Skip to main content

Melarungkan Nestapa di Kesunyian Malam

Aku selalu menorehkan kata-kata yang sama di jejaring sosial, jika kamu perhatikan. Aku akan merasa resah ketika malam tiba. Beribu bayangan, pikiran, dan angan seolah menari-nari dalam benakku. Tak semuanya menyejukkan, malah lebih banyak menimbulkan kesusahan, kesedihan, duka. Nestapa. Aku yakin kamu mengetahuinya dengan pasti. Kamu paling tahu siapa aku.

Suatu malam aku pernah menceritakan sebuah rahasia yang tak sampai hati kututurkan bahkan ke belahan jiwaku sendiri. Karena rahasia itu sangat menyakitkan. Tentang yang tak pernah kuharapkan datang, kemudian ia pergi sebelum waktunya. Tentang penyesalanku yang paling dalam sepanjang hidup. Tak ada seorang pun yang tahu. Akan tetapi kamu tahu. Dan itu tak pernah mengubah pandanganmu tentangku.

Di malam-malam lain kita bertengkar. Diam, tak saling bicara. Entah apa yang merasuki kita, namun malam-malam seperti itu terasa panjang dan menyesakkan. Tak pernah ada yang bisa kita pahami dan selesaikan, sehingga pada akhirnya malam-malam seperti itu selalu terjadi dan semakin menghancurkan ikatan kita. Ikatan tanpa pondasi, tanpa akar, akan tetapi sempat menguat bahkan saat badai terdahsyat datang menerpa. Ah, apa pun yang tercipta tanpa pondasi pada akhirnya akan runtuh juga. Seperti kita.

Dalam kesunyian malam aku selalu resah.
Memikirkan apakah kamu baik-baik saja. Sedang bahagia kah bersamanya. Sedang susahkah karena aku tahu kamu selalu memikirkan hal-hal terkecil dalam hidup dan menjadikannya besar. Atau sedang marah kah padaku. Aku tahu kamu pemarah. Tapi kenyataannya tak pernah ada yang kamu marahi dengan begitu lepas dan bebas, selain aku. Lalu akan ke mana kamu bisa melepaskan amarahmu setelah ini?

Duka ku sudah terlalu dalam. Menumpuk begitu saja di relung hati tanpa pernah kugubris meski suara-suara di sekelilingku menyuruhku untuk berhenti dan keluar dari hidup macam ini. Duka ini telah menyatu dengan detak jantungku, sumsum tulangku, dan setiap nadi yang ada dalam tubuhku. Sudah terlalu lekat hingga aku lupa bagaimana rasanya tertawa bersamamu. Duka ini mengalir hingga menjadi nestapa.

Hidup terus bergulir. Kita semua harus melangkah dan beranjak dari titik ini. Aku ingin kamu bahagia. Lupakan aku yang tak bahagia. Nestapa telah menggerogotiku. Sebelum aku menghilang, pergilah. Supaya kamu masih bisa mengingatku dalam serpihan-serpihan kenangan yang masih menyisakan bahagia. Pergilah dan jangan lagi menengok ke belakang. Aku tidak ingin kamu melihat sayapku perlahan-lahan patah dan terbakar panasnya api. Aku ingin kamu mengenangku sebagaimana adanya kamu pertama mengenalku. Di balik pintu itu.

Biarkan aku di sini sendiri. Melarungkan nestapa dan berharap tidak menghilang. Berharap masih bisa terselamatkan oleh malam, karena hanya malam tempatku mengadu. Biarkan aku melarungkan nestapa di kesunyian malam.

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

Merayakan Keberagaman Budaya dan Kekayaan Bahasa

Sudah menjadi tradisi bagi Global Prestasi Senior High School merayakan dua hari besar, Sumpah Pemuda dan Pahlawan, setiap tahunnya. Mengingat dua hari tersebut terpaut tak terlalu jauh, maka perayaannya pun dipadukan menjadi satu. Di sekolah ini, kami menamainya sebagai Bulan Bahasa. Sebuah perayaan yang mengusung keberagaman budaya dan kekayaan Bahasa di Tanah Air. Bulan Bahasa tahun ajaran 2014/2015 jatuh pada hari Selasa, 11 November lalu. Perayaan ini berlokasi di area Senior High School dan ditutup dengan acara puncak di Sport Hall. Perayaan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 15.30. Bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah Mrs. Anitya Wahdini, S.Sos. Bulan Bahasa 2014 kali ini menjadi cukup istimewa karena diawali dengan serah terima pengurus OSIS, dari OSIS angkatan 8 yang diketuai Jauharah Dzakiyyah (XII Science3) ke OSIS angkatan 9 yang dikomandoi Hinggista Carolin (XI Science3). Jadi, Bulan Bahasa sekaligus menjadi debut OSIS angkatan 9 dalam unjuk gig...

Ode to Dolores: Thanks for Making My Childhood Rocks!

  Unhappiness, where’s when I was young and we didn’t give a damn ‘Cause we were raised, to see life as fun and take it if we can Dolores O'Riordan (Dok. Billboard) Lantunan lagu Ode to My Family yang berlirik syahdu dan dentingan gitar melodi yang mengiringinya tak pernah begitu menusuk hingga hari ini, dua puluh empat tahun setelah lagu tersebut pertama kali ditulis oleh sang empunya, Dolores O’Riordan. Mungkin karena liriknya yang memang bertutur soal keluarga sang penyanyi, tersirat bagaimana ia merefleksikan masa kecilnya setelah merengkuh sukses. Mungkin juga karena saya memutar lagu ini setelah lama tak mendengar suara khasnya, tepat di hari kematiannya. Kematian seorang musisi atau public figure tak pernah begitu mempengaruhi saya sebelumnya. Biasanya saya hanya terkejut dan kemudian berita duka itu berlalu begitu saja. Tidak ketika dunia dihebohkan dengan kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tidak pula ketika Amy Winehouse, Michael Jackson, at...