Skip to main content

Strawberry Shortcake on the Shore: Chapter 1


One Breezy Morning at the Platform


Udara pagi ini lebih dingin dari biasanya. Barisan kabut masih nampak enggan meninggalkan ruang-ruang yang mulai diterpa sinar mentari. Rerumputan masih dihuni buliran-buliran embun yang begitu bening. Dinginnya hembusan angin pun menusuk sum-sum tulang. Aku merapatkan ikatan syal di leher dan menarik topi rajut yang kukenakan hingga menutup telinga.
Peron pagi ini masih nampak sepi. Sepertinya ramalan cuaca dingin hari ini membuat insan-insan betah berlama-lama di rumah seolah tak pernah mau pergi beraktivitas. Sebenarnya aku pun demikian. Ingin rasanya tubuh ini melekat di atas kasur empuk dan menarik selimut rapat-rapat. Akan tetapi kemudian aku teringat pada sorot mata berwarna biru gelap itu.
Sudah hampir satu bulan aku tak berjumpa dengannya akibat kesibukan menghadapi sidang proposal tesis yang menyesakkanku. Meski ia selalu meminta aku datang ke kotanya, bahkan memohon agar ia boleh berkunjung ke kotaku, namun aku selalu menolaknya. Bukan karena tidak ingin, tetapi aku tak mau pikiranku teralihkan dari persoalan kuliah yang sebentar lagi mendekati akhir ini.
Lalu ada hal lain pula yang tengah mengusik jiwaku dan ia belum mengetahuinya. Sejak semalam aku mengumpulkan segenap kerinduan sekaligus keberanianku. Aku menekan nomornya di ponselku, namun tanpa jawaban. Pesan singkat pun belum ia balas hingga detik ini. Mungkin ia sedang sibuk, atau kelelahan karena seharian mengikuti kasting peran baru. Sama seperti biasanya.
Lelaki yang sedang kutuju adalah salah satu aktor muda harapan dunia perfilman negeri ini. Sejak ia memutuskan menekuni seni peran dan menjajal dunia akting, bintangnya kian bersinar. Perlahan tapi pasti. Hal itulah yang kemudian membuat kami berdua memutuskan tinggal di kota yang berbeda; aku di kota di mana universitas tempatku mengambil program magister di bidang literatur berada, dan dia di kota yang merupakan tempat bertaburnya sekolah-sekolah seni peran dan film, serta panggung-panggung teater. 
Ia pasti benar-benar sibuk, pikirku semalam. Entah dari mana kemudian terbersit ide spontan dalam benakku untuk mendatanginya langsung tanpa pemberitahuan sebelumnya. Padahal biasanya aku adalah tipe yang serba teratur, terencana, dan penuh perhitungan detail. Aku bahkan masih menyimpan jurnal dan planner hingga detik ini. Lelakiku itu sering berkata kalau aku terlalu perfeksionis.
“Santailah sedikit, little princess! Kamu harus lebih relaks dalam menjalani hidup. Sesekali melompatlah ke atas kereta yang entah menuju ke mana. Kamu tahu, supaya bisa menemukan petualangan baru,” katanya suatu ketika. Senyuman dan sorot matanya begitu teduh, selalu berhasil membuat hatiku merasa tenang.
Aku dan dia memang jauh berbeda. Jiwanya lebih bebas. Ia berani melakukan apa saja yang ia inginkan. Tekadnya begitu baja. Ia menentang ayahnya saat darah mudanya masih begitu bergejolak. Ayahnya ingin ia kuliah bisnis agar bisa meneruskan usaha keluarga yang sudah turun-temurun di bidang garmen. Alih-alih, ia mendaftar ke sebuah sekolah seni peran dan drama di belahan negara bagian lain selepas SMA dan meninggalkan rumah untuk menggapai impiannya itu. Meninggalkan keluarganya jauh di belakang dan kota kecil tepi laut tempat ia lahir dan dibesarkan. Satu-satunya kenangan dari tempat itu yang masih ia simpan rapat-rapat di genggamannya hanyalah aku.
Di masa-masa pertama kuliahnya itu, ibunya seringkali menanyakan kabarnya kepadaku. Meminta diriku untuk memastikan anak lelaki satu-satunya itu baik-baik saja. Padahal aku pun sama dengan ibunya, tak bisa bertatap muka maupun menyentuh raganya secara langsung. Ibu bahkan medesakku untuk diam-diam mengiriminya uang karena takut buah hatinya itu hidup kekurangan. Uang yang tentu saja tak dapat kuterima karena sudah pasti akan ditolak mentah-mentah oleh lelaki itu.
Spontanitas yang kerap ia paksakan itulah yang hendak aku lakukan sekarang ini. Mengetuk pintunya secara tiba-tiba di pagi buta sambil menyodorkan bingkisan kecil di tangan dan kejutan yang mungkin akan mengubah hidupnya.
Namun sebelumnya, aku harus bergelut dahulu dengan udara pagi yang semakin menusuk ini. Peron nampak begitu sepi. Hanya ada aku, seorang ibu tua yang duduk sambil mendekap kopernya, lelaki berpenampilan eksekutif muda lengkap dengan jas rapinya yang sepertinya akan menghadiri pertemuan terpenting dalam hidupnya, serta seekor kucing gemuk yang sedari tadi sibuk mengacak-acak tempat sampah.
Petugas peron di kejauhan tak lama kemudian memberikan isyarat bahwa kereta kami akan segera tiba. Gerbong-gerbong yang akan mengantarkan diriku kepadamu, lelakiku.
Barisan pepohonan nampak berkejaran seiring laju kereta yang semakin cepat. Deru mesin menggema mengisi ruang-ruang dalam gerbong yang begitu lengang pagi ini. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela. Dingin dan basah. Bahkan embun pagi dan sisa-sisa hujan semalam belum rela meninggalkan lelapnya.
Aku menatap bingkisan yang kududukkan di kursi sebelahku. Isinya adalah sesuatu yang paling ia suka ketika masih remaja. Ditambah tulisan singkat di atasnya yang dengan ragu aku minta ditambahkan pada detik-detik terakhir. Spontanitas kedua yang aku lakukan hanya dalam semalam.
Aku memang mengenalnya sejak lama. Bisa jadi ketika aku baru saja dilahirkan ke dunia, ia yang masih digendong ibunya dan mengenakan popok ikut menjenguk ke rumah sakit tempat ibuku baru saja melahirkanku. Empat bulan kemudian ia kembali ke rumah sakit yang sama untuk menjadi saksi kelahiran adik perempuannya sendiri. Adik yang kemudian menjadi sahabatku hingga kini.
Di kota kecil tepi laut tempat kami tumbuh, sangatlah lazim bagi anak-anak dengan tahun kelahiran sama dan tinggal di lokasi berdekatan menjadi teman sepermainan. Sudah hampir bisa dipastikan kami akan belajar di satu sekolah yang sama, kecuali mereka yang berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki orang tua yang mampu mengirim mereka ke sekolah swasta terbaik di kota sebelah yang memang lebih besar dan lengkap sarananya. Namun bagi sebagian besar dari kami, sekolah milik pemerintah yang bersebelahan dengan pusat kegiatan remaja sudah pasti menjadi tempat kami menimba ilmu mulai dari pendidikan dasar hingga lulus pendidikan menengah.
Tak banyak yang bisa dilakukan di kota kecil itu, sehingga bermain bersama teman sepanjang hari menjadi sesuatu yang berharga dan sangat menolong untuk membunuh sepi. Hanya pertemanan, awal mula munculnya program musik MTV di layar kaca, game Nintendo, dan pemandangan laut yang luar biasa indahlah yang menjaga kewarasan generasiku di tempat itu.
Perjalanan kereta di pagi yang dingin ini membuatku terus melamun tentangnya. Tentang sorot mata biru gelapnya yang selalu mengingatkanku pada birunya air laut di kota tempat kami dulu berasal. Sama seperti laut, ia bisa menjadi begitu teduh dan memberi ketenangan, sekaligus bergejolak dan menakutkan. Di kala ia tenang, aku pun merasa tenang berada di sampingnya. Bisa berteduh dan bertutur mengenai apa saja yang ada di alam pikiranku. Akan tetapi setiap kali ia bercerita soal mimpi-mimpinya, ia bak laut yang berombak dan mampu menerjang batu karang yang tegar sekali pun.
Ia memang bukan tipe pemuda kota kecil yang puas hanya mewarisi apa yang dimiliki orang tuanya. Ia ingin menghasilkan sesuatu atas dasar jerih payahnya sendiri. Ia ingin petualangan. Ia ingin menjadi berbeda, jauh di bawah bayang-bayang keluarganya. Puncaknya, hanya satu hari setelah wisuda SMA, ia pergi meninggalkan semuanya.
Ayahnya terlalu gengsi untuk mencegahnya, sementara ibunya hanya bisa menangis tak karuan. Adiknya – sahabat terbaikku, adalah satu-satunya yang mampu mengerti keinginan kakaknya itu dan merelakannya pergi dengan janji pada suatu hari nanti ia akan menyeret kakaknya kembali ke kota kecil ini, apa pun taruhannya. Saat itu kami berdua baru akan memasuki masa junior, tahun ketiga kami di SMA. Tak ada yang bisa kami lakukan.
Sesaat sebelum ia berangkat keluar kota menumpang mobil temannya, aku berjumpa dengannya. Aku pikir kami bertemu secara tak sengaja pagi itu, akan tetapi setelah aku ingat baik-baik, sepertinya ia memang ingin menemuiku sebelum pergi. Mana mungkin ia pergi ke tempat favoritku secara tiba-tiba. Ia menciumku dengan lembut, ciuman pertamaku, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Aku akan sabar menunggu hingga kamu dewasa,” ujarnya sambil menatap mataku dalam-dalam. Tatapannya yang begitu teduh membuat hatiku merasa tenang meski aku tidak tahu kapan akan bisa berjumpa dengannya lagi dan tidak begitu paham maksud dari ucapannya.
Ah, seandainya ia bukan kakak dari sahabat terbaikku, mungkin aku tak akan pernah punya kesempatan berjumpa dengannya. Dan kisah kami tentu akan berbeda hari ini.
Bingkisan kecil itu nampak duduk dengan manisnya di sebelahku. Karton putih berpita perak mengkilat dengan huruf-huruf kelabu kecil yang menunjukkan salah satu patisserie terlezat di kota tempat universitasku berada. Patisserie itu sama sekali tidak terkenal seperti yang franchise-franchisenya telah menjamur di berbagai pusat perbelanjaan manca negara. Patisserie itu adalah kedai kecil yang menjual segala roti dan kuenya secara home made. Dipersiapkan setiap malam, disajikan hangat-hangat untuk menemani kopi pagi semua pelanggannya, dan selalu habis tak bersisa menjelang matahari tenggelam.
Aku ingat dahulu di kota kecil tepi laut itu ada sebuah patisserie serupa. Pemiliknya seorang perempuan paling keren yang pernah aku tahu. Ia mewarisi patisserie itu dari kedua orang tuanya yang seumur hidup mereka hanya tahu cara memanggang roti dan kue. Mereka mampu menabung banyak dan mengirim anak perempuan semata wayang mereka kuliah di bidang kuliner hingga jauh ke luar negeri. Sang anak yang entah karena begitu besar pengabdiannya kepada orang tua, atau memang mengelola patisserie di kota kecil itu memang telah lama menjadi impiannya, langsung kembali ke rumah dan mengelola patisserie milik orang tuanya berbekal ilmu yang telah ia peroleh di luar negeri.
Bagiku yang pertama kali diajak ibu ke patisserie itu kala masih kelas delapan, tindakannya benar-benar keren. Semua generasi muda rata-rata bermimpi keluar dari kota kecil ini, tapi dia malah mencoba menghidupkan kampung halamannya lewat keahlian yang ia miliki. Aku yakin suatu saat patisserie itu akan dikenal hingga ke negara bagian lain. Tekad semacam itu pasti akan membuahkan hasil yang baik, aku sangat yakin. Apalagi strawberry shortcake buatannya benar-benar nikmat. Perpaduan rasa asam dan manis yang dibalut dalam kesederhanaan dan bagiku selalu memberikan rasa rindu pada rumah. Kue itu kemudian menjadi makanan favoritku selama bertahun-tahun.



Aku ingat pernah berjumpa dengan lelakiku di patisserie itu suatu Sabtu pagi. Seperti biasa, aku hanya berjalan-jalan dan melamun di pinggir pantai, kebiasaanku sejak masa sekolah menengah, semenjak aku mulai tertarik pada buku-buku novel dan puisi. Aku merasa dengan berjalan-jalan tanpa tujuan dan melamun di pinggir pantai mampu mendatangkan inspirasi dan membantuku menulis karya, atau setidaknya pekerjaan rumah dari guru Bahasa Inggris yang selalu memaksa kami untuk terus menulis, menulis, dan menulis.
Pagi itu setelah cukup bosan berjalan-jalan, aku memutuskan untuk mampir ke patisserie dan memanjakan diriku dengan sepotong strawberry shortcake. Letaknya memang tepat di bibir pantai. Bangunan kecil berwarna putih dengan teras depan yang disulap menjadi kedai dengan meja-meja dan kursi bercat biru muda. Tiba-tiba sosok berambut cokelat dan berjaket kulit hitam memandangiku dari luar etalase sesaat sebelum aku duduk di sudut favoritku yang berada di bagian dalam patisserie. Lelaki yang di tahun junior SMA itu semestinya berjalan lurus ke sekolah untuk menghadiri kelas detensi di Sabtu pagi, namun akhirnya memutuskan bahwa diriku yang duduk seorang diri di toko kue jauh lebih menarik untuk didatangi daripada kelas detensi yang menyebalkan.
“Aku heran mengapa kalian para perempuan begitu tergila-gila dengan makanan manis?” ujarnya seraya menarik kursi tepat di hadapanku.
Aku kaget setengah mati akan kehadirannya, sehingga mataku membelalak dan jantungku nyaris copot dibuatnya. Kami tak terlalu akrab saat itu. Bahan pembicaraan kami kalau bertemu secara kebetulan atau melalui telepon hanyalah sapaan dan aku menanyakan apakah adiknya bisa bermain bersamaku. Tak lebih. Jadi jangan heran kalau aku benar-benar terkejut ia mendatangiku entah dari mana dan dengan alasan apa itu.
“Kalian?” kataku akhirnya setelah mencoba mencerna pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
“Iya, setidaknya kamu dan adik perempuanku. Kalian kan dua perempuan yang paling aku kenal sepanjang hidupku.”
“Errr, iya sepertinya.”
“Jadi, mengapa?” Ia memandangi kue cokelat yang baru saja ia pesan lekat-lekat dan memotongnya dengan sendok kecil.
“Enak?” tanyaku melihatnya meringis setelah suapan pertamanya. Mau tak mau aku tersenyum melihat gelagatnya.
“Demi, Tuhan! Aku menyerah! Aku tidak mengerti mengapa kalian begitu menyukai makanan yang teramat manis dan membuat gigiku ngilu ini,” katanya seraya mendorong piring kue cokelat menjauh dari hadapannya.
Aku tertawa. “Itu karena kamu memesan kue cokelat lapis tiga. Sepertinya hanya anak-anak kecil yang tahan dengan rasa semanis itu. Tertulis di menu kan kalau ini adalah kids choice.”
Ia kemudian melirik kue yang tergeletak manis di atas piringku. “Memangnya punyamu tidak?” Ia menggeser piring kueku ke hadapannya dan mulai mencicipinya dengan sendok.
“Aaaah, ini baru rasa kue yang bisa ditolerir lidahku. Mulai sekarang ini adalah kue favoritku dan satu-satunya kue yang akan kumakan seumur hidupku,” ujarnya seraya memamerkan senyum penuh kemenangan.
Pagi itu kami habiskan dengan bercengkerama membicarakan apa saja yang terlintas di kepala kami. Seperti dua teman lama yang sudah berabad-abad tak bertemu, padahal kami sesungguhnya bertemu hampir setiap hari. Aku bercerita mengapa aku begitu menyukai strawberry shortcake dan ia menuturkan dengan seru mengapa ia sampai mendapat detensi Sabtu pagi itu. Rupanya ia menyembunyikan maskot sekolah di lemari sapu dan semua orang seperti kebakaran jenggot mencarinya karena musim pertandingan basket antarsekolah akan dimulai pekan depan.
Ia terlambat tiga jam ke kelas detensi hari itu. Akibatnya, ia mendapatkan detensi tambahan selama satu bulan penuh, membantu anak-anak OSIS mempersiapkan pesta dansa musim dingin. Tak pernah kubayangkan anak paling cuek di seluruh sekolah harus mendekorasi sport hall dan menyulapnya menjadi lantai dansa. Ketika kutanya di kemudian hari apakah hal itu menyusahkannya, ia malah berkata kepadaku bahwa ia tak akan pernah melewatkan pagi yang indah bersamaku sambil makan kue strawberry shortcake. Sejak saat itu kami beberapa kali menghabiskan Sabtu pagi di patisserie milik perempuan paling keren di dunia itu.
Laju kereta mulai melambat. Pepohonan yang tadi nampak berlarian mengikuti laju kereta telah berganti rupa menjadi atap-atap bangunan tua yang memiliki cerobong asap. Meski kota tujuanku ini termasuk salah satu kota terbesar dengan perkembangan terpesat di dunia, namun bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur kuno agaknya masih dipertahankan di daerah-daerah pinggiran. Berbeda jika kita memasuki kota ini melalui bandara yang langsung menyuguhkan kehidupan khas kota besar, para pendatang yang tiba melalui stasiun kereta masih dimanjakan oleh ketenangan sub urban. Namun tetap saja sepelemparan batu dari sana, suasana hingar bingar akan langsung menyapa.
Aku melompat ke atas peron yang menyambutku dengan udara lebih hangat. Mentari sudah menampakkan sinarnya, tak lagi malu-malu seperti ketika aku berangkat tadi. Perjalanan yang hanya memakan waktu tiga jam dengan kereta ini memberikan kesempatan bagi sang surya untuk merangkak naik dan menerpa dunia dengan kehangatannya. Aku tidak lagi merasa kedinginan.
Di hari-hari lain, biasanya lelakiku telah setia menunggu di peron kedatangan. Ia kemudian akan menyambutku dengan pelukannya dan mengucap seribu kata rindu yang seolah tak pernah habis dari bibirnya. Akan tetapi tidak hari ini. Aku hanya bersama spontanitas yang kuharap tidak kusesali ini. Entah mengapa, setelah berbagai angan yang kulamunkan di atas gerbong kereta, terbersit firasat tak enak yang tiba-tiba datang mengusikku. Perutku serasa mual. Tak semestinya perutku bergejolak seperti ini. Ah, ini pasti hanya perasaan gugup yang menggebu saja. Mungkin tanpa disadari aku memang hanya rindu padanya. Amat sangat rindu menyibak sebuah rahasia.
Seseorang membuyarkan kegelisahanku. “Mau pergi ke mana, nona? Butuh tumpangan?” Rupanya seorang supir taxi berjaket kelabu menghampiriku. Aku lantas menyebutkan alamat sebuah apartemen.
“Oh, tidak jauh. Mari saya antar. Tidak ada barang bawaan?”
Aku menggelengkan kepala dan mendudukkan tubuhku di kursi belakang taxinya yang nyaman. Bingkisan kecil berpita perak masih nampak cantik di pangkuanku.
Bangunan apartemen berbata merah itu begitu bersahaja di antara bangunan-bangunan mewah di sekelilingnya. Klasik, namun begitu anggun dengan kanopi-kanopi dan tanaman rambat berbunga kuning yang menghiasi jendela-jendela bagian depannya. Karpet merah pun digelar mengiringi langkah para penghuninya ketika memasuki pintu utamanya yang terbuat dari kaca nan bening.
Tiga tahun lalu aku memilihkan secara khusus apartemen itu untuknya. “Bentuknya cantik! Aku bakalan betah berlama-lama di sini!” ujarku kala itu.
“Apakah itu artinya kamu akhirnya setuju untuk pindah ke kota ini bersamaku?”
Lelakiku itu memalingkan pandangannya dari brosur apartemen yang tengah ia baca dan menatapku. Senyumnya begitu lebar, seolah baru saja memenangkan lotere atau mendapatkan sesuatu yang selama ini sudah ia idam-idamkan.
“Bukan itu maksudku, kamu tahu,” kataku sambil menghela nafas.
Aku baru saja mendapat beasiswa untuk melanjutkan program master di universitas terbaik di negara ini, yang kebetulan jaraknya sekira 200 kilo meter dari kota tempat ia memutuskan untuk meniti karier. Beasiswa yang telah menghabiskan banyak waktu dan tenagaku untuk bisa meraihnya. Kesempatan ini tentu saja tidak akan kulewatkan demi apa pun, termasuk juga demi lelaki yang telah memenuhi ruang hatiku beberapa tahun terakhir ini.
Aku menghabiskan seluruh masa sekolah dasar dan menengahku di kota kecil tepi laut dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di tempat itu juga. Denyut nadi kota kecil tepi laut tempatku berasal itu memang ditopang oleh salah satu universitas tertua di negara ini yang memang masih diminati oleh para pelajar, khususnya yang ingin menekuni sejarah, seni murni, sastra, dan bidang humaniora lainnya.
Aku menghabiskan belasan tahun masa belajarku tanpa sejengkal pun meninggalkan kota kecil tempatku dilahirkan. Jadi ketika ada pintu terbuka lebar untuk mencari pengalaman di kota baru sambil menggapai cita-cita, aku tidak akan melewatkannya sedikitpun. Meskipun itu berarti aku meninggalkan banyak hal di belakangku, setidaknya aku bisa merintis asa yang selama ini aku dambakan: pergi dari kota kecil itu.
Maka terbanglah aku ribuan kilometer ke ujung timur negeri ini untuk memulai program kuliah master. Ayah dan ibuku terlihat tabah melepasku di bandara, namun jauh di sudut hatiku, aku tahu dengan pasti mereka teramat sedih melepas satu-satunya anak perempuan yang mereka miliki. Hari-hari mereka selanjutnya hanya akan disibukkan oleh dua adik lelakiku, si kembar yang baru saja memasuki tahun kedua SMA.
Perjalananku itulah yang kemudian banyak mengubah kehidupanku dan mendekatkan diriku ke kota tempat lelakiku berada. Juga semakin mendekatkan diriku yang telah beranjak dewasa kepada dirinya yang berkata akan selalu menunggu.
“Maksudku, aku bisa menghabiskan liburanku di sini, atau mungkin beberapa akhir pekan jika tugas-tugas kuliah tidak menghambatku,” kataku kemudian.
“Baiklah atur saja, little princess! Kamu bosnya,” balasnya sambil kembali tersenyum.
Sebenarnya alasanku memilih apartemen ini, selain karena faktor arsitekurnya, adalah karena penghuni apartemen ini kebanyakan aktor muda yang baru saja diorbitkan atau mereka yang masih berstatus calon aktor yang tentu saja kesehariannya masih dijejali dengan agenda kasting dan bertumpuk perjuangan lainnya. Para pejuang, pemula yang tengah meraih kesuksesan. Aku ingin semangat mereka mewarnai keseharian lelakiku dan menularinya dengan segenap energi positif. Aku tidak ingin ia tinggal di tempat mewah para bintang manja yang merasa telah memiliki segalanya, padahal ketenaran yang mereka raih ini berasal dari proses instan. Aku ingin lelakiku tetap berkarya dan membumi bahkan jika suatu hari ia telah memenangi piala Oscar sekali pun. Aku ingin ia selalu ingat bahwa ia berasal dari kehidupan yang sederhana di sebuah kota kecil tepi pantai.
Supir taxi menurunkanku tepat di muka apartemen. Aku mengucapkan terima kasih dan mulai memasuki bangunan yang rasanya sudah berabad tak kumasuki. Angin berdesir pelan ketika pintu kaca kudorong hingga terbuka. Meski sinar mentari telah memberi kehangatan, namun semilir angin dingin seperti masih enggan meninggalkan pagi.
Lobi nampak lengang hari ini. Si penjaga pintu yang berperut tambun dan berhati baik itu bahkan tidak nampak di posnya. Mungkin ia sedang menyeduh kopi dan menikmati donat yang setiap pagi disajikan oleh salah satu gadis petugas bersih-bersih yang memiliki senyuman paling manis di apartemen itu. Aku sudah lama tahu si penjaga pintu naksir berat pada sang gadis. Entah bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini, aku sudah lama tidak mengikuti perkembangannya.
Aku menekan tombol berukir angka dua belas di dalam lift dan pintunya menutup seketika. Pintu lift saja sudah kelihatan tergesa-gesa ingin mengantarkanku pada orang yang tengah kurindukan saat ini. Perutku kembali bergejolak, namun di sisi lain hatiku seolah melompat-lompat kegirangan karena akan segera melepas kerinduan yang telah lama menggerogotinya. Aku mendekap bingkisan berpita perak erat-erat dan menahan nafas ketika pintu lift membuka tepat di lantai dua belas.
Baru beberapa langkah keluar dari lift, tiba-tiba seseorang menubrukku dengan kencang. Bingkisan mungilku nyaris tergelincir dari tangan dan mencium lantai.
“Hey!” teriakku sambil berbalik ke arahnya berlari. Aku berusaha keras menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Terlambat. Pintu lift yang kutumpangi tadi sempat dimasukinya hanya dalam hitungan detik dan kini pintunya terlanjur menutup.
Ada yang tak asing dari sosok perempuan yang baru saja menabrakku itu. Rasanya aku mengenal raut wajahnya, atau paling tidak pernah melihatnya di suatu tempat, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Wajah yang tak asing tadi kelihatan begitu murung dan berantakan. Di sekeliling matanya terdapat coreng kehitaman yang kelihatannya berasal dari maskara yang sudah luntur. Sepertinya ia baru saja menangis atau meluapkan emosi tertentu yang aku tak bisa menebak itu apa. Lipstik yang tadi dikenakannya nampak seperti baru saja terhapus secara asal-asalan. Rambutnya pun acak-acakan seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mantelnya diikat rapat dengan tergesa-gesa, menyembunyikan entah apa yang berada di baliknya.
Aku juga menyadari hal janggal lainnya dari perempuan itu, yakni ia tidak mengenakan alas kaki. Kakinya yang telanjang nampak begitu pucat. Apakah ia merasa sakit atau baru saja mendapat musibah?
Belum juga habis rasa heranku, mataku langsung terbelalak ketika aku membalikkan badan untuk melanjutkan perjalananku ke pintu tempat lelakiku berada. Tepat di hadapanku, berdiri seorang lelaki berambut kecoklatan menatapku dengan sepasang bola mata berwarna biru gelap miliknya. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari mengejar sesuatu, atau seseorang. Ia hanya mengenakan celana olah raga tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh bagian atasnya. Sandal kamarnya masih terpasang dengan setia di atas kakinya. Sepasang sandal lembut berwarna abu-abu terang yang kuhadiahkan padanya tahun lalu.
Sel-sel dalam otakku langsung bekerja mencerna apa yang sesungguhnya baru terjadi tepat di depan kedua mataku. Aku merasa gamang, seolah tak mampu lagi merasa. Bingung dan seperti kehilangan arah, tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan tidak tahu harus berpikir apa. Gejolak dalam perutku kian menghebat, seakan ikut memperparah suasana yang sudah tak karuan ini.
“Julia…,” ujar lelaki itu terkejut. Keterkejutannya segera berganti menjadi raut kesedihan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku pernah melihat wajah seperti ini bertahun-tahun lalu ketika sebuah peristiwa buruk menimpaku dan ia menjadi saksinya.
Sebelum aku mampu berucap, bingkisan putih berpita perak itu meluncur dari genggamanku dan menghantam lantai. Tutupnya terbuka dan memperlihatkan isinya yang kini telah tergeletak mengotori karpet berwarna marun di depan lift. Strawberry shortcake merah muda dengan kepingan cokelat putih yang dihiasi krim cokelat bertuliskan, “Happy Birthday, Daddy-to-be!”

*****


Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha