Skip to main content

Memaknai Film Freedom Writers Bersama Demits Kesayangan

I got another hilarious story to tell the whole world...

Hari ini saya ngajak Demits nonton film keren berjudul Freedom Writers. Awalnya sih mereka nyepelein, maunya nonton Ju On yang katanya seru itu. Namun setelah opening creditnya menghentak dengan lagu hip-hop, mata mereka langsung tertuju pada layar. Maklum, film produksi MTV ini emang dikemas biar lekat sama remaja. Settingnya aja high school.

Singkatnya, Freedom Writers menuturkan pergulatan seorang guru perempuan menghadapi kelasnya yang selalu chaos karena sentimen antarras. Ada kelompok African-American alias Nigga, kelompok Little Cambodia, kelompok Latinos, dan satu orang kulit putih. Guru itu sendiri berasal dari ras kulit putih.

Selanjutnya bisa ditebak kalau segala kekacauan yang ga main-main ini pada akhirnya bisa diredam dan kelasnya jadi menyatu layaknya keluarga. Memang tidak gampang, karena sentimen ras itu tak jarang menyebabkan orang-orang terbunuh. Bayangkan, bagaimana seorang guru pemula menghadapi semua ini. Kalo kata Demits sih, "Si Mama mah ga mungkin deh bisa hadapin beginian. Pasti nangis atau ga ya lompat keluar jendela. Kabur."

Ahahaha, rese!

Si guru ini kemudian memperkenalkan peristiwa Holocaust kepada kelasnya. Ia ingin memperlihatkan bahwa sentimen ras ini belum seberapa dibandingkan saat Hitler dan Nazinya membantai bangsa Yahudi. Jika geng mereka hanya menguasai wilayah pemukiman, maka Nazi menguasai negara. Jika geng mereka "hanya" membunuh satu dua lawan, maka Nazi melakukan genosida alias pelenyapan sebuah bangsa dari bumi ini. Bahkan anak kecil pun tega mereka jadikan sasaran kebrutalan.

Holocaust menjadi titik nadir bagi para murid yang pada akhirnya membuat mereka sadar bahwa masih banyak yang mereka bisa raih di dunia ini selain membenci ras lain. Masih banyak yang bisa mereka lakukan jika mereka mau melangkah ke depan dan berusaha tak terbunuh, masuk penjara, atau hamil di luar nikah sebelum lulus SMA.

Kisah inspiratif ini based on a true story, lho!

Nah, sekarang bagian konyolnya...

Ngomong-ngomong based on a true story, ada adegan suami si guru sedang makan take out Chinese food sambil berdiri di dapur. Seorang demits bertanya, "Emang kalo true story, adegan dia lagi makan itu benar-benar pernah terjadi ya?"

Ah, itu belum seberapa. Ada lagi.

Saat adegan guru menjelaskan soal Holocaust, rupanya Demits pun pada gatau Holocaust itu apa. Cuma satu yang tau dan jelasin ke teman-temannya. Sama kayak di film.

Lalu ada Demits yang nanya, "Lohhh, jadi mereka semua yang di kelas nih Yahudi ya?"

Oke. Mulai ga nyambung.

Saya jawab, "Aduh, bukan. Itu maksudnya si guru menganalogikan sentimen ras murid-muridnya dengan sentimen Nazi terhadap Yahudi. Jadi cuma disamain gitu. Mereka bukan Yahudi!"

"Nazi apaan, Ma?" kata si demits satu itu.

Demits lainnya yang lagi pada asyik nonton langsung melihat ke arahnya. Kaget. Shock, tepatnya. Gimana bisa anak SMA gatau Nazi.

"Aku taunya nasi goreng, Ma," kata si demits itu lagi berusaha melucu.

"Ih, cape deh, Miss. Diemin aja ga nyambung," kata demits lainnya.

"Nazi tuh partainya Hitler yang nguasain Jerman pas Perang Dunia. Astaga!" jawab saya.

"Oh, iya tau Adolf Hitler!" kata si demits percaya diri.

Ah, sudahlah. Lupakan.

Saya sebenarnya punya misi mulia bahwa setelah nonton film ini tuh Demits jadi lebih menyadari kalo empati, toleransi, dan kekompakan itu penting. Perjuangan guru yang mau terbaik buat muridnya juga perlu dihargai. Biar mereka semua sadar diri, gitu.

Akan tetapi...

"Wah, kita kayak kelas itu yuk rusuh-rusuh biar Miss Tya pusing! Seru deh kalo tiap hari GPS kayak gitu."

"Iya, iya. Kita ga perlu repot-repot belajar tapi mikirin cara nyerang musuh aja."

"Enak itu murid-muridnya ditraktir gurunya makan di hotel. Miss Tya kapan ya kayak gitu?"

Oke, misi gagal. Mission failed. Abort mission. No more high hopes on educative inspiring movies for Demits.

Thanks, Freedom Writers.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha