Skip to main content

Menjawab Tantangan 7 Buku Favorit


 Beberapa hari lalu, salah seorang sahabat saya semasa SMP memberi tantangan secara daring. Saya harus mengunggah tujuh sampul buku favorit saya, selama tujuh hari berturut-turut di sosial media. Hanya sampul belaka, tanpa penjelasan panjang lebar, tanpa resensi yang membuat mengapa buku itu demikian menarik sehingga membuat saya jatuh hati. Paling-paling, yang saya tambahkan hanyalah keterangan singkat sebagai pelengkap caption di bawah gambar setiap sampul.

Hal yang membuat saya tertarik untuk mengikuti tantangan ini adalah betapa kita bisa menerka karakter seseorang atau apa yang ada di alam pikirannya, melalui buku-buku yang ia daulat sebagai buku-buku favorit. Ada yang mungkin memilih bacaan-bacaan yang cenderung “berat” sehingga bisa menjelaskan mengapa pemikirannya begitu jauh ke depan dalam keseharian. Atau ada juga yang senang bacaan ringan, bahkan komik selalu menjadi pilihan utamanya. Atau ada juga yang memadukan semua genre buku, apa pun rasanya akan ia lahap.

Bagaimana dengan buku-buku pilihan saya?

Hari ini saya semestinya mengunggah buku keempat, namun tangan saya gatal untuk segera menulis dan memberikan bocoran mengenai buku-buku favorit saya ini. Jadi, saya rangkai saja ketujuh-tujuhnya dalam sebuah tulisan. Seperti apa ya karakter yang saya miliki berdasarkan tujuh buku pilihan ini.


1. Melacak Topeng Hitam, Lima Sekawan (Enid Blyton)
Alangkah baiknya memulai tantangan daring ini dengan mengenang masa kecil saya yang mulai jatuh hati pada buku ketika membaca yang satu ini. Melacak Topeng Hitam adalah petualangan Lima Sekawan pertama yang saya baca. Dalam seri ini, Julian, Dick, Anne, George, dan Timmy memburu penjahat misterius bertopeng dalam sebuah pelayaran kapal pesiar.


2. Kristy dan Ide Gemilangnya, The Baby Sitters Club (Ann M. Martin)
Masih dari penggalan masa kecil saya, The Baby Sitters Clubmerupakan buku yang saya koleksi serialnya dan membuat saya sulit untuk berhenti membaca. Kristy dan Ide Gemilangnya adalah seri yang pertama. Berkisah mengenai Kristy, Mary Jane, Caludia, dan Stacey yang membentuk klub pengasuh bayi, namun favorit saya adalah Dawn, si anak baru yang unik.


3. Candy-Candy (Yumiko Igarashi dan Kyoko Mizuki)
Masih belum bisa move on dari masa kecil. Komik Candy-Candy ini favorit banget! Sampai sampulnya sudah hilang dan halamannya menguning, masih dibaca ulang sesekali. Komik ini selalu sukses bikin sesengukan meski sudah hafal di luar kepala jalan ceritanya. Komik yang abadi dan ditulis (plus digambar) dengan indah.


4. Misteri Kereta Api Biru (Agatha Christie)
Tidak bisa tidak memasukkan karya Agatha Christie dalam list saya ini. Saya selalu suka gaya penulisannya yang begitu detail dan cerdas. Caranya menjebak pembaca dalam menerka sang pelaku pun dahsyat. Misteri Kereta Api Biru adalah karya pertama Agatha Christie yang saya baca dan masih tersimpan dengan rapi.


5. Little Women (Louisa May Alcott)
Novel serius dan klasik pertama yang saya baca. Dari komik dan segala cerita ringan seperti The Baby Sitters Club dan Lima Sekawan, saya dengan cepat beradaptasi dengan novel Little Women yang menyoroti kisah hidup para perempuan mandiri. Hasilnya? Sampai kini selalu senang membaca ulang kisah Meg, Joe, Beth, dan Amy.


6. Harry Potter Series (J.K. Rowling)
Pertama baca buku Harry Potter and the Philosophers Stone ketika bukunya belum terbit di Indonesia. Namun buku itu terselip di rak buku milik sepupu saya yang sering bepergian ke luar negeri. Setelah mencoba membaca, akhirnya jatuh hati dan tak pernah ketinggalan setiap seri (dan filmnya) ketika sudah masuk ke Indonesia.


7. Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela (Tetsuko Kuroyanagi)
Ada berbagai alasan saya menyukai hal-hal yang berbau Jepang dan akhirnya tergerak untuk menjadi seorang guru. Totto-Chan adalah alasan yang bisa menampung keduanya sekaligus. Kisah ini sangat inspiratif dan sangat saya rekomendasikan untuk dibaca siapa pun yang ingin mencari kisah ringan dengan pesan yang begitu mendalam.

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

Merayakan Keberagaman Budaya dan Kekayaan Bahasa

Sudah menjadi tradisi bagi Global Prestasi Senior High School merayakan dua hari besar, Sumpah Pemuda dan Pahlawan, setiap tahunnya. Mengingat dua hari tersebut terpaut tak terlalu jauh, maka perayaannya pun dipadukan menjadi satu. Di sekolah ini, kami menamainya sebagai Bulan Bahasa. Sebuah perayaan yang mengusung keberagaman budaya dan kekayaan Bahasa di Tanah Air. Bulan Bahasa tahun ajaran 2014/2015 jatuh pada hari Selasa, 11 November lalu. Perayaan ini berlokasi di area Senior High School dan ditutup dengan acara puncak di Sport Hall. Perayaan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 15.30. Bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah Mrs. Anitya Wahdini, S.Sos. Bulan Bahasa 2014 kali ini menjadi cukup istimewa karena diawali dengan serah terima pengurus OSIS, dari OSIS angkatan 8 yang diketuai Jauharah Dzakiyyah (XII Science3) ke OSIS angkatan 9 yang dikomandoi Hinggista Carolin (XI Science3). Jadi, Bulan Bahasa sekaligus menjadi debut OSIS angkatan 9 dalam unjuk gig...

Ode to Dolores: Thanks for Making My Childhood Rocks!

  Unhappiness, where’s when I was young and we didn’t give a damn ‘Cause we were raised, to see life as fun and take it if we can Dolores O'Riordan (Dok. Billboard) Lantunan lagu Ode to My Family yang berlirik syahdu dan dentingan gitar melodi yang mengiringinya tak pernah begitu menusuk hingga hari ini, dua puluh empat tahun setelah lagu tersebut pertama kali ditulis oleh sang empunya, Dolores O’Riordan. Mungkin karena liriknya yang memang bertutur soal keluarga sang penyanyi, tersirat bagaimana ia merefleksikan masa kecilnya setelah merengkuh sukses. Mungkin juga karena saya memutar lagu ini setelah lama tak mendengar suara khasnya, tepat di hari kematiannya. Kematian seorang musisi atau public figure tak pernah begitu mempengaruhi saya sebelumnya. Biasanya saya hanya terkejut dan kemudian berita duka itu berlalu begitu saja. Tidak ketika dunia dihebohkan dengan kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tidak pula ketika Amy Winehouse, Michael Jackson, at...