Skip to main content

Meet The Chibis

Untuk pertama kalinya saya duduk manis di kelas dan ikut belajar bersama anak-anak 1E. Beginilah rumitnya kalau ditunjuk sebagai homeroom bagi anak-anak baru, tetapi pada semester pertama tidak punya jam mengajar di kelas mereka. Tak ada kesempatan masuk kelas, mengamati, dan mengenali setiap detail karakter dari anak-anak yang menjadi tanggung jawab saya selama satu tahun ke depan. 

Tapi ya sudahlah, tak ada gunanya setiap hari mengeluh. Toh, mereka-mereka yang di atas sana dan memberi amanat ini kepada saya tak sempat berempati dan melirik sejenak ke bawah. Mungkin mereka lupa.

Maka satu-satunya cara adalah mencari siasat bagaimana mengenali dan mendekati anak-anak saya ini satu per satu. Cara termudah adalah rutin bertanya pada guru-guru subject yang mengajar di kelas 1E. Namun tentu setiap guru memiliki penilaian yang berbeda-beda terhadap 1E. Ada yang bilang mereka masih manis-manis, mungkin karena baru masuk. Ada pula yang bilang bahwa 1E ini sudah punya beberapa biang ribut.

Saya tak puas jika hanya dengan cara ini. Guru subject biasanya tak terlalu punya perasaan memiliki karena memang anak-anak ini bukan anak-anak homeroom mereka. Dan bukan saya namanya jika apa-apa tak dilakukan sendiri. Saya harus segera melebur dengan mereka dalam setiap kesempatan.

Cara berikut yang saya lakukan adalah ikut masuk kelas saat mereka belajar. Tentu tidak semua kelas saya ikuti, hanya beberapa kelas dan sesekali saja di kala senggang. Saya pun memilih kelas teman-teman baik saya agar tak terjadi perasaan tak enak atau konflik di kemudian hari. Dengan begitu, saya bisa mengamati karakter anak-anak 1E ini dari dekat.

Nah, maka hari ini saya pun duduk manis di kelas Ekonomi bersama mereka. Tepat di sudut kiri belakang kelas. Di sebelah Andre, di belakang Barry dan Peter. Saya sengaja memilih tempat duduk ini, karena selain bisa mengamati berbagai penjuru kelas dengan seksama, saya juga menaruh curiga bahwa gerombolan ini adalah calon-calon biang ribut. Selain Andre, Peter, dan Barry, di deretan depannya lagi masih ada Willy, Anjas, Sandy, dan Ucup. Boys will be boys, and definitely these boys will be the biang ribut in this class!

Saya memang tak memiliki ingatan fotografis macam Lexie Grey dalam serial Grey’s Anatomy – sekali lihat atau baca langsung terekam dalam memori dan bertahan dalam waktu yang lama – namun Tuhan maha baik memberikan saya kemampuan menghafal nama dan wajah anak-anak dalam waktu yang relatif singkat. Sampai hari ini saya sudah sekira 90% hafal nama dan wajah mereka. Berarti hanya tinggal karakter-karakter mereka.  

Dari pengalaman dua jam pelajaran Ekonomi di kelas Miss Diana, saya bisa memperoleh sedikit gambaran. Mungkin penilaian saya masih banyak salah, tetapi setidaknya ini adalah gambaran awal. 

Yang paling gampang dikenali adalah anak-anak yang sering melontarkan komentar – kadang waras kadang konyol – meski Miss Diana sedang menerangkan. Mereka adalah Peter, Anjas, dan Sandy. Tapi anak-anak seperti ini lebih mudah dikenali dibandingkan yang sama sekali pendiam. Seperti misalnya Ucup yang tempat duduknya saya tempati dan ia terpaksa pindah ke depan. Sepanjang pelajaran ia hanya diam dan mencatat. Saya tidak tahu apakah ia benar-benar memperhatikan, bosan, atau tidak mengerti apa yang diajarkan.

Anak-anak lelaki yang duduk di seberang kanan saya juga relatif pendiam. Tami dan Deniz nampak antusias belajar. Mereka duduk di depan. Di bagian belakang ada Moko, Basma, Finan, dan Bob. Saya belum dapat banyak gambaran tentang mereka.

Anak-anak perempuan juga relatif lebih terkendali, meski seringkali suara obrolan mereka mendominasi ruangan. Berbeda dengan anak-anak lelaki, anak perempuan tidak melontarkan komentar konyol yang akan membuat seisi kelas tertawa, tetapi mereka cenderung senang mengobrol di antara mereka saja. Nanti saat masuk kelas berikutnya, saya akan deskripsikan tentang anak-anak manis ini. Hari ini saya prioritaskan dengan memperhatikan anak-anak lelaki karena menurut gosip yang beredar mereka lah biang ributnya. 

Nah, last but not least. Finally saya akan mengungkapkan nama panggilan apa yang akan saya berikan kepada kelas 1E. Melihat sebagian besar anak-anak perempuan bertubuh mungil, chibi, petit, cute. Dan menimbang kenyataan yang teramat sangat penting  bahwa sang ketua kelas, Peter, dan wakilnya yang setia, Willy, adalah – ajaibnya – penggemar nomor satu Cherrybelle, maka perkenalkanlah anak-anak saya tahun ini, 1E, Chibis.

Love,
Miss Tya

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha