Skip to main content

Bermain dengan Riang di Kaki Gunung Sindoro

Bermain kasti di lapangan sekolah tentu merupakan hal yang biasa. Namun pernahkah Anda bermain kasti dengan beralaskan hamparan rerumputan hijau nan luas dan pegunungan tinggi sebagai pagarnya?


Sepanjang pengalaman menjadi guru, kegiatan sekolah ternyata tak melulu berkutat di ruang kelas yang dikelilingi papan tulis, tembok, dan mading hasil karya anak-anak didik. Setidaknya satu tahun sekali, sekolah tempat saya mengabdi itu mengadakan kegiatan outing di mana kami bisa belajar dari alam dan masyarakat yang sesungguhnya, sekaligus traveling.

Perjalanan yang hingga kini tak terlupakan adalah ketika dua tahun lalu kami mengadakan program outing di Desa Buntu, sebuah desa di dataran tinggi yang begitu sejuk dan memiliki pemandangan yang saking indahnya, benar-benar sulit untuk dilukiskan atau didefinisikan.

Desa Buntu merupakan sebuah desa di Kecamatan Kejajar, di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Letaknya yang persis di kaki Gunung Sindoro, membuat Desa Buntu berada di dataran tinggi yang memiliki ciri khas udara sejuk dengan sinar matahari menyengat di siang hari dan teramat dingin di malam hari.

Soal pemandangan, jangan ditanya lagi. Struktur desa yang mengikuti tanahnya yang berbukit-bukit, menjadikan desa ini memang memiliki jalanan yang cukup terjal, namun tiap kali kita berada di bagian atas, pemandangan seluruh desa terlihat begitu indah. Rerumputan dan area ladang yang terhampar di sekeliling desa juga menyerupai bingkai yang menandai batas desa dengan desa lainnya. Sebagian besar masyarakat Desa Buntu memang memiliki mata pencaharian berladang.

Gunung Sindoro yang nampak begitu dekat juga menambah sensasi spektakuler dari pemandangan yang sudah teramat indah itu. Bayangkan jika biasanya kita harus merogoh kocek jutaan rupiah hanya untuk menginap semalam di hotel berbintang lima dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Para penduduk Desa Buntu ini memiliki pemandangan bernilai jutaan – bahkan milyaran, sebagai latar belakang jendela dapur mereka. Gratis!

Kami tiba di Desa Buntu dini hari, sehingga penerangan hanyalah lampu-lampu yang menempel di rumah warga. Tak banyak yang bisa kami lihat saat itu, selain jalan berbatu terjal yang harus kami tapaki menuju desa dan udara yang membuat tubuh kami beku sehingga kami seolah mengeluarkan asap tiap kali menghembuskan nafas. Persis seperti di tempat bersalju. Hanya rasa lelah dan sisa-sisa rasa antusiasme yang masih melekat usai melakukan perjalanan darat berjam-jam dari sekolah kami di pinggiran ibukota.


Namun alangkah terpesonanya kami ketika mentari mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Sinar keemasan menyibak gelap dan perlahan-lahan menyinari hamparan ladang dan rerumputan yang berkilau dibuatnya. Seperti sesuatu yang tak nyata berada tepat di depan mata.

Pemandangan macam ini jarang sekali ditemui anak-anak didik saya yang memang lahir dan besar di daerah perkotaan yang padat pemukiman. Alhasil, mereka sudah tak sabar untuk segera menyatu dengan alam dan mengeksplor setiap sudut desa.

Semua itu menjadi terasa menyenangkan ditambah keramahan penduduk desa yang selalu menyajikan kami secangkir teh hangat yang memiliki aroma dan rasa yang khas. Plus, hasil ladang mereka yang nikmat. Favorit saya adalah kentang. Tak perlu repot mengolahnya dengan resep ini-itu, cukup direbus atau digoreng a la kadarnya, maka terciptalah rasa yang mampu mengalahkan kentang goreng restoran cepat saji.

Anak-anak banyak menghabiskan waktu di desa dengan bermain di alam bebas, selain mengikuti rangkaian program yang sudah direncanakan oleh sekolah tentunya. Jarang sekali anak-anak bisa berlarian dan tertawa lepas di alam terbuka dengan begitu bebasnya. Sepanjang hari mereka bermain kasti dan aneka permainan tradisional lainnya di lapangan rumput yang luas berlatar Gunung Sindoro.

Beberapa anak juga mengikuti orang tua asuh tempat mereka bermukim selama empat hari itu bekerja di ladang. Mereka memetik kentang, cabai, bahkan seorang anak bercerita dengan antusias bagaimana ia membuat pupuk dengan tangan kosong dan baru menyadari belakangan bahwa pupuk itu ternyata terbuat dari kotoran ayam. Semua anak pun tertawa dibuatnya.


Belajar memang tak selamanya harus di dalam kelas. Belajar langsung dari alam dan masyarakat sesekali juga diperlukan untuk membuat anak lebih menghargai kekayaan budaya dan alam yang ada di negerinya sendiri. Anak-anak juga bisa belajar mengenai kearifan lokal dari kehidupan sehari-hari warga Desa Buntu. Tak ketinggalan, bermain dengan riang dan bebas berlatar pemandangan indah menjadi pengalaman tersendiri bagi setiap anak dan juga saya.

*****
           
Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi #BeautifyingIndonesia: Ceritakan Cantik Indonesia yang diselenggarakan oleh Martha Tilaar Group bersama IwasHere Networks.

Martha Tilaar Group mendukung promosi pariwisata Wonderful Indonesia dengan mengangkat tema inspirasi Gili Lombok yang sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengembangkan kawasan Mandalika sebagai salah satu dari 10 Destinasi Prioritas.



Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha