Skip to main content

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11,

Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian.

Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya..

Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis.

Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?"

Saya paham, ini kali pertama untuk kalian: sebuah sidang formal dengan penguji dan audience yang bisa bertanya. Dan kalian hanya sendiri. Kalian harus menyajikan hasil kerja keras kalian dan harus mempertanggungjawabkannya meski badai menghadang.. halaahhh, maksudnya meski penguji bertanya ini itu dan mengecek sejauh mana kita menguasai pekerjaan kita itu.

Saya ingin bilang, "santai!" Tapi rasanya kalian juga tidak akan bisa santai ya? Namun mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Lihatlah kenyataan, jika memang kalian sendiri yang berjibaku mengerjakannya tanpa copy paste sana-sini, apalagi dibikinin sama teman, kakak, ayah, ibu, om, tante, kakek, nenek, tetangga sebelah, atau tukang bakso yang mangkal di kompleks, maka beneran deh tenang saja. Saya yakin kalian pasti akan bisa menjawab pertanyaan para penguji. Kami selaku penguji pasti pertama kali ingin tahu soal proses. Maka ceritakanlah dengan seksama tentang apa sih KTI kalian ini, mengapa kalian tulis itu, cara nyari datanya bagaimana, lalu hasilnya bagaimana. Jika kalian melakukannya secara mandiri, saya yakin konten pun akan kalian kuasai dengan mudah. Dan dalam sekejap sidang pun berakhir dengan baik.

Saya jadi ingat belasan tahun silam. Di tahun terakhir saya SMA. Jauh sebelum kalian bikin KTI, saya sudah duluan. SMA saya memang mewajibkan KTI dan ada sidangnya pula. Bedanya, sekolah saya menyelenggarakannya di kelas 12 sebagai salah satu syarat kelulusan. Maka sebelum UN, saya disibukkan dengan KTI.

Saya masih ingat, pembimbing saya guru BK. Bu Itha, namanya. Tema saya tentang perempuan, karena pada masa itu saya baru-baru mulai tertarik soal feminisme. Maka saya menulis tentang peran perempuan dalam masyrakat. Ruang lingkupnya dipersempit menjadi peran di keluarga, sekolah, dan LSM. Gaya banget sih memang saat itu, karena saya sampai sok-sokan wawancara orang YLKI (yayasan lembaga konsumen Indonesia). Yah, walaupun masih sederhana banget dan rada awut-awutan prosesnya, tapi KTI saya akhirnya berhasil selesai juga.

Di hari sidang, saya juga masih ingat teman-teman saya sesama anak IPS berdoa jangan sampai dapat penguji Pak Ubay, guru Ppkn saya. Soalnya beliau selain guru, juga aktivis. Pendukung Gus Dur dan anti Orde Baru. Tapi nasib saya bisa ditebak, Pak Ubay terdaftar sebagai penguji saya. Beliau dan Bu Erin, guru PLKJ (pelajaran muatan lokal seperti Bahasa Sunda kalau di Jakarta). Duh, rasanya tegang banget. Deg-degan ga berhenti di luar ruang sidang. Apalagi teman-teman yang keluar dari situ semua menunjukkan ekspresi yang tak bisa ditebak.

Apa yang terjadi? Ternyata sidang saya lancar. Mereka bertanya mengapa saya memilih tema itu, mengapa saya mewawancara informan-informan itu, dan seterusnya. Semua saya jawab apa adanya dan sejalan dengan apa yang sudah saya tulis di dalam KTI. Ah, aman, pikir saya.

Akan tetapi bukan Pak Ubay namanya jika bukan tanpa kejutan. Pertanyaan terakhirnya ternyata agak menyimpang sedikit dari KTI saya. Beliau bertanya opini saya mengenai petinju perempuan, apakah saya setuju atau tidak perempuan bertinju. Saya sempat terdiam, karena berpikir apakah ini sebuah pertanyaan jebakan. Jujur saja, saya terlalu fokus mempersiapkan isi KTI sehingga tidak tahu bagaimana cara menghadapi pertanyaan yang sifatnya opini seperti ini. Akhirnya saya hanya mengikuti intuisi saja dan menjawab apa yang ada dalam pikiran saya. Rada ngeles sih, karena saya tidak tegas menjawab iya atau tidak. Saya berputar dahulu dengan menjelaskan soal Laila Ali, petinju sekaligus putri Muhammad Ali, yang kala itu memang baru memulai debut tinjunya. Saya bertutur jika perempuan bisa meraih prestasi di segala bidang yang positf, termasuk bidang olah raga. Tinju adalah olah raga. Terlepas gendernya, prestasi Laila Ali cukup membanggakan. Jadi saya secara tersirat menyelipkan kata setuju pada perempuan yang bertinju.

Saat itu saya tak bisa menebak apakah para penguji saya puas dengan jawaban tadi, namun mereka mengangguk dan menutup sidang dengan menjabat tangan saya. Sampai detik ini saya tak pernah bertanya bagaimana pendapat Pak Ubay dan Bu Erin terhadap jawaban dadakan saya itu. Namun beberapa hari kemudian, mereka memberi saya nilai A untuk hasil akhir KTI. Alhamdulillah, sukses!

Buat Batch 11 yang mulai Jumat besok dan Jumat-Jumat selanjutnya akan menghadapi sidang KTI, tetaplah optimis. Ketika segala daya upaya telah kita kerahkan dan doa sudah kita panjatkan, maka ketenangan diri lah yang kita butuhkan. Ingatlah untuk menghadapinya dengan santai, serius dan formal tapi santai.

Hanya sekedar berbagi cerita. Good luck ya, anak-anak!

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha