Skip to main content

Never Say Good Bye, Demits!

Bagaimana menceritakan mereka semua dalam satu tulisan? Bahkan berpuluh-puluh tulisan pun rasanya tidak akan cukup. Terlalu banyak rasa dengan mereka. Terlalu banyak kisah. Terlalu banyak emosi.

Kami melewati semuanya bersama-sama. Segala peristiwa menjengkelkan yang kini menyisakan tawa bagi mereka, namun tetap getir buat saya. Tidak habis pikir betapa semua peristiwa itu bagi mereka nampak bagaikan kemenangan.

Mulai dari yang biasa dilakukan juga oleh kelas lain, seperti cabut pelajaran, bertengkar dengan guru, nyaris baku hantam dengan sesama teman, main kartu di jam pelajaran, nilai raport kebakaran yang mengancam tidak naik kelas. Ah, sudah biasa! Hingga hal-hal ajaib yang membuat saya pusing tujuh keliling. Peristiwa pembobolan lemari ping-pong di Yayasan, e-mail ancaman buat guru, melecehkan kode peluit pramuka yang berujung tangisan dan teriakan akibat uji nyali, atau yang paling terbaru, melayangnya gelas kaca dari lantai 3 yang membuat marah para penghuni lantai 1.

Bayangkan, berapa kali sudah saya harus bolak-balik dipanggil Kesiswaan akibat ulah mereka?! Terkadang saya memang hanya ikut mendampingi mereka saat dimarahi Mam Atik (dan ikut memarahi juga mumpung ada kesempatan, hehehe...). Namun tidak jarang, saya sendiri yang dimarahi saat kesabaran Mam Atik sudah di ujung tanduk. Ya sudahlah, apa boleh buat. Saya ikhlas dimarahi gara-gara ulah anak-anak kesayangan saya ini.

Menyayangi  mereka awalnya memang tidak mudah. Saya tadinya berpikir akan menjadi homeroom yang biasa-biasa saja, yang tidak akan menyentuh setiap anaknya secara personal. Tak ada semangat saat itu. Absen selama dua tahun menjadi homeroom setelah segala kegilaan bersama Kiddos dan petualangan penuh rasa bersama Chibis, rasanya sulit untuk memulai kembali. Bahkan nama untuk mereka pun saya tidak punya ide. Tak secepat mengidentikkan mereka dengan panggilan tertentu dan tercipta chemistry hingga bisa melebur rasa dalam sekejap. Butuh intensitas yang kuat dan peristiwa tak menyenangkan dahulu saat Live In, baru saya mulai belajar menyayangi 19 anak ini.

Soal nama? Ah, kelakuan mereka yang ajaib dan iseng ini membuat kata “demit” melintas di kepala saya. Bukan setan menyeramkan seperti di film-film Susanna. Bukan pula setengah manusia keren seperti di serial Half Worlds. Demit dalam imaji saya lebih mirip evil minion, saat makhluk-makhluk kuning lucu itu berubah menjadi ungu. Alhasil, jadilah mereka semua Demits. Makhluk-makhluk “menyebalkan” yang kini duduk di kelas XI Business1. Makhluk-makhluk “menyebalkan” milik saya.

Begitulah, butuh waktu hampir satu semester untuk membuat mereka mengisi ruang di hati saya layaknya Kiddos dan Chibis. Dan kini tidak terasa, mereka semua akan segera berlalu. Pergi meninggalkan saya sendirian di kelas XI Business1, karena mereka semua akan beranjak ke kelas XII. Hanya dalam hitungan hari.

Sebelum mereka pergi, saya hanya ingin berucap untuk terakhir kali. Mumpung saya masih memiliki mereka. Mumpung mereka masih punya kewajiban untuk mendengarkan dan mematuhi saya. Dengarkanlah kebawelan saya yang terakhir (cari nama kalian masing-masing ya!):

RONA, mungkin saya tidak memiliki terlalu banyak cerita denganmu. Mungkin kamu bisa memaklumi jika seluruh tenaga saya nyaris habis untuk menangani teman-teman sekelasmu. Sementara kamu termasuk yang mandiri dan tak pernah menyulitkan saya. Hal yang saya perhatikan darimu adalah pencapaian akademis yang meningkat pesat di kelas XI ini. Kamu juga contoh yang bagus bagaimana hobi (alias kegilaan fanatik) terhadap K-Pop bisa dikembangkan menjadi potensi di bidang Bahasa Korea. Tetap mencintai Korea dan negerimu sendiri. Semoga bisa kuliah di Korea dan pulang membawa kemajuan buat tanah kelahiranmu.

INAYAH, terlalu banyak rasanya saya mengandalkanmu. Saya yang biasa menangani anak-anak yang tidak kunjung mandiri di usia remaja ini, terkadang harus mengakui tak akan sanggup menghadapi segala permasalahan tanpa kamu. “Inayah, tolong bilangin teman-teman ya...”, “Inayah, besok ada lomba buat kelas. Tolong atur, pokoknya saya terima beres ya!”, “Inayah, tolong semangatin Sendy buat terus semangatin Axel belajar ya!”. Dan 1001 kata  “tolong” lainnya. Meski sambil cemberut, tapi pasti kamu lakukan juga semua permintaan saya. Ah, Nay... What should I do without you? Kurangi cemberut dan cerobohnya ya. Jangan galau kalau rankingnya dibalap Jasir. You can achieve better!

ADHISA, saya pernah merasa bahwa kamu akan sulit connect dengan saya di awal kelas XI ini. Kamu mungkin terbiasa dengan homeroommu saat kelas X, Pak Suryono. Memang saya akui aura kesabaran dan ketidakbawelan Pak Suryono sama sekali tidak saya miliki. Mungkin aneh juga kalau kamu terbiasa dengan sosok bapak yang kalem tiba-tiba harus berhadapan dengan emak bawel macam saya. Namun seiring berjalannya waktu, kamu bisa juga terbuka dengan saya. Saya jadi mengenalmu, melihat apa yang tak terlihat di sekolah. Rupanya kamu senang bersosialisasi dan berorganisasi. Kamu juga mampu mengatur jadwal kegiatan yang padat dan belajar sehingga prestasimu tak pernah terpuruk. Hanya saja, kurangi interaksi yang tidak perlu dengan lelaki-lelaki kelas XII itu ya, hehehe... Nambah teman saja di sekolah, jangan urusi yang tidak penting seperti itu.

DELA, saya merasa interaksi kita seperti saklar lampu, bisa ON dan OFF. Jika saklar dinyalakan (ON), maka kamu akan menumpahkan segala sesuatunya ke saya. Mulai hal konyol seperti lelucon-lelucon di kelas, hingga hal besar soal dirimu. Banyak hari di mana kita saling bercerita dan tertawa bersama. Beberapa hari juga kita lalui dengan emosi yang campur aduk. Namun saya selalu merasa aman jika saklar itu menyala. Saya menjadi tahu apa yang ada dalam benakmu dan pikiranmu. Lalu saya bisa berusaha memperbaikinya. Jika saklar itu mati (OFF), maka saya tak tahu apa yang sebenarnya tengah kamu rasakan. Ingat selalu, di sekolah ada saya yang siap membantumu. Dan di rumah, ada Mami yang akan selalu mendekap hari-harimu. Saya tahu persis betapa kamu menyayanginya. Beliau pun seperti itu. Ceria selalu, Dela! Kamu anak yang peka dan mampu menilai apa yang sedang terjadi di sekelilingmu. Katamu, seperti Sherlock Holmes, bukan?

AMEL, di mata saya, kamu memiliki pesona yang unik. Kamu sebenarnya mampu melakukan banyak hal, namun kamu tak memberikan ruang bagi dirimu sendiri. Maka jangan heran ketika banyak yang terpukau dengan suara lembutmu saat menyanyikan Love Yourself-nya Justin Bieber pada pemilihan Global Queen lalu. Amel yang pendiam, selalu mojok di library, penyendiri, berpikiran beda dengan teman-temannya, terkadang merasa sedang berada di sekolah atau mungkin negara yang salah, ternyata memiliki talenta yang membuat orang-orang mengenalmu. Kamu hanya perlu membiarkan dirimu melepas semua beban dan mulai lebih berkespresi. Jangan bersembunyi di balik tubuhmu sendiri.

SENDY, really what can I say? Gadis manis tapi judes ini benar-benar keras kepala susah dibilangin, tapi sering menyesali apa yang tak bisa dicapainya jika tidak mendengarkan saya. Soal apa pun, ranking kelas, tugas-tugas GDS, Pramuka, semuanya! Kalimat khasnya, “Ain’t got no time for that.” Toh pada akhirnya jika berhasil, kamu sendiri yang akan senang dan bangga luar biasa. Seperti saat kamu berhasil membuat Axel semangat belajar... bangga, kan? Itu adalah keberhasilan yang patut kamu rayakan, karena usahamu yang tidak mudah. Di balik sifat kerasmu, saya juga menyadari sisi lembutmu. Kamu yang pertama kali membuat saya mau mengenal Farel, kamu juga termasuk orang yang membuat saya mau mengakui keberadaan Farel dan abang adiknya. Tanpamu, mungkin kini mereka hanyalah debu-debu yang beterbangan di mata saya. Hahahaha, lebay! Tapi bener sih, mereka nampaknya berhutang budi padamu. Ingat selalu, Sendy. Memiliki sifat keras memang harus agar orang lain tidak menyepelekan. Namun perempuan harus tetap berhati lembut. Mengalah sesekali tidak apa-apa, karena itu akan mampu membawamu pada kemenangan yang membahagiakan pada akhirnya.

RICA, kamu tahu istilah quirky? Nah, bagi saya kamu adalah gadis quirky dari XI Business1. Di balik sosokmu yang serba canggung, gagap, dan cengeng luar biasa, somehow kamu itu menarik. Makanya, saya agak sedih saat melihatmu give up on dancing. Padahal menari bisa membuka tabir yang menyelubungimu selama ini. Dan menari bisa melepaskan ekspresi dan emosimu. Jangan hanya bersembunyi di balik sweater longgar dan headset. Lihat sekeliling, banyak yang bisa kamu raih. Belajar mengendalikan emosi. Perempuan harus kuat, jangan jadi anak cengeng. Menangislah sesekali untuk melegakan perasaan, tapi jangan terus-terusan ya? Semua kesedihan yang kamu alami di kelas XI ini merupakan pembelajaran yang akan menjadikanmu kuat.

CANDY, the last girl who entered my class, yet the first one who drove me crazy. Careless benar anak satu ini sama kehidupan sekolahnya. Di semester 1 masih manja, maunya pilih-pilih guru dan membiarkan tugas-tugasnya terbengkalai. Mesti saya marahi dulu ya baru sadar kalau kamu nyaris mengalahkan “standar kehinaan akademis” di kelas XI Business1? Dan kamu sepertinya paham betul kalau marahnya saya itu bukan marah yang tegas dan galak, tapi super cerewet dan ceramah panjang lebar. Jadi sepertinya kamu memilih untuk nurut ya, daripada dibawelin? Hihihihi... Sampai akhirnya mau berdamai dengan Mrs Asih dan Mr Ivan. Syukurlah semester 2 ini perilakumu sedikit membaik, meski sekali dua kali masih membuat saya naik pitam. Kelas XII nanti harus lebih mandiri ya? Jangan sampai saya dengar guru-guru mengeluh tentangmu lagi, lho!

JASIR, tidak ada lelaki manapun yang mampu mengalahkan anak saya satu ini, my true hero. Jarang sekali saya menemukan anak laki-laki sepertimu. Serba teratur, rajin, peduli pada akademis, masih menyempatkan main futsal, bisa main musik, sopan luar biasa, rajin sholat. Ah, langka! Tidak heran banyak fansnya ya, sampai buka cabang di alumni dan SMP. Biasanya ya, lelaki macam kamu itu sudah memanfaatkan popularitasnya dengan dikelilingi banyak perempuan dan bertingkah layaknya jagoan. Tapi ini malah kontra sekali. Jauh dari semua bayangan itu. Stay humble ya, tapi lebih eksis juga tidak ada salahnya. Saya akui memang terlalu banyak mengandalkanmu di kelas. Jadi ketua kelas selama setahun penuh, ngurusin LJE, jadi Global King, belum lagi jadi pembimbing buat teman-temannya yang sesat arah dalam akademis. Dan semua itu kamu lakukan dengan gaya khasmu yang stay cool. Seolah tanpa beban dan tak pernah keberatan dengan segala permintaan saya. It seems like I’m truly lost and nothing without you handling them all this whole year. Thank you so much, Jasir!

PUJI, ada banyak hal yang membuat saya penasaran dengan kamu. Mengapa nyaris semua orang mengatakan kepada saya kalau kamu banyak berubah di kelas XI ini? Sayangnya, perubahan itu bukan dalam  artian positif, karena menurut mereka, sekarang kamu lebih banyak tertidur di kelas, lebih lalai dalam mengerjakan tugas, lebih tidak peduli pada nilai, dan lebih berani melawan. Benarkah? Sedihnya, saya merasa menjadi bagian dari perubahanmu ini. Apakah karena saya kurang keras dalam menghadapimu? Menangani kamu memang tidak mudah, Ji. Sifatmu keras, kamu perlu akui itu. Kamu memang selama ini mau mendengarkan saya dan cukup patuh. Setelah insiden pembobolan lemari ping-pong itu memang ulahmu mereda, namun kamu masih sesekali melawan guru dan berkali-kali abai pada pelajaran. Saya bersyukur orang tuamu dan pacarmu kooperatif dengan saya, sehingga akhir semester ini kamu bisa perlahan-lahan memperbaiki diri. Saya juga bangga karena kamu mau memperbaiki diri. Kelas XII nanti harus lebih semangat ya!

AXEL, to tell you the truth, ketika kamu masih di kelas X Science, saya gregetan banget lihat kamu. Pecicilan, tengil, banyak gaya, pokoknya sebel banget lihat kamu. Apalagi ketika Life Skill, selalu pakai kaca mata hitam ke mana-mana (mau gaya banget, Mas?) dan pernah keluar kamar bermodalkan handuk doang. Pokoknya for no reason at all sebenarnya ini, saya sebel banget! Tapi kata orang kalau tak kenal, maka tak sayang. Kalau dulu gregetan, sekarang... makin gregetan! “Axel!!!”, “Axel, udah dong jangan ganggu Daniel!”, “Axel, jangan naikin kotak bekal Adhisa ke tiang bendera!”, “Axelllllllllll!!!!!!”. Hampir setiap hari ya, Cel. Kamu tidak bosan saya teriakin terus? Lama-lama kita jadi seperti tokoh Dave dan Alvin dalam film Alvin and the Chipmunks. Dave teriak-teriak terus kalau Alvin sudah bertingkah. Persis kamu! Tapi saya tidak pernah menyerah, Cel. Saya lelah, tapi tidak berhenti. Saya masih konsisten dengan kata-kata saya, kamu itu cerdas dan banyak potensi. Saya tidak mau semua itu kamu sia-siakan hanya dengan keisengan yang tidak berkesudahan. Saya mau Axel dikenal sebagai pemimpin di angkatannya. Makanya saya selalu nyeret-nyeret kamu ikut GDS dan Pramuka. Salurkan aktifmu yang berlebih ke situ. Mau masuk FBI, kan? Latihan jadi pemimpin mulai sekarang. Saya doain keterima FBI dan tes pertamanya adalah nyanyi lagu Bubuy Bulan. Aamiin!!!

YUDIS, manusia 1001 alasan. Kadang berbicara dengan kamu itu seperti dari GPS mau ke McDonald’s Bintara. Harusnya kan cuma tinggal belok kanan dari GPS, lalu putar balik sedikit di kolong tol Bintara. Nah, bicara sama kamu itu seperti harus belok kiri dulu, mutar lewat Galaxy, tembus Cikunir, ke Jatibening, Caman, baru belok kanan ke arah McDonald’s. Sejauh itu berputarnya. Paham, kan? Hehehe... Kamu harus tahu, sama saya tidak perlu pakai alasan ini itu. Straight to the point. Kalau mau A, ya A. Kalau mau B, ya B. Biasanya kalau sudah terlalu banyak alasan, saya diamkan atau tegaskan ke kamu. Kamu ingat betapa saya tidak mau tahu soal track record ekskulmu yang sering bolos ketika kelas X? Ingat pula alasan-alasanmu untuk menghindari Pramuka dan akhirnya tidak ikut camping ketika kelas X? Di kelas XI ini, semua itu tidak saya toleransi sama sekali. Saya hanya bilang ikut atau saya tidak peduli sama sekali. Dan hey, lihat hasilnya! Ekskul dan Pramuka bukan lagi masalah. Keep up the good work ya di kelas XII nanti. Kembangin bakat desainnya dan stop kerjain tugas untuk teman-temannya!

AXELLINO, minion yang satu ini sepertinya punya bakat bawel dan keras kepala. Semua maunya diperdebatkan, terkadang sungguh menyebalkan dan membuat telinga saya sakit. Hahaha... bercanda! Yah, yang jelas kebawelanmu itu sudah terkenal sampai ke kepala sekolah dan kesiswaan loh ya. Jadi bukan saya saja yang berpendapat seperti itu. Padahal kamu kelihatannya selalu diam dan tenang, tapi ternyata bawel, keras kepala, dan iseng luar biasa. Masih ingatkah kamu saat menyembunyikan sepatu Daniel ketika kalian masih kelas X? Nah, sepatu itu baru saja ditemukan di kelas XI ini. Luar biasa, bisa hilang satu tahun ajaran penuh! Selain sepatu, banyak sekali yang sering kamu sembunyikan. Kotak bekal, dompet, bahkan hp milikmu sendiri juga kamu sembunyikan ya supaya lolos dari box hp? Hmmm... ketahuan. Kelas XII nanti, kurangi isengnya ya. Hati-hati sebelum menjahili teman. Ingat kasus e-mail yang menyebabkanmu diskors? Saya yakin itu hanya berawal dari keisengan, namun pada akhirnya mencipta drama di kelas. Untung homeroomnya saya ya, jadi semua baik-baik saja pada akhirnya. Hihihi...

ICHSAN FARREL, kata teman-teman, kamu itu talentless, alias tidak punya bakat. Bener ga sih? Seringkali saya marahi teman-temanmu itu dan bilang, tidak mungkin seseorang itu tidak memiliki bakat. Pastilah ada sesuatu yang bisa dibanggakan. Lalu mereka menantang saya, saya disuruh menyebutkan satu saja bakatmu. Waktu itu yang terpikirkan oleh saya, “Lihat kan dia selalu berpenampilan rapi dari ujung rambut ke ujung kaki? Mungkin suatu hari nanti dia bisa jadi stylist atau hairstylist.” Mereka menertawakan ide saya itu. Terbahak-bahak. Makin lama saya menyadari mengapa teman-temanmu bertingkah seperti itu. Rupanya kamu malas luar biasa. Malas bergerak, malas berusaha, malas belajar, malas mengerjakan tugas. Benar-benar harus dicerewetin dulu dan diseret, baru mau bergerak. Kadang saya heran, mengapa kamu bisa memilih menjadi malas dan lambat dalam mengerjakan segala sesuatunya? Bahkan rasanya, saya yang sudah ibu-ibu ini saja lebih gesit daripada kamu. Padahal, kamu tuh masih punya kemampuan berpikir, lho. Sayang sekali jika hanya digunakan saat kepepet di detik-detik terakhir. Ah, pokoknya di kelas XII kamu harus berubah dari talentless menjadi multitalent. Jadi hairstylist yang terkenal di seluruh dunia juga tidak apa-apa deh!

FALDI, ada temanmu yang bilang kalau sebenarnya kemampuan akademismu itu di atas rata-rata. Nilai 8 atau 9 sebenarnya bukan masalah buatmu. Lalu kemampuan itu masih diimbangi dengan teknikmu sebagai goal keeper yang kata teman-teman satu tim futsalmu, bagus. Saya pernah nonton kamu tanding dua kali, sih. Meski saya tidak terlalu paham soal futsal, tapi sepertinya teman-temanmu itu benar. Kamu beberapa kali melakukan penyelamatan gawang yang layak dipuji. Tapi Faldi yang saya kenal ketika pertama kali masuk di XI Business1, jauh dari itu semua. Faldi yang pertama kali saya kenal itu tertutup, cenderung pemarah, tidak betah di kelas, dan mau menyentuh pelajaran pun tidak. Akhirnya, saya tak pernah melihat angka 8 apalagi 9 di nilaimu. Sepertinya kelas XI adalah masa yang cukup sulit bagimu. Beruntung setelah peristiwa e-mail ke guru yang menghebohkan seisi kelas itu, kamu perlahan-lahan menjadi terbuka. Memang terkadang perlu kejadian besar dahulu untuk mengubah seseorang. Setidaknya setelah itu kamu jadi lebih terbuka ke saya, sehingga saya bisa lebih leluasa dalam mensupport sekolahmu. Pesan saya, rangkullah selalu teman-teman dekatmu, maafkanlah kesalahan orang meski itu sulit, dan jadilah lebih ceria. You can do it, Faldi!

IRSYA, saya sering tertawa melihat perilakumu. Sebenarnya kamu sering canggung, namun banyak hal tentangmu yang membuat saya (dan Pak Suryono juga) tertawa jika membicarakanmu. Pasalnya, kamu itu seringkali punya pemikiran sendiri yang tak jelas asal muasalnya. Apalagi kalau sudah bersatu dengan Leo. Haduh, saya dan Pak Suryono pasti jengkel. Mau marah, tapi kami tahu tidak bisa karena kamu memang seperti itu adanya. Setia dengan pemikiranmu sendiri. Misalnya, ketika kamu dan Leo semestinya SP Math di hari Sabtu. Entah atas dasar pemikiran apa, kalian malah lebih memilih ke Perpustakaan Nasional demi mencari buku untuk karya ilmiah (yang pada akhirnya gagal juga kamu kumpulkan tepat waktu). Lalu saat kamu ulang tahun, kamu malah menangis ke Pak Suryono. Alhasil, dia kebingungan. Ketika saya tanya, jawabmu hanya karena nostalgia (?????). Bagaimana saya dan Pak Suryono tidak tersenyum geli menghadapimu? Lalu ketika saya memarahi lima anak tiap hari karena KTI mereka belum selesai, ternyata diam-diam kamu juga belum selesai. Saya baru tahu saat semuanya nyaris terlambat. Ah, kamu sudah besar! Ayo lebih peduli lagi ya dengan hal-hal kecil macam itu.

DANIEL, the one who seems to be calm and innocent, tapi saya ternyata ditipu habis-habisan. Awalnya, saya pikir kamu tuh hanya korban keisengan teman-temanmu. Entah sepatumu disembunyikanlah, bekalmu dihabiskanlah, di smack down, disiram air... saya pikir! Ternyata ketahuan belangnya. Tidak jarang justru kamulah yang memulai keisengan dan memancing teman-temanmu untuk membalas. Namun karena ekspresi wajahmu yang datar dan teman-temanmu yang terlalu semangat 45 dalam membalas perbuatanmu, biasanya merekalah yang saya marahi habis-habisan. Ah, pantas kamu senyum-senyum kalau saya sudah memarahi mereka. Rupanya kamu toh, biang keladinya?! Saya tertipu! Pernah juga kamu bersembunyi di kolong meja saat homeroom time dan teman-temanmu bilang kalau kamu bolos. Saya sampai panik mencari dan akhirnya menghubungi Mama. Saat itulah kamu muncul dari bawah meja sambil senyum-senyum tak berdosa. Aargh, sebal! Lalu kelakuanmu itu juga terkenal sepenjuru sekolahan, saat kamu membobol lemari ping-pong di Yayasan. Malu betul saya saat harus lihat aksimu di CCTV. Apa mungkin habis ini ATM di satpam yang mau kamu bobol? Hih, amit-amit! Meski begitu, kamu layak dipuji karena mau jadi pemimpin upacara saat kelas kita bertugas. Kamu juga memberikan kesempatan bagi saya, Farel, Jasir, dan Daffa keluar dari rutinitas sekolah sejenak saat membesukmu yang terkapar di rumah sakit akibat DBD. Ah, Daniel. Stay innocent saja deh, jangan nakal ya...

DAFFA, minionku yang tidak bisa diam, selalu komentar dan mondar-mandir keliling kelas. Rasanya ingin saya lem di kursi supaya dia bisa duduk diam saat saya sedang menjelaskan sesuatu di depan kelas. Satu-satunya yang bisa membuat dia duduk tenang rupanya hanya novel-novel berbahasa Inggris yang ia koleksi. Keren juga minat bacamu ya? Pantas saja kamu pintar Bahasa Inggris dan wawasannya cukup luas. Semua berkat buku! Makanya begitu saya sebut Farel dan disleksia itu ada kaitannya, cuma kamu ya yang menanggapi karena tahu artinya. Lalu sama juga ketika sekelas tidak tahu holocaust itu apa, hanya kamu yang paham penjelasan saya. Kamu juga ternyata jago nge-rap. Hihihi... Siapa sangka minion satu ini minat dan bakatnya banyak. Eh, tapi kamu juga sering komentar deh kalau saya isengin. Seperti waktu saya suruh sholat Jumat, tapi kamu sama Faldi malah megangin prasasti GPS di depan lobby. Mau nyembah prasasti apa gimana? “Hahaha.. apa deh, Miss. Lucu!” katamu. Why so serious, Daffa? Sholat sana!

FAREL, Ah, my one and only baby yang super manja, ngeselin, dan tukang bohong. Jangan protes! Iya, kamu tuh suka bohongin saya sampai sekarang, kan? Nah, ketahuan! Hmmm... mau cerita apa lagi soal kamu ya. Ga akan ada habisnya. Bahkan sudah terlalu banyak cerita yang saya tulis tentangmu. “Sumpah, Mak. Kali ini aku serius.”, “Ih, bener aku ga bohong. Tanya Sendy deh kalo ga percaya.”, “Sumpah demi Allah, Ma...”,” Ma, yang ini sama yang itu cantikan mana?”, “Aku udah makan sayur, nih di sotonya kan ada kentang. Sehat kan?”, “Taro sepatuku di Mama dulu deh, nanti pas futsal aku ambil.”, “Ngapain sih itu mata diwarnain biru-biru?”, “Ngapain sih, Mak. Pake high heels segala? Biar dikata apa?”, “Bawel banget sih jadi orang, Mak.”, “Iya, Mama tuh emang nyebelin. Standar ibu-ibu lah.”, “Mak, bilangin Papa dong aku minta uang buat bayar Fortals. Aku gamau pake uangku sendiri.” Bakalan kangen deh kayaknya nanti sama celotehan gak jelas kamu itu. Ah, tapi apa jadinya ya di kelas XI ini kalau homeroom kamu bukan saya? Bakal selesai ga tuh KTI? Bakal rajin sekolah ga? Bakal stay di sekolah dari pagi sampai sore ga demi remed dan SP? Dasar anak Mama!

Sukses semuanya di kelas XII ya, Demits kesayangan. So many laughs we shared, yet so many tears we cried. We may be appart after this, but never forget the memories we had. You will always be my Demits.

Sayang selalu,

Mama


Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha