Skip to main content

Hari Terakhir Bersama Kiddos

Hari terakhir di kelas bersama anak-anak kelas 2A (Jumat, 25 Mei 2012). Anak-anak yang sudah menjalani satu tahun bersama saya di sekolah. Tertawa bersama, menangis bersama, dan berjuang bersama. Ini sekelumit perasaan saya di hari terakhir itu. Diterjemahkan secara bebas dari twitter @MommyJad.

Meski hari ini terakhir di kelas bersama , tetapi tugas belum selesai. Mereka masih harus berjuang menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS). Saya juga masih harus mendampingi sampai mereka naik tingkat ke semester 3 dan menghadapi penjurusan IPA-IPS.

Saya takjub. Pertama kali jadi homeroom, langsung mendapat anugerah sekaligus bencana menangani kelas yang hard to handle. Tiga bulan pertama saja sudah tiga anak kena Surat Peringatan (SP) I. Awal semester juga ada yang main air sampai basah kuyup di toilet, menghilangkan bola voli dan bola futsal, manjat loker, lalu lari-lari secepat kilat kayak dikejar setan! Bikin ngambek guru math, berantem sama guru physics, nantangin guru agama, ngerjain guru bahasa indonesia, kabur sekelas dari guru TOEFL, bikin stress guru civics. Nilai naik turun kayak roller coaster. Diperhatiin, nilai naik. Dicuekin, nilai turun. Tapi ada juga yang kebalikannya. Dicuekin, malah mendadak pinter.

Menjelang pembagian raport semester I adalah masa yang paling berat. Saat itu, anak yang ranking 1 pun ada nilai merahnya. Semua gara-gara praktikum biology. Satu kelompok kertas laporannya hilang. Setengah kelas nyaris tidak lulus biology. Yang jelas setengah kelas tidak lulus physics dan math. Berdasarkan hasil psikotest, semua anak disarankan masuk IPS, kecuali 5 orang yang disarankan IPA. Hasil ini sempat membuat kepala sekolah BT :)

Anak laki-laki bisa dikelompokkan menurut pengamatan saya. Pertama, yang sudah pasti jadi trouble maker sejati itu Jason dan Joshua yang saya juluki . Ga ada yg ngalahin! Lalu, yang bertindak sebagai perekat kelas itu Halfi dan Marley. Mereka yang paling didengar oleh teman-temannya. Walaupun, yang namanya saya sebut belakangan itu juga sering dibully oleh teman-temannya.

Yang paling polos itu cuma Kiki. Kalau yang lain masih sibuk mikir 1001 alasan untuk bohongi saya, biasanya langsung buyar karena Kiki dengan polosnya cerita yang sebenarnya. Korban bully? Ah, banyak! Dulu Ihmud. Sekarang Marley, Albert, dan Victor. Yang belakangan ini khususnya kalau pas lagi ekskul basket. Yang pendapatnya paling berpengaruh dan suka ribut sama guru: Eril, Ihmud, Adi, dan Rangga. Kalau Rangga dan Adi sih hanya ikut-ikutan satu kali pas mau nimpuk guru agama pakai batu. Kejadiannya pas life skill.

Yang terpaksa ngajarin teman-temannya math, physics, dan chemistry itu Wildan dan Victor. Gara-gara Victor, Wildan sekarang juga narikin bayaran. Geng komentator sejati yang ga terpisahkan: Eril, Ihmud, Victor, dan Adi. Yang duduk diam di belakang: Tegar dan Rangga. Yang missing in action: Dhito dan Widy. Ah, 15 anak laki-laki itu semua lucu deh. Asal sekali saja ya, saya jadi homeroom mereka :D

Ehem.. versi perempuan ada 11 orang. Mereka tetap survive walau dikelilingi 15 laki-laki yang ga jelas. Super! Bagaimana tidak saya bilang super. Yang laki-laki kalau ngatain suka ga pake perasaan. Anak-anak manis itu suka dibully pula. Tetapi mereka tidak pernah sakit hati. Tetap happy. Secara umum perempuan tidak kalah kompak sama yang laki-laki. Pertama kali lihat, mereka pendiam. Kalah sama para laki-laki yang bawel. Masa ya cerewetan laki-lakinya.

Secara garis besar, ada 4 "kelompok" perempuan. Saya bilang kelompok pakai tandai kutip karena mereka tidak nge-geng. Hanya peminatan dan karakter saja yang serupa. Pertama, Tasa dan Dinda. Mereka tadinya out sider, tetapi lama-lama bisa blend in sama teman-temannya yang lain. Perempuan-perempuan manis yang suka slebor dan semaunya. Kedua, Rika yang manis, Echa yang cantik, Vera yang perasa, dan Indri yang imut. Kompak dan selalu bisa diandalkan. Ketiga, yang tidak terpisahkan Ayu, Khansa, dan Fergie. Yang 2 pendiam, sementara yang 1 bawel minta ampun. Tahan banting sama kegilaannya para lelaki. Keempat, Khey dan Nikita. Belakangan mereka kompak berdua. Bedanya, yang 1 dewasa dan yang 1 manja. Tebak yang mana?

15 laki-laki gila + 11 perempuan super = . Mereka adalah pelajaran pertama bagi saya sebagai homeroom. Biar guru-guru lain bilang sudah menyerah sama mereka, I won't give up!

Cobaan berat pas salah satu dari personil mau di-DO. Kepala sekolah sangat keras kala itu. Tetapi saya tetap berpegang pada kebenaran. Saya yakin hanya salah paham. Syukur DO-nya batal. Kejadian nyaris DO itu sempat bikin saya down. Bukan apa, semester 1 sudah kehilangan 1 personilnya. Dhito yang mau lebih fokus ke musiknya. Belum lagi ada anak yang perlu perhatian khusus dan di luar kuasa saya. Anak itu tak pernah hadir di sekolah.

Bagaimana bisa di tengah berkurangnya personil macam itu, harus ada 1 anak lagi yang di DO, bahkan hanya beberapa saat setelah semester 2 dimulai. Benar-benar menohok! Berkurangnya personil bisa jadi tolak ukur betapa homeroomnya telah gagal membimbing dan memfasilitasi mereka. Itu titik terendah tahun ini. Syukur semuanya berlalu tanpa DO. Tinggal hasil semester 2 yang harus mereka perjuangkan dan saya pantau terus. It ain't over till it's over!

Yang bikin semangat, bekerja lebih keras akhir-akhir ini menjelang UAS. Senang tiap kali laporan nilai mereka membaik. Mereka sekarang rajin laporan tanpa diminta. Mudah-mudahan UAS ini mereka mendapatkan hasil yang baik :)

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha