Skip to main content

Akhir Kisah yang Janggal

Malaikat turun ke bumi, melepaskan sayapnya, meninggalkan peraduannya yang nyaman, hanya untuk mencintai. Mencintai manusia yang fana, yang tadinya tak terlihat, namun kemudian berjuang keras agar dirinya bisa memenuhi ruang hati sang malaikat.

Dan ia berhasil.

Siapa yang tak akan jatuh hati pada sosok yang terlihat kuat, namun dalam hatinya begitu rapuh. Haus akan kasih sayang, rindu pada belaian lembut, mendambakan sosok penyayang yang telah lama hilang dari hidupnya.

Sang malaikat mampu memberikan semua itu dengan tulus. Tanpa berharap balasan. Ia hanya punya satu syarat, “Jangan pernah berbohong kepadaku.”

Manusia itu berkata, “Tidak akan.”

Maka terjalinlah sebuah kisah antara mereka.

Malaikat mengajari manusia agar selalu memiliki kelembutan hati, meredam emosi, menjalani hidup dengan teratur, belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum mencintai orang lain.

Manusia merasa kesusahan. “Aku tidak bisa! Aku ingin mengakhiri saja hidupku,” katanya berulang kali.

Sang malaikat selalu memeluknya erat, menenangkannya, memberikannya kenyamanan yang selamanya tak akan pernah ia peroleh dari makhluk lain. Manusia itu pun selalu bangkit, bangkit, dan bangkit kembali. Terus begitu karena sang malaikat selalu berada di sisinya. Tidak ada yang menyerah pada hubungan yang janggal ini.

Manusia itu kemudian menjelma menjadi makhluk yang lebih baik dari sebelumnya. Masih jauh dari sempurna, namun lebih baik. Ia belajar mencintai dirinya, lebih teratur, punya cita-cita, bisa menatap harapan dan masa depan, mampu meredam emosi, menjadi sahabat dan pemimpin yang baik.

Terpenting, ia kini dikelilingi banyak teman. Tak lagi merasa sendiri. Tak lagi merasa tersesat. Semua berkat kerja kerasnya sendiri dan dukungan sang malaikat.

Hingga pada akhirnya...

Manusia tidak pernah dapat mengingkari kodratnya sebagai makhluk fana. Semua itu hanya sementara. Tidak akan ada yang abadi dari manusia. Tidak juga hubungannya dengan malaikat yang meski janggal, namun semestinya selamanya.

Setelah menjadi makhluk yang lebih baik, manusia memutuskan untuk meninggalkan sang malaikat. Raganya memang menetap di sisi malaikat, akan tetapi kebohongan demi kebohongan terus bergulir. Perasaan yang tidak tulus dan mencari pelarian sesaat pun lambat laun terlihat.

“Aku pernah bilang, jangan berbohong kepadaku,” kata malaikat.

“Aku tidak berbohong!”

“Semua yang kamu katakan tidak nampak seperti yang kulihat dengan mataku sendiri.”

Manusia terdiam.

Malaikat menjadi ragu pada sosok manusia yang ia kenal selama ini. Ia merasa pernah mengenalnya, tetapi tidak seperti ini.

Manusia kemudian memilih mencintai manusia lain. Ia merasa sudah cukup tugas malaikat memperbaiki hidupnya. Kini ia akan memulai kisah baru. Sebuah kisah yang tidak janggal, lebih menyenangkan, dan tak akan ada akhirnya.

Lalu, bagaimana dengan sang malaikat?

Ia telah terlanjur terbuang dari kumpulannya. Sayapnya telah lama patah. Tak ada jalan untuk kembali ke surga, betapa pun ia ingin. Ia telah banyak kehilangan, padahal kini manusia tak dapat dipercaya. Tak ada tempat bagi manusia lagi di ruang hatinya.

Malaikat telah hancur. Hatinya pecah berkeping-keping. Rasa sayangnya yang begitu mendalam pada manusia, berubah menjadi kesedihan yang teramat panjang, dan pada akhirnya berakhir menjadi kebencian.

“Pergilah kamu dari hidupku, dan jangan kembali lagi,” ucap malaikat dengan marah.

“Maafkan aku,” kata manusia, setengah meratap.

“Tidak. Kesempatan bagimu sudah habis. Aku tidak akan pernah sudi menanti pembuktianmu yang berujung omong kosong.”

“Memangnya apa salahku?”

“Tanya pada dirimu sendiri. Hanya kamu yang tahu jawabannya.”

“Mengapa semua jadi seperti ini?”

“Kamu sendiri yang meminta. Sekarang, pergilah dari hidupku. Jangan ganggu aku lagi.”

“Tapi...”

“Jangan pernah kembali padaku. Sekali pun. Selamanya.”

Malaikat pun kini menapaki jalan hidupnya tanpa manusia. Ia menjelma dari malaikat penuh kasih, menjadi malaikat maut yang membenci manusia.


Selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha