Skip to main content

Mengibarkan Bendera Kedisiplinan di Sekolah Menengah

Ada banyak cara untuk mendorong siswa menegakkan disiplin di bangku sekolah menengah tanpa merasa terbebani. SMA Global Prestasi punya satu cara jitu menyiasatinya.



Bagi insan yang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu paham jika saya mengatakan bahwa kata “disiplin” dan “SMA” terkadang tak seiring sejalan. Maklum, siswa yang berada di jenjang pendidikan ini tak bisa lagi dikatakan sebagai anak-anak, namun juga masih jauh dari masa dewasa. Meminjam konsep adolescence dalam jurnal Psychology Today, adolescence merupakan remaja yang berusia antara 13 hingga 19 tahun dan dapat dikatakan sebagai masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Usia tanggung, kalau orang awam bilang.

Di usia ini, tak sedikit problem psikologis menghantui. Psikolog G. Stanley Hall bahkan menyatakan bahwa adolescence alias remaja adalah masa yang penuh dengan badai dan tekanan jiwa. Pasalnya, perubahan fisik yang dialami remaja ternyata mempengaruhi sisi intelektualitas dan juga emosionalnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kesedihan dan kebimbangan dalam diri sendiri, dan tak jarang menimbulkan konflik dengan lingkungan sekitarnya. Tak heran jika para guru di SMA harus berjibaku setiap harinya dalam mendidik para remaja ini. Apalagi membimbing mereka menjadi disiplin dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Jika sekolah tak memiliki formula semi militer atau pesantren atau boarding school yang menegakkan disiplin 24 jam penuh, tentu aspek kedisiplinan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi para pendidik. Guru dituntut kreatif mengemas sistem pendidikan di sekolah konvensionalnya masing-masing agar para siswa tak semata cemerlang di bidang akademis, namun juga memiliki karakter yang baik. Salah satunya adalah karakter kedisiplinan.

Sadar sepenuhnya akan pentingnya disiplin sejak usia dini, Global Prestasi School yang terletak di Kalimalang, Bekasi, sejak tahun ajaran 2015/2016 mencanangkan Gerakan Disiplin Sekolah (GDS).

Sejatinya, program ini merupakan program bersama antara Research and Development dengan para guru Konseling di seluruh unit, SD, SMP, dan SMA. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kedisiplinan siswa dalam kesehariannya di sekolah, misalnya mengembalikan piring kotor ke tempatnya setelah makan di kantin, berseragam rapi, membuang sampah pada tempatnya, mengenakan atribut lengkap saat upacara bendera, dan sebagainya.

Setiap kelas akan menugaskan dua siswanya untuk piket menjaga hal-hal tersebut secara bergiliran setiap harinya. Mereka disebut “Anak GDS.”

Akan tetapi di bangku SMA, penerapan semacam ini menimbulkan isu tersendiri. Di masa yang penuh “badai dan tekanan jiwa” seperti konsep Stanley Hall tadi, rasanya sulit sekali meminta siswa usia SMA menjaga ketertiban semacam itu.

Meminta mereka mengembalikan piring kotor usai makan di kantin saja sulit, apalagi kemudian meminta mereka untuk menegur atau mengingatkan teman-temannya untuk melakukan hal serupa. Jawab mereka pasti, “Ah, Miss. Ngapain sih nyuruh-nyuruh kita begini?” dan 1001 alasan lainnya yang kebanyakan hanya masuk di logika mereka.

Menghadapi isu seperti ini, guru-guru SMA Global Prestasi pun tak kehabisan akal. Akhirnya terciptalah kemasan GDS a la SMA yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh unit SD dan SMP tadi. GDS di SMA dikemas ke dalam bentuk organisasi di mana para siswa bisa mengaktualisasikan segala ide, pikiran, dan tenaganya ke dalam karya. Melalui organisasi, siswa akan merasa diakui keberadaannya dan keanggotaan mereka sebagai Anak GDS tak sekedar ditunjuk pihak sekolah, namun mereka secara sadar dan bangga mencalonkan diri.

Organisasi yang dipilih para guru dalam mengemas GDS di SMA adalah Pramuka. Bersiap menghadapi Kurikulum 2013 (Kurtilas) yang akan segera diwajibkan bagi seluruh sekolah di Indonesia, Global Prestasi School menerapkan Pramuka hingga jenjang SMA semenjak tahun ajaran 2013/2014. Saat itu memang hanya bagi kelas X, namun setelah itu Pramuka terus diterapkan hingga kelas XI dan hingga tahun keempat ini. Sudah tiga kali Raimuna (perkemahan) dilakukan dan semuanya terus mengarah ke konsep Pramuka yang lebih mapan dan baik dari sebelumnya.

Di tataran Pramuka Penegak usia SMA, sewajarnya ada sekelompok siswa yang menjadi pengurus. Pembina Pramuka tak lagi turun tangan sepenuhnya dalam melakukan bimbingan, namun peran ini banyak diambil alih oleh para mentor sebaya yang telah menjadi Bantara, atau tingkatan pertama dalam Pramuka Penegak. Mereka dinamakan Pengurus Ambalan.

Untuk menjadi Pengurus Ambalan, siswa harus melalui proses seleksi, misalnya telah mengikuti Raimuna tahun pertama, yang artinya para pengurus ini dipilih dari kelas XI. Seleksi selanjutnya adalah mendaftarkan diri kepada para Pembina Pramuka dan melengkapi pengisian Syarat Kecakapan Umum (SKU).




Setelah terpilih siswa-siswa yang memenuhi syarat, mereka masih harus menghadapi persidangan sebelum akhirnya dilantik menjadi Bantara dan Pengurus Ambalan. Siswa-siswa pilihan inilah yang kemudian menjadi para penegak kedisiplinan di sekolah, Anak GDS.

Mereka berhak menyandang tanda Bantara di seragam Pramuka mereka dan tentu saja memperoleh hand band yang merupakan kode kehormatan Anak GDS. Siapa pun tentu akan merasa bangga mengenakan atribut semacam itu di seragam Pramuka mereka. Apalagi mengucap ikrar dan dilantik di hadapan seisi sekolah, tepat pada upacara memperingati Hari Pramuka.

SMA Global Prestasi memulai konsep ini semenjak kali pertama GDS dicanangkan oleh sekolah. Sebanyak 21 siswa kelas XI dari angkatan ke-10 yang telah menjadi Bantara terpilih menjadi pengurus Ambalan dan selanjutnya menyandang hand band GDS. Dipimpin Pradana Putri, Lady Catherina, dan Pradana Putra, Pramudhy Michael, mereka merintis konsep GDS sembari menerapkan nilai-nilai kepramukaan dalam setiap tugas dan tanggung jawabnya. Mereka saya beri nama, Pasukan Perintis.

Dalam agenda Pramuka, Pasukan Perintis banyak terlibat dalam kegiatan Blok Pramuka (orientasi materi kepramukaan) dan Raimuna di tahun ajaran 2015/2016 lalu. Mereka mendampingi para Pembina dan menjadi among bagi para peserta Raimuna yang terdiri dari dua angkatan sekaligus, yakni angkatan mereka sendiri dan adik kelas, angkatan ke-11. Dari dua kegiatan besar ini, Pasukan Perintis banyak memperlihatkan kemampuan mereka dari segi kreativitas dan jiwa kepemimpinan.

Bisa dikatakan, meski yang namanya perintis itu harus menghadapi situasi yang belum pasti dan seringkali harus diuji dalam berbagai kondisi tanpa pernah ada panutan untuk ditiru, namun apa yang mereka capai bisa dikatakan jauh di atas kata membanggakan. Mereka mampu merintis sebuah organisasi yang diharapkan akan berkibar selamanya di almamater mereka ini.

Sementara dalam agenda rutin kedisplinan, Pasukan Perintis mengadopsi konsep GDS yang pertama kali dicanangkan sekolah dan menjadikannya lebih sesuai untuk usia SMA. Mereka mendampingi Student Affair (wakil kepala sekolah bidang kesiswaan) dalam menjaga ketertiban upacara bendera, mendampingi guru olah raga memimpin senam pagi setiap hari Kamis, memproses siswa yang terlambat datang ke sekolah di gerbang setiap pagi (kecuali saat ada weekly test), piket di kantin saat jam istirahat 1 dan 2, serta mendampingi guru yang bertugas morning greeting setiap paginya. Tentu saja setiap kali bertugas, hand band kebanggaan selalu tersemat di lengan mereka.

Program kerja seperti itu diharapkan dapat menimbulkan prestise dan kebanggaan dalam diri setiap anggota Pengurus Ambalan dalam melaksanakan kewajiban mereka sebagai Anak GDS. Terbukti selama satu tahun masa kepengurusan, Pasukan Perintis mampu melaksanakan seluruh kegiatan itu dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Efeknya? Semangat kedisiplinan pun menular ke siswa-siswa lainnya yang bukan Anak GDS. Mereka malu untuk tidak menjaga kebersihan di lingkungan sekolah, membudayakan seragam rapi, dan lebih toleransi terhadap sesama. Citra SMA Global Prestasi pun menjadi lebih baik dengan siswa-siswa yang berseragam rapi, taat aturan, bertanggung jawab, serta kreatif.

Bahkan, kinerja Pasukan Perintis ternyata mampu menginspirasi adik-adik kelasnya, sehingga tak sedikit siswa angkatan ke-11 yang kemudian mendaftarkan diri menjadi penerus Pengurus Ambalan alias Anak GDS.

Tak terasa satu tahun sudah Pasukan Perintis bertugas. Di Hari Pramuka tahun 2016 kini, mereka menyerahkan tonggak tanggung jawab mereka kepada para penerus, 27 anggota Pengurus Ambalan terpilih dari kelas XI angkatan ke-11. Anak-anak GDS teranyar yang baru saja kami lantik sebagai Bantara akhir Juli lalu.

Mereka adalah kebanggaan SMA Global Prestasi terbaru, Agatra Prajatna, dipimpin oleh Pradana Putra, Rifqi Hermawan, dan Pradana Putri, Dessyani Salim. Nama Agatra Prajatna yang merupakan nama kepengurusan mereka diambil dari Bahasa Sansekerta dan memiliki arti pemimpin yang gigih usahanya. Kami mencoba menjadikan hal-hal semacam ini sebagai tradisi yang membedakan kepramukaan sekaligus penegakan kedisiplinan di Global Prestasi School.

Memang, jalur yang harus dilalui oleh kami, para guru yang juga Pembina Pramuka di SMA Global Prestasi, tak mudah. Kami senantiasa meracik formula yang tepat agar karakter kedisiplinan dapat terwujud dalam diri anak-anak didik kami. Bagaimana menumbuhkan kedisiplinan dalam jiwa setiap siswa tanpa harus terasa kaku, apalagi membebani. Maka lahirlah konsep GDS yang melebur bersama Pramuka ini.

Akan tetapi melihat kegigihan yang ditorehkan oleh Pasukan Perintis pada mulanya, dan api semangat yang terus dikobarkan oleh Agatra Prajatna, rasanya kata pantang menyerah tak boleh ada dalam kamus kami. Kedisiplinan memang tak mungkin lahir secara instan pada usia yang penuh “badai dan tekanan jiwa” ini, namun karakter tersebut dapat dipupuk perlahan-lahan dalam kegiatan keorganisasian yang lekat dengan kehidupan sehari-hari para siswa. Itu yang saya percaya.

Terima kasih telah membanggakan almamater, Pasukan Perintis. Dan selamat bertugas, Agatra Prajatna. Kibarkan terus bendera kedisiplinan di sekolahmu hingga sepanjang masa. Selamat Hari Pramuka Indonesia, Salam Pramuka!






Anitya Wahdini
Lulusan Antropologi, Universitas Indonesia.
Mengajar Sosiologi dan Pendidikan Kewarganegaraan di SMA Global Prestasi.
Membina Pasukan Perintis dan Agatra Prajatna.

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha