengan orang-orang yang mulai bangkit dari kursinya dan membawa koper-koper mereka. Tidak ada bandara di kota kecil tepi laut, jadi kami harus berkendara selama dua jam ke Angel Falls, kota terdekat yang memiliki bandara besar. Kami berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan dan tempat parkir yang penuh.
Aku menegakkan pegangan pada koper besarku dan menjinjing koper yang lebih kecil. Bawaanku memang cukup banyak, ditambah satu tote bag yang sedari tadi kusampirkan di pundak. Ini saatnya, mengawali perpisahan dengan keluargaku.
“Sini biar aku bantu, love,” kata ayah seraya mengambil dua koper dari tanganku dan berjalan menuju counter check-in. Aku mengekornya seraya menggandeng lengan ibu dengan manja. Aku tahu ini adalah mimpiku, akan tetapi aku tak pernah menduga jika mengucap kata pisah kepada orang tua akan menjadi beban berat yang seolah meruntuhkan tubuhku.
“Jangan berani-berani pergi sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada kami, Kak!” Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Lennon.
“Demi Tuhan, kemana saja kalian? Kalian hanya diberi satu tugas mudah untuk memarkir mobil dan butuh waktu berabad-abad untuk menyelesaikannya!” ucap ibu nyaris berteriak.
“Bukan salahku, Bu. Aku sudah bilang pada John bahwa parkir di area terbuka akan lebih mudah, namun ia dengan segala kalkulasinya mendesakku agar memarkir mobil di dalam gedung parkir dengan alasan keamanan dan cuaca. Ternyata semua orang berpikiran sama!”
“Artinya semua orang berpikir logis sepertiku,” kata John membela diri.
Aku mengacak-acak rambut kedua adikku itu kemudian merangkul mereka. Aku bahkan akan merindukan ulah mereka yang biasanya selalu menimbulkan keributan dan mengusik keseharianku di rumah.
“Kakak!” teriak mereka kompak sambil merapikan kembali rambut mereka.
“Jadi, akhirnya sampai di sini, love,” kata ayah yang baru saja memasukkan koper-koperku ke counter check-in.
“Sampai di sini untuk hari ini, Ayah. Aku akan pulang kembali sebelum Ayah menyadarinya,” kataku sambil memeluk dan mencium pipinya.
“Jaga dirimu baik-baik, Julia. Telepon ibu setidaknya seminggu sekali,” ujar ibu sambil memelukku. Aku tahu dengan pasti aku akan sangat merindukannya lebih dari apa pun.
Aku berjalan menuju ruang tunggu sambil menatap keluargaku untuk terakhir kalinya. Ayah merangkul ibu yang menyandarkan kepalanya di pundak kokoh ayah. Si kembar melambaikan tangan dan bahkan bersikap lebih manis dari biasanya terhadapku. Penerbangan selama tujuh jam ke Spring Haven ini akan terasa begitu lama dengan sejuta kenangan melayang-layang di alam pikiranku.
Aku teringat pada sebuah masa ketika hubunganku dengan Chris masih begitu canggung. Masa di mana kebiasaan kami menghabiskan Sabtu pagi di patisserie sambil menikmati manis asamnya kue strawberry shortcake baru saja bermula. Pada masa itu kami nyaris tak pernah saling berbicara kepada satu sama lain di sekolah. Chris memang kerap mencoba membuka pembicaraan jika melihatku sedang bersama Skye, namun aku terlalu malu untuk menanggapinya, bahkan untuk menatap lurus ke matanya. Membayangkan saja sudah membuatku merasa mau pingsan. Jadi biasanya aku hanya membalas segala ucapan Chris dengan anggukan atau sebuah senyuman yang dipaksakan.
Sore itu aku sedang menunggu Skye latihan cheerleader. Kami berencana mau pergi ke mall setelah Skye latihan untuk mencari gaun pesta dansa homecoming kedua kami di SMA. Aku memutuskan untuk menunggu di sudut tribun lapangan football karena gedung sekolah pasti sudah cukup sepi dan perpustakaan sudah tutup. Sudut itu cukup terlindungi sehingga para pemain football dan pemandu sorak yang tengah berlatih di sisi lain lapangan tak bisa melihatku, namun aku bisa melihat kegiatan mereka dengan jelas. Aku membuka novel Pride and Prejudice yang harus kami baca untuk proyek Bahasa Ingris dan mulai larut ke alam karya Jane Austen tersebut.
“Mulai mengerjakan tugas lebih cepat, Julia?” Sebuah suara mengejutkanku. Grayson, teman sekelasku di kelas Bahasa Inggris.
“Bukankah kamu seharusnya masih berada di lapangan?” ujarku heran sambil menatap seragam footballnya yang sudah penuh dengan lumpur dan keringat.
“Ah, di sana membosankan! Aku lebih senang melihat gadis manis yang sedang membaca buku diam-diam di balik tribun,” ujarnya santai.
“Grayson!” Aku bisa membayangkan pipiku berubah warna menjadi merah karena tersipu malu.
Aku bertemu kembali dengan Grayson di hari pertama SMA. Kebetulan kami berada di kelas homeroom yang sama pagi itu. Grayson adalah salah satu anak menyebalkan yang sering mengataiku gingerhead alien ketika kami masih SD, tetapi setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu dengannya lagi karena ayahnya sempat dipindahtugaskan ke Angel Falls oleh kantornya, Grayson kini berubah menjadi lelaki yang lebih ramah terhadapku.
Sejak saat itu kami beberapa kali menghabiskan waktu bersama jika aku sedang tidak bersama Skye. Ada sesuatu yang membuatku mau membuka hati kepada Grayson, hal yang jarang sekali aku lakukan terhadap laki-laki yang menurut Skye menaruh perhatian kepadaku. Ia memang berbeda dengan Chris yang kehadirannya selalu membuatku berdebar-debar, tetapi ada kehangatan yang kurasakan ketika bersama Grayson. Kehangatan yang sama setiap aku mendengar Chris bercerita kepadaku sambil menikmati strawberry shortcake di patisserie pada Sabtu pagi.
“Sophomore sepertiku hanya akan dibangkucadangkan, Julia. Mereka tidak butuh dua quarterback dalam satu pertandingan football. Para senior sedang dalam masa kejayaan mereka. Chris adalah quarterback mereka sejak dua musim lalu, jadi sepertinya aku masih harus bersabar satu musim pertandingan ini dan duduk manis di bangku cadangan sambil menunggu dia lulus,” keluh Grayson.
“Selalu ada harapan asalkan kamu rajin berlatih, Grayson. Aku yakin kamu bakal jadi bintang quarterback pada saatnya nanti.”
Aku membiarkan tangan Grayson membelai rambutku dan menyentuh pipiku. Aku rasa aku menyukainya, hanya saja aku sama sekali tidak siap untuk menjalin hubungan apa pun dengan siapa pun, sampai aku bisa menjelaskan kepada diriku sendiri bagaimana perasaanku kepada Chris.
Aku tahu Chris benar-benar tak dapat dijangkau, selain karena ia adalah kakak dari sahabat terbaikku, ia juga memiliki pacar yang luar biasa populer meski hubungan mereka agaknya sejak tahun lalu mulai terlihat pasang surut. Hanya saja aku tidak ingin melampiaskan perasaanku terhadap Chris yang tidak kesampaian kepada Grayson. Akan menjadi tidak adil untuk kami berdua.
Grayson mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku bisa merasakan deru nafasnya dengan jelas, terasa hangat dan menggebu. Aroma tubuhnya yang penuh peluh bercampur dengan aroma matahari dan rerumputan basah menguar memenuhi indera penciumanku. Jantungku menjadi berdebar tak karuan.
“Grayson, hentikan! Apa yang kamu lakukan?” Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga.
“Ayolah, Julia. Kita sudah bersama selama satu tahun belakangan ini, mengapa kamu tidak juga mengizinkanku untuk menciummu?” Grayson nampak terkejut.
“Kamu tahu alasannya! Aku sudah memberitahumu ketika pertama kali kamu mencoba menciumku. Kamu bilang kamu mengerti dan menghormati keputusanku.”
“Ya ampun, itu lagi! Mau sampai kapan, Julia? Apa sih yang sebenarnya kamu tunggu? Aku akan menjadi yang pertama bagimu dan aku akan melakukannya sekarang!”
Aku bangkit dari tribun dan memasukkan buku ke dalam ranselku secepat kilat. Sebelum aku bisa pergi dari hadapannya, Grayson menangkap pergelangan tanganku dan menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Ia mencoba menciumku kembali.
“Kamu gila, Grayson! Hentikan!” Aku meronta dan mencoba mendorong tubuhnya, namun sia-sia. Aku memejamkan mataku dan berharap ada keajaiban. Air mataku mulai mengalir, tetapi Grayson tak menghiraukannya.
“Lepaskan sahabatku, bajingan!”
Tiba-tiba aku merasa ada yang menarik tubuh Grayson dan membuatku terhuyung ke belakang. Aku memberanikan diri untuk membuka mata dan melihat Skye sedang memukul Grayson tepat di hidungnya.
“Sialan, Skye! Hidungku bisa patah!”
“Aku tidak peduli, lelaki bajingan! Kamu menyakiti sahabatku, aku harus memberimu pelajaran. Beruntung aku tidak membunuhmu!”
“Jangan ikut campur, ini urusanku dan Julia!”
“Julia itu sahabatku, maka itu jadi urusanku juga! Sekarang enyah dari sini, dan jangan pernah ganggu Julia lagi! Awas kalau aku melihatmu masih saja berada di dekatnya!” Skye berteriak keras dan matanya membara dengan penuh amarah.
“Sial! Ini belum selesai, Skye!” Grayson berdiri menantang Skye, seolah mereka berdua siap baku hantam, tak peduli jika tubuhnya jauh lebih besar dari Skye.
“Cukup, Grayson! Pergi ke ruang ganti, latihan hari ini selesai,” Flynn tiba-tiba muncul memecah keributan yang tengah terjadi ini. Chris berada tepat di belakangnya. Aku melihat rahangnya menegang dan garis-garis wajahnya merengut seperti menahan sesuatu, akan tetapi ia diam saja.
“Kapten…” ujar Grayson menurunkan nada bicaranya.
“Pergi saja,” kata Flynn dengan tegas.
“Baik, aku pergi. Hanya karena ini perintah dari kapten timku,” kata Grayson kepada Skye. Ia lalu membalikkan tubuhnya ke arahku dan berkata, “Kamu bisa pergi ke pesta dansa homecoming sendiri, Julia. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan jalan pikiranmu yang sok suci itu. Sampai pesta prom senior pun tidak akan ada satu pun lelaki yang mau mengajakmu.”
Grayson pergi dengan menorehkan kata-kata yang menyakitkan hatiku. Air mataku mengalir semakin deras di pelukan Skye.
“Sudah aku bilang jangan berurusan dengan lelaki bajingan seperti dia. Kamu harus belajar untuk membela dirimu sendiri, Julia. Bagaimana kalau aku tidak ada? Siapa yang akan melindungimu?” kata Skye yang justru membuat tangisanku makin keras.
“Jangan memarahinya, adik manis. Apa kamu tidak lihat Julia masih shock? Ayo, kita pulang saja. Aku akan mengantar kalian berdua pulang,” kata Chris.
“Tetapi bukankah kamu biasanya harus bersama Melody?” protes Skye.
Chris tersenyum, wajahnya menunjukkan raut lelah. “Tidak, dia bisa pulang bersama teman-temannya. Saat ini adikku dan sahabat terbaiknya lebih penting dari siapa pun di dunia.”
“Nanti dia marah…” ujar Skye yang dengan cepat dipotong oleh Chris.
“Kami berdua…. Bisa dibilang kami berdua saat ini sedang tidak dalam sebuah hubungan yang sehat. Lain kali aku akan ceritakan padamu, tapi sekarang kita fokus pada Julia saja dulu.”
Skye merangkulku dan membawaku ke lapangan parkir menuju tempat Chris memarkir mobilnya. Melody sudah menunggu di sana dan nampak terkejut ketika Chris memintanya untuk pulang sendiri. Kami naik ke mobil Chris diiringi tatapan penuh kebencian dari Melody Stevens, si ketua pemandu sorak, anak paling populer di sekolah kami.
“Nah, siapa yang mau mulai bercerita kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi barusan?” kata Chris saat mobil sudah melaju meninggalkan sekolah. Ia menatap kami berdua yang duduk di kursi belakang dari kaca spionnya.
“Grayson itu bajingan dan besok aku akan membunuhnya!” kata Skye berapi-api masih terbayang peristiwa tadi.
“Julia?” Chris bertanya kepadaku.
“Eh, aku tidak apa-apa. Sungguh, aku tidak mau merepotkan semua orang,” jawabku pelan, masih diselingi isak tangis.
“Sudahlah, Julia. Dia kakakku, aku akan menceritakan semua kepadanya. Terkadang aku tidak bisa menahan kesabaran jika itu menyangkut dirimu,” kata Skye.
“Siapa sebenarnya Grayson ini? Yah, dia ada di tim football, tetapi aku tidak begitu mengenalnya,” kata Chris.
“Dia temanku. Dia sebenarnya anak yang baik, tapi aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan tadi,” kataku mulai agak tenang.
“Dia berusaha menciumnya, Kak!” teriak Skye histeris.
Chris menunjukkan wajah bingung. “Lalu?”
“Oh, kakakku ternyata belum mengenalmu dengan baik, Julia. Kamu dengar itu? Dia malah bertanya balik.”
“Apa salahnya berciuman? Kita semua sudah besar, bukan?”
“Kak, Julia itu berbeda dari kita semua. Makhluk jenis Julia Jane Parker ini langka. Makhluk seperti dia sepertinya hanya bisa jatuh cinta satu kali seumur hidup, jadi dia tidak akan memberikan segalanya kepada sembarang laki-laki.”
“Skye, jangan cerita kepada kakakmu. Itu semua memalukan,” aku berkata kepada Skye dan memohon ia menghentikan ucapannya. Terlambat.
“Dia tidak akan mau dicium lelaki mana pun sebelum usianya 16 tahun dan itu masih sekitar delapan bulan lagi, cukup waktu baginya untuk berpikir kepada siapa ia akan memberikan izin untuk menciumnya pertama kali.”
“Skye!!!” Aku mulai berteriak karena panik.
“Julia juga tidak akan mau tidur dengan siapa pun sampai ia berusia 22 tahun. Dia berencana lulus kuliah dulu sebelum bisa melepas keperawa…”
“Cukup, Skye!” Aku menutup mulut Skye dan tidak berencana melepasnya lagi jika ia masih membeberkan rahasia-rahasiaku kepada kakaknya.
“Maaf, Julia. Kakakku harus tahu karena siapa tahu dia salah satu kandidat terbaik untuk memenangkan hatimu. Jauh lebih baik daripada Grayson si bajingan itu.” Skye berusaha melepaskan diri dari tanganku.
“Skye…” ucapku lemah. Rasanya aku ingin sekali melempar tubuhku keluar dari mobil yang sedang melaju ini karena baru saja dipermalukan sahabatku di depan lelaki yang selalu membuat hatiku berdebar-debar.
“Hey! Aku harus memastikan kamu berada di tangan lelaki yang layak dan bisa melindungimu jika aku tidak bisa bersamamu nanti. Aku takut tugasku sebagai pelindungmu sejak kita berusia lima tahun tidak memiliki penerus yang layak,” cerocos Skye.
“Aku tidak keberatan,” ujar Chris tiba-tiba.
Aku dan Skye sama-sama terdiam saking terkejutnya. Pergulatan kami di kursi belakang terhenti tepat ketika tanganku hendak menutup mulutnya kembali.
“Ehm, aku tidak keberatan menunggu untuk gadis semanis Julia. Aku rasa jika seorang lelaki benar-benar mencintai perempuan, ia akan membuat perempuan itu layak untuk ditunggu dan tidak memaksakan kehendaknya,” kata Chris lagi.
“Kakak benar-benar mau menunggu? Maksudku, kakakku yang selalu berciuman dengan pacarnya  setiap ada kesempatan ini mau menunggu untuk seorang gadis yang benar-benar disayangi?” ujar Skye tak percaya.
“Hey! Aku tidak selalu berciuman setiap ada kesempatan! Sepertinya itu kamu dan Flynn yang selalu aku pergoki berciuman di dalam mobil dan di teras rumah. Membuatku mendapatkan mimpi buruk nyaris setiap malam,” ujar Chris.
“Aku tidak tahu kalau aku punya kakak seorang stalker!
“Hanya menjagamu, adik kecil. Beruntung kamu jatuh ke pelukan sahabatku. Dia adalah laki-laki terbaik yang aku tahu.”
Skye tersenyum dan meninju bahu kakaknya dengan pelan.
“Maksudmu, dia yang jatuh ke pelukanku, tentu saja. Jadi kakak dan Julia ada harapan?” kata Skye yang kemudian menatapku dengan sorot mata yang belum pernah ia berikan kepadaku sebelumnya. Seolah ia sedang menilaiku dan memikirkan sesuatu di dalam benaknya.
Aku tidak tahu apa maksud tatapannya saat itu, namun di kemudian hari aku mempelajari bahwa di dalam mobil itulah ia menyadari untuk pertama kalinya bahwa kakaknya diam-diam menaruh perasaan kepadaku. Hal itu membuat Skye amat gembira.
“Julia, aku serius dengan ucapanku. Kamu perlu tahu bahwa kamu adalah gadis yang layak ditunggu,” ujar Chris.
Mata biru gelapnya menatapku lekat-lekat lewat kaca spion mobil, membuat jantungku kembali berdebar-debar.
“Aku akan selalu menunggumu, little princess.

*****

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha