Skip to main content

Secangkir Memori (Mengenang Endang Rahayu Sedyaningsih)

Rabu, 2 Mei 2012. Subuh itu kicauan burung kecil terdengar nyaring di depan jendela rumah. Indah, pikir saya. Rupanya suami merasakannya sebagai sebuah pertanda yang tidak menyenangkan. Saat saya tanyakan, ia bertutur, “Itu burung kecil yang biasa membawa kabar kematian.” Saya heran, sebab sepertinya burung itu hanyalah peliharaan tetangga belakang rumah. Tak mungkin setiap ia berkicau, dewa maut datang menjemput. Namun bulu kuduk saya merinding juga.

Pagi itu pula anak sulung saya yang berusia tiga setengah tahun mengompol dalam tidurnya. Padahal, sudah sekira satu tahun belakangan ia tidak pernah membasahi kasur. Apalagi semalam ia tak minum terlalu banyak dan sudah buang air kecil sebelum tidur. Terlepas dari itu semua, saya berangkat menuju sekolah tanpa firasat apa-apa dan menganggap hari itu sebagai sebuah hari biasa yang tak berbeda dari hari-hari lainnya.

Tepat pukul 12 siang, sebuah pesan singkat mampir di telepon genggam saya. Dari adik perempuan saya. “Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Mbak, Bu Enny sudah meninggal,” tulisnya. Saya langsung terdiam dan memandangi pesan itu berulang-ulang. Saya khawatir salah baca dan tidak bisa berpikir jernih saat itu. Jujur saja, keluarga besar sudah ikhlas dan bersiap menerima kemungkinan terburuk kapan saja. Akan tetapi saat hari itu tiba, tetap saja ada perasaan gundah dan keinginan untuk mempertanyakan keadaan, mengapa semua ini harus berlangsung begitu cepat?

Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju rumah duka, saya menghabiskan waktu dengan terdiam. Tak ada air mata yang jatuh. Saya hanya merasa tak ingin berbicara kepada siapa-siapa. Pikiran saya melayang jauh ke masa lalu. Sebuah masa di mana saya masih menikmati kepolosan dan keceriaan anak-anak bersama dengan keluarga tercinta. Ah, sepertinya masa itu begitu dekat dalam genggaman.

Endang Rahayu Sedyaningsih. Dengan segala karya dan gelar pendidikannya, bagi saya beliau bukanlah sekedar Menteri Kesehatan, atau pejabat negara, atau perempuan yang berpengaruh di negeri ini. Saya selalu dan akan terus mengenangnya sebagai Bu Enny, panggilan sayang keluarga kami, karena beliau adalah kakak kandung dari ibu saya.

Selain ibu saya, sosok perempuan yang saya jadikan panutan di dalam keluarga adalah Bu Enny. Mengapa? Ada lebih dari 1001 alasan yang tak mungkin saya jabarkan satu per satu. Jauh sebelum beliau diangkat sebagai Menteri Kesehatan pada akhir tahun 2009, beliau sudah menjadi panutan saya. Bahkan untuk merunut kisah sejak kapan hal ini berlangsung, saya harus terbang kembali ke masa kanak-kanak saya. Lebih dari 20 tahun silam.

Bu Enny adalah perempuan tangguh yang cerdas. Beliau mengajarkan kepada kami mengenai pentingnya pendidikan. Di mana pun dan kapan pun, tak peduli tua atau muda, masih lajang atau telah berkeluarga, mengejar pendidikan itu adalah hal yang penting. Kita tak boleh berhenti belajar. Filosofi itu sebenarnya didapat dari mendiang ayahnya – Mbah Kakung saya – yang pernah berkata, “Kuliah terus sampai S3. Kalau perlu, sampai jadi profesor.” 

Dan beliau bisa membuktikannya. Tidak tanggung-tanggung, sejak S1 hingga S3, beliau mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah paling top, tak hanya di indonesia, melainkan juga di dunia. Gelar S1 beliau dapatkan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sementara S2 dan S3 dari Harvard School of Public Health, America Serikat. Prinsip lainnya, S1 harus didapat dari negeri sendiri karena kita harus menghargai pendidikan dan budaya lokal.

Inilah yang sedikit banyak mempengaruhi saya untuk kuliah di Universitas Indonesia. Selepas SMA, saya tak punya pilihan lain selain kuliah di universitas tersebut. Tak ada sekolah lain yang ada dalam bayangan saya selain UI. Bu Enny lulusan UI, ibu saya juga lulusan UI. Harvard adalah target saya berikutnya, karena saya dengar di sana ada jurusan Social Anthropology. Semoga.

Memori saya kemudian bergeser kepada masa-masa Bu Enny berkuliah di Amerika. Beliau membawa serta sepupu-sepupu saya, sehingga kami rutin berkirim surat untuk menjaga hubungan persaudaraan. Kala itu awal era 1990an, komunikasi memang baru bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Belum ada telepon genggam, blackberry, apalagi skype. 

Tumpukan surat antara saya dengan Bu Enny dan sepupu-sepupu saya itu sedikit banyak melatih kemampuan saya menulis. Saya paling senang membaca surat dari mereka dan tak sabar ingin segera menulis balasannya. Lewat surat itu saya bercerita tentang banyak hal hingga berlembar-lembar. Saya bahkan dapat mengingat salah seorang paman saya berkata, “Tya ternyata pintar juga ya menulis dan bercerita.”

Jika dipikir-pikir, dari sinilah saya memutuskan menyukai segala hal yang berhubungan dengan tulis-menulis dan membaca. Bagi Bu Enny menulis itu penting, menulis itu sukma. Beliau juga berbaik hati mengajak saya berkolaborasi dalam menulis artikel rutin di sebuah majalah perempuan bulanan. Duet itu kami lakukan selama kurang lebih 7 tahun, dari tahun 2002 hingg tahun 2009 saat beliau diangkat sebagai Menteri Kesehatan.

Saat kemudian Bu Enny meluncurkan buku demi buku, beliau sempat berkata, “Suatu saat kamu harus menulis buku yang lebih bagus dari saya.” Mungkin bagi orang lain itu terdengar sepele, namun bagi saya itu adalah motivasi. Ingatan saat beliau menuturkan kata-kata itu pada peluncuran salah satu bukunya di Bentara Budaya, Jakarta akan terus terekam dalam ingatan saya.

Hubungan saya dengan Bu Enny agak sedikit jauh saat beliau menjabat Menteri Kesehatan. Saya sungguh maklum mengingat kesibukannya yang luar biasa. Jika biasanya keluarga besar kami kerap berkumpul, berpiknik bersama, atau sekedar bercengkerama, maka sejak akhir tahun 2009 itu kami hanya bisa berkumpul pada hari-hari besar keluarga saja. 

Meski begitu, banyak hal dari beliau yang masih berpengaruh ke dalam pikiran dan kehidupan saya. Seperti misalnya posisi perempuan dalam rumah tangga yang merupakan mitra sejajar bagi pasangannya, tekad untuk berkarya yang tak boleh luntur, hingga ke gaya hidup. Seorang perempuan tak boleh hanya mementingkan penampilan secara berlebihan, karena hati dan isi kepala adalah hal yang lebih penting. Tak perlu eksis dalam pergaulan alias menjadi sosialita meski kedudukan sosial ekonomi tinggi, tak perlu nongkrong di klub atau kafe ternama demi gengsi, tak perlu dandan berlebih, yang penting adalah tetap sederhana dan bersahaja. Yang terpenting adalah berguna bagi keluarga dan masyarakat.

Terakhir saat beliau didiagnosa mengidap kanker paru stadium 4 pada tahun 2010, beliau juga tak terlihat patah arang. Jabatan Menteri Kesehatan tetap dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab. Kami juga tak diizinkannya untuk mengasihani atau pun menyesali, karena bagi beliau, kanker paru adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang ia terima dengan lapang dada. Beliau malah mengingatkan kami tetap kuat agar dirinya juga bisa menjadi kuat. Be Strong. Versterkte. 

Begitulah saya mengenang beliau dalam diam sepanjang perjalanan ke rumah duka. Saat melihat jasadnya yang terbaring dengan sebuah senyum damai, saya merasa sedih sekaligus lega. Kelegaan ini saya rasakan karena memang beliau layak mendapatkan yang terbaik. Doa kami telah dijawab oleh Tuhan dan inilah yang sejatinya merupakan jalan terbaik.

Selamat jalan, Bu Enny. Saya berusaha tak meneteskan air mata berlebih mengiringi kepergianmu. Seorang perempuan tangguh tak boleh ditangisi. Seorang perempuan tangguh harus mendapatkan rasa hormat dan ikhlas dalam mengantarnya ke peristirahatan abadi. Mengutip twit sepupu saya – putri bungsu beliau, “my mother died a rockstar.” My aunt died as a hero.

Tahun baru 2012 keluarga Mardjana. Tahun baru terakhir bersama Bu Enny.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha