Skip to main content

Staycation di Sudut Masa Lalu Jakarta



Liburan tak melulu berarti berburu tiket – entah itu pesawat terbang, kapal laut, bus, atau kereta api, berpindah kota atau pulau, maupun menambah stempel di lembaran paspor. Bagaimana jika waktu liburan tak cukup, sumber dana tak memungkinkan, atau ada beragam urusan yang menyebabkan kita tak bisa jauh-jauh dari tempat tinggal? Apakah berarti liburan bakal berakhir membosankan? Tentu saja tidak!

Setelah tahun lalu berpetualang a la road trip ke Yogyakarta dan enam bulan lalu berpelesir naik kereta api tut tut tut ke Surabaya, maka liburan kali ini kami memutuskan untuk menghabiskan liburan tak jauh dari tempat tinggal kami: Jakarta.

Saya sempat membaca postingan Instagram dari sebuah radio swasta di Jakarta mengenai konsep liburan yang tak meninggalkan kota tempat tinggal, yang rupanya populer dengan istilah staycation. Maksudnya adalah vacation tapi tetap stay di wilayah tempatnya bermukim. Nah, berhubung saya tinggal di Bekasi yang hanya sepelemparan batu dari ibukota, maka saya adopsilah konsep staycation ini.

Jakarta memiliki banyak sekali lokasi wisata, minus mall dan gedung bioskop tentunya. Selama ini saya tak terlalu menyadarinya atau palingan hanya selintas lalu lewat di kepala saya dan saya pun beranggapan, “Ah, gitu-gitu doang tempatnya.” Akan tetapi lalu saya berpikir, apakah kira-kira anak-anak saya juga akan berpendapat demikian?


Sulung saya dalam usia yang masih dini teramat menyukai hal-hal yang berbau sejarah dan pengetahuan. Pergi ke museum atau tempat bersejarah adalah salah satu favoritnya. Saya pertama kali menyadarinya ketika beberapa tahun lalu saya membawanya menjelajahi museum-museum yang ada di Bandung. Saat itu ia sudah bisa membaca dan dibacalah semua keterangan yang ada di diorama atau alat peraga. Alhasil, perlu waktu lebih dari satu jam baginya untuk menjelajahi Museum Konferensi Asia Afrika yang tak seberapa luas itu.

Ketika masih belum bersekolah, kami juga pernah membawanya ke Museum Transportasi yang ada di Taman Mini Indonesia Indah dan Museum Satria Mandala. Ia sudah begitu kagum dengan benda-benda koleksi di dua museum itu hingga diperhatikannya dengan detail satu per satu. Sejak saat itulah, tiap kali kami singgah ke sebuah kota, kami pastikan mampir ke museum atau lokasi bersejarah lainnya.

Maka untuk staycation kali ini, Wisata Kota Tua langsung menjadi pilihan utama saya. Kami mengunjungi Museum Sejarah, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bank Indonesia sekaligus dalam dua hari. Mengingat museum-museum itu begitu luas dan kami ingin mengajak dua percils menjajal busway, maka ayah mereka merancang trip selama 3 hari 2 malam sembari menginap di salah satu hotel di daerah Kota. Paginya kami bisa menikmati hotel, siangnya menjelajah museum-museum di wilayah Wisata Kota Tua, dan malamnya berburu kuliner masa lalu di seputaran hotel.

Petualangan kami mulai dengan Museum Sejarah Jakarta dan Taman Fatahillah yang menjadi denyut nadi Wisata Kota Tua. Saya selalu kagum dengan bangunan-bangunan peninggalan masa lalu. Salah satu yang jadi favorit ya Museum Sejarah ini, atau yang dahulu dikenal sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC. Bayangkan, orang-orang Belanda yang dahulu kita kenal lewat buku sejarah, benar-benar pernah menginjakkan kakinya di gedung ini. Rasanya seperti ada di masa lalu.


Tata pamer Museum Sejarah Jakarta ini sedikit berbeda dengan kali terakhir saya berada di sana, bertahun-tahun lalu. Sekira delapan tahun lalu tepatnya. Kini museum tersebut memiliki alur cerita mulai dari kedatangan bangsa Portugis di Malaka hingga pada akhirnya terciptalah Jakarta seperti sebuah kampong besar yang bisa kita lihat sekarang ini. Saya seperti kembali mengulang pelajaran sejarah di bangku sekolah. Meski menurut saya, bagi anak-anak saya yang masih duduk di tiga tahun pertama sekolah dasar, materi museum ini terlalu berat. Rasanya akan lebih cocok untuk anak-anak yang lebih besar.

Anak saya banyak bertanya soal VOC dan mengapa orang Belanda bisa menjadi pemimpin di gedung yang sedang kami jelajahi ini. Untunglah berbagai tulisan sejarah di museum tersebut sangat membantu saya menyampaikan informasi yang tepat kepada anak-anak. Beberapa pemandu wisata juga siap sedia untuk ditanya di beberapa sudut museum.

Secara keseluruhan, museum ini rapi. Hanya saja, banyak benda pamer yang seolah diletakkan begitu saja tanpa konteks sehingga nampak seperti terabaikan. Selain itu, banyak pintu dan tangga museum diblokir sehingga pengunjung tak dapat lewat dan bertanya-tanya ada apa di baliknya. Rasanya saya juga tak dapat menemukan tangga ke bawah tanah yang dahulu berada di ruang yang ada bak mandinya. Ruang bawah tanah yang konon katanya dipakai untuk menyekap pejuang-pejuang penting sehingga mereka tersiksa setiap kali banjir tiba dan terendam di ruang tersebut.

Museum ini memang selalu menarik karena bentuk bangunan dan berbagai cerita yang tersimpan di dalamnya. Anak-anak cukup menikmati, meski lelah juga rasanya menjelajahi setiap sudut museum yang sangat luas ini. Belum lagi harus naik-turun tangga dan menghadapi beberapa ruangan yang pengap.



Ah, semoga museum ini terus dilestarikan dan para ahli museum di Indonesia semakin banyak dan semakin kreatif mencipta kunjungan museum menjadi kunjungan favorit setiap liburan, khususnya bagi generasi muda. Dan permisi, Bapak Gubernur, tolong para pedagang kaki lima itu direlokasi atau ditertibkan agar tidak memadati trotoar yang semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi para pejalan kaki. Juga agar lokasi wisata sebagus itu tidak nampak kumuh. 

Soalnya, keren kan kalau generasi mendatang adalah generasi yang peka teknologi, mengedepankan ilmu, akan tetapi tetap menjunjung tinggi kebudayaan dan sejarah negerinya sendiri? Semoga anak-anak saya seperti itu.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha