Skip to main content

Buku Tak Hanya untuk si Kutu Buku

Para siswa yang telah memulai Book Project:
(dari kiri atas searah jarum jam) Hafizhah, Armand, Indhi, Andreas, dan Dimas  

Pernah melihat seorang anak yang menyukai novel Assasin’s Creed terlibat pembicaraan seru bersama temannya saat membandingkan novel tersebut dengan versi filmnya yang tayang beberapa bulan lalu? Ah, itu pasti pemandangan yang biasa. Setiap penyuka buku pasti akan antusias jika membahas novel favorit mereka, apalagi membanding-bandingkan dengan versi adaptasi layar lebarnya.

Namun pernahkah kalian melihat atlit basket sekolah asyik menekuni sebuah novel di sela-sela latihan? Atau seorang anak lelaki yang biasanya selalu merasa bosan pada apa pun, termasuk pelajaran sekolah, terpingkal-pingkal membaca buku cerita bergambar di waktu istirahat? Nah, saya pernah!

“Semua gara-gara Miss Tya,” demikian dalih anak-anak kelas X, termasuk si atlit basket dan anak yang selalu bosan itu, jika ditanya mengapa mereka mendadak lekat dengan buku.

Sebenarnya jika ingin ditarik garis asal mula kejadiannya, semua ini “gara-gara” bapak menteri pendidikan dan kebudayaan kita. Bulan Juli 2015 silam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Salah satu hal penting yang tertuang di dalamnya adalah kewajiban membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari di sekolah. Berdasarkan aturan tersebut, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikjen Dikdasmen) meluncurkan sebuah program bernama Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

Jadi, masih mau menimpakan “kesalahan” pada saya atau pada bapak menteri?

Ketika pertama kali peraturan itu dicanangkan, saya memang tak serta merta menerapkannya di kelas saya, apalagi di sekolah. Status saya jelas hanya guru biasa, bukan pemangku jabatan, jadi saya tak punya peran banyak dalam menentukan program sekolah. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan di kelas. Kelas saya, peraturan saya. Maka di sinilah misi GLS saya selipkan.

Sebelum memulai pelajaran setiap harinya di setiap kelas X, saya menyisihkan 15 menit pertama untuk membaca dan membahas sebuah buku. Buku apa pun, boleh novel, cerita bergambar, komik, ensiklopedi, biografi, pokoknya genre dan jenis buku apa pun asalkan bukan buku teks pelajaran. Sejenak singkirkan dahulu jauh-jauh yang namanya buku paket!

Cara yang saya terapkan sederhana. Di semester pertama ini saya mewajibkan setiap anak membaca ulang buku yang pernah mereka baca sebelumnya dan menjadi buku favorit mereka. Membacanya tentu di waktu luang masing-masing.

Di kelas, secara bergiliran satu orang anak setiap jam pelajaran saya harus membacakan penggalan tulisan dari buku tersebut yang mereka anggap menarik, lalu membaginya di hadapan teman-teman sekelasnya. Teman-temannya ini kemudian boleh bertanya mengenai buku yang tengah dibahas tersebut sehingga terjadi interaksi yang menyenangkan dan pertukaran info mengenai sebuah buku.

Program yang saya beri nama Book Project ini telah berlangsung selama beberapa minggu sehingga sudah mulai nampak sedikit demi sedikit efeknya. Atlit basket yang tadi nyaris tak pernah punya waktu untuk membaca buku, kini selalu terlihat asyik membaca dan tengah bersiap untuk gilirannya maju ke depan kelas pekan depan.

Anak yang selalu bosan tadi, tak pernah minat membaca sebelumnya, namun ia mulai menemukan kenikmatan tersendiri dalam membaca buku. “Buku yang ada gambarnya dulu ya, Miss,” ucapnya antusias.
Target saya tentu bukanlah menjadikan seluruh siswa kelas X menjadi kutu buku atau mendadak punya hobi membaca. Saya hanya memiliki mimpi, anak-anak generasi masa kini mau mengenal buku dan mampu membaca teks panjang di tengah gencarnya teks-teks singkat yang mewarnai keseharian mereka di media sosial.
Saya khawatir buku (baik yang berwujud fisik maupun e-book) akan ditinggalkan perlahan akibat tidak tertariknya lagi generasi masa depan pada teks-teks panjang. Padahal siapa lagi yang akan melestarikan dunia sastra dan literasi kita jika bukan mereka?
Book Project mungkin bukanlah sebuah misi menyelamatkan literasi yang terlihat mapan. Book Project hanya mencoba mengenalkan para siswa kepada buku dan nikmatnya membaca sebuah buku, seperti yang selalu saya lakukan semenjak duduk di bangku sekolah dasar hingga kini di waktu luang saya.

Saya juga tahu pasti bahwa menjalani Book Project tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, pasti akan ada pihak yang mencibir atau mengkritik. Hambatan lainnya datang dari para siswa itu sendiri yang memang tak semuanya menyukai buku.
“Sampai kapan sih kita harus membaca buku, Miss?” kata seorang anak suatu hari setelah ia menyaksikan temannya maju ke depan kelas.

Oh, Nak. Kamu akan terus berhadapan dengan Book Project selama saya masih menjadi gurumu!

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

Merayakan Keberagaman Budaya dan Kekayaan Bahasa

Sudah menjadi tradisi bagi Global Prestasi Senior High School merayakan dua hari besar, Sumpah Pemuda dan Pahlawan, setiap tahunnya. Mengingat dua hari tersebut terpaut tak terlalu jauh, maka perayaannya pun dipadukan menjadi satu. Di sekolah ini, kami menamainya sebagai Bulan Bahasa. Sebuah perayaan yang mengusung keberagaman budaya dan kekayaan Bahasa di Tanah Air. Bulan Bahasa tahun ajaran 2014/2015 jatuh pada hari Selasa, 11 November lalu. Perayaan ini berlokasi di area Senior High School dan ditutup dengan acara puncak di Sport Hall. Perayaan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 15.30. Bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah Mrs. Anitya Wahdini, S.Sos. Bulan Bahasa 2014 kali ini menjadi cukup istimewa karena diawali dengan serah terima pengurus OSIS, dari OSIS angkatan 8 yang diketuai Jauharah Dzakiyyah (XII Science3) ke OSIS angkatan 9 yang dikomandoi Hinggista Carolin (XI Science3). Jadi, Bulan Bahasa sekaligus menjadi debut OSIS angkatan 9 dalam unjuk gig...

Ode to Dolores: Thanks for Making My Childhood Rocks!

  Unhappiness, where’s when I was young and we didn’t give a damn ‘Cause we were raised, to see life as fun and take it if we can Dolores O'Riordan (Dok. Billboard) Lantunan lagu Ode to My Family yang berlirik syahdu dan dentingan gitar melodi yang mengiringinya tak pernah begitu menusuk hingga hari ini, dua puluh empat tahun setelah lagu tersebut pertama kali ditulis oleh sang empunya, Dolores O’Riordan. Mungkin karena liriknya yang memang bertutur soal keluarga sang penyanyi, tersirat bagaimana ia merefleksikan masa kecilnya setelah merengkuh sukses. Mungkin juga karena saya memutar lagu ini setelah lama tak mendengar suara khasnya, tepat di hari kematiannya. Kematian seorang musisi atau public figure tak pernah begitu mempengaruhi saya sebelumnya. Biasanya saya hanya terkejut dan kemudian berita duka itu berlalu begitu saja. Tidak ketika dunia dihebohkan dengan kematian Chester Bennington, vokalis Linkin Park. Tidak pula ketika Amy Winehouse, Michael Jackson, at...