Skip to main content

Narayana

sothenstories.com

“Narayana.”

“Hmmmm, kedengarannya seperti nama lelaki,” ucap Ardhy penuh curiga.

“Memangnya kenapa? Kamu cemburu?”

Ardhy mencubit hidungku dengan kekuatan yang sama sekali tak disadarinya.

“Aduh, sakit!” Aku berteriak seraya menjauhkan tubuhku dari lelaki yang dari aroma tubuhnya baru saja menjalani rutinitas paginya: bercukur. Bau lemon mint.

“Memangnya kenapa sih? Narayana itu nama yang bagus,” ujarku sewot.

“Kalau begitu, aku juga punya nama. Clarissa,” balasnya tak mau kalah.

“Clarissa itu seperti nama gadis cantik yang bakal membuatmu jatuh cinta setengah mati, lalu meninggalkanmu begitu saja.”

“Enak saja! Clarissa itu baik hati dan lemah lembut!”

“Oh, kalau begitu cari saja sana gadis yang bernama Clarissa sampai ke ujung dunia!” ucapku makin sewot.

Belum sempat Ardhy melanjutkan ucapannya, aku merogoh dalam-dalam tas tanganku dan nyaris membongkar seluruh isinya. Sebuah buku kuno bersampul cokelat yang berhasil kutemukan langsung kulempar ke hadapannya.

“Ini, lihat halaman tengah yang kuberi pembatas,” perintahku.

Dengan wajah enggan, Ardhy menuruti permintaanku. Ia membaca sembari mengernyitkan alis. Aku tidak dapat membaca ekspresinya dengan jelas karena terhalang sampul buku.

“Jadi?” tanyaku tak sabar.

“Narayana. Bahasa Sansekerta. Nama lain untuk Dewa Wisnu dan Prabu Kresna. Tempat  bernaung entitas kehidupan. Pemimpin,” jawab Ardhy sepotong-potong.

“Iya, terus?”

“Hey, ini terlalu mirip anak lelaki!” protes Ardhy.

“Tidak kalau kita panggil dia Raya atau Yana. Narayana itu nama yang benar-benar bagus. Malah unik karena Narayana yang satu ini adalah perempuan.”

“Tapi.....,” Ardhy hendak menyatakan keberatannya.

“Pokoknya Narayana. Titik!”

Perseteruan sengit kami tiba-tiba dihentikan oleh sebuah suara, “Bapak dan Ibu Ardhy Prakoso? Dokter sudah menunggu di dalam. Beliau siap memeriksa kandungan Ibu sekarang.”

Kami pun mengikuti pemilik suara itu masuk ke dalam ruang praktik.


Ah, siapa sangka memilih nama untuk bayi itu adalah salah satu pekerjaan paling berat di dunia?

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

Merayakan Keberagaman Budaya dan Kekayaan Bahasa

Sudah menjadi tradisi bagi Global Prestasi Senior High School merayakan dua hari besar, Sumpah Pemuda dan Pahlawan, setiap tahunnya. Mengingat dua hari tersebut terpaut tak terlalu jauh, maka perayaannya pun dipadukan menjadi satu. Di sekolah ini, kami menamainya sebagai Bulan Bahasa. Sebuah perayaan yang mengusung keberagaman budaya dan kekayaan Bahasa di Tanah Air. Bulan Bahasa tahun ajaran 2014/2015 jatuh pada hari Selasa, 11 November lalu. Perayaan ini berlokasi di area Senior High School dan ditutup dengan acara puncak di Sport Hall. Perayaan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 15.30. Bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah Mrs. Anitya Wahdini, S.Sos. Bulan Bahasa 2014 kali ini menjadi cukup istimewa karena diawali dengan serah terima pengurus OSIS, dari OSIS angkatan 8 yang diketuai Jauharah Dzakiyyah (XII Science3) ke OSIS angkatan 9 yang dikomandoi Hinggista Carolin (XI Science3). Jadi, Bulan Bahasa sekaligus menjadi debut OSIS angkatan 9 dalam unjuk gig...

Ode to Dolores: Thanks for Making My Childhood Rocks!

  Unhappiness, where’s when I was young and we didn’t give a damn ‘Cause we were raised, to see life as fun and take it if we can Dolores O'Riordan (Dok. Billboard) Lantunan lagu Ode to My Family yang berlirik syahdu dan dentingan gitar melodi yang mengiringinya tak pernah begitu menusuk hingga hari ini, dua puluh empat tahun setelah lagu tersebut pertama kali ditulis oleh sang empunya, Dolores O’Riordan. Mungkin karena liriknya yang memang bertutur soal keluarga sang penyanyi, tersirat bagaimana ia merefleksikan masa kecilnya setelah merengkuh sukses. Mungkin juga karena saya memutar lagu ini setelah lama tak mendengar suara khasnya, tepat di hari kematiannya. Kematian seorang musisi atau public figure tak pernah begitu mempengaruhi saya sebelumnya. Biasanya saya hanya terkejut dan kemudian berita duka itu berlalu begitu saja. Tidak ketika dunia dihebohkan dengan kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tidak pula ketika Amy Winehouse, Michael Jackson, at...