Skip to main content

Democracy is... not in this election!

Tak perlu selamanya mengukur keberhasilan Pemilu suatu negara dalam belajar berdemokrasi. Melalui skala kecil pun, demokrasi bisa dipelajari. Karena saya adalah seorang guru yang menghabiskan lebih dari setengah hari saya di sekolah, maka proses pemilihan ketua OSIS mungkin adalah bentuk pemilu dan demokrasi yang terdekat dengan saya.

Kebetulan bulan Agustus ini, murid-murid saya, terutama mereka yang duduk di kelas 11, tengah disibukkan dengan bursa pencalonan ketua OSIS. Tak dapat dipungkiri, ketua OSIS adalah jabatan yang cukup prestisius di kalangan murid. Tak hanya ia akan menjadi murid nomor satu di sekolah, ia juga akan dinilai sebagai murid berprestasi jika OSIS yang dipimpinnya pun berprestasi.

Entah bagaimana alam sudah mengaturnya sedemikian rupa, masa pemilihan ketua OSIS ini bertepatan dengan materi Budaya Demokrasi yang saya ajarkan di kelas saya. Jadi sedikit banyak, anak-anak ingin mempraktikkan partisipasi politik dan pemilu melalui pemilihan ketua OSIS ini. Mereka cukup antusias.

Namun bukan demokrasi namanya jika bukan tanpa hambatan. Bahkan di sekolah yang semestinya tak sekompleks negara, hambatan pun masih saja ada. Anak-anak – dan saya pribadi – cukup kecewa dengan mekanisme pencalonan ketua OSIS yang tahun ini berjalan tidak transparan. Tiga calon ketua ditunjuk melalui proses yang tertutup, hanya oleh pembina osis dan student affair. Persyaratannya apa, saya maupun anak-anak tak ada yang tahu.

Jika dilihat, ketiga calon ini memang adalah sisiwi-siswi kompeten. Kebetulan ketiganya adalah perempuan. Tidak ada calon laki-laki tahun ini. Secara akademis, ketiganya tak diragukan lagi. Mereka adalah pemegang peringkat 5 besar di kelasnya masing-masing tahun lalu. Secara non-akademis, cukup lumayan, akan tetapi tak ada yang terlalu istimewa. 

Hal yang paling membuat kecewa adalah mekanisme perekrutan calon ketua OSIS yang sejak awal sudah membingungkan. Betapa tidak. Setiap wali kelas 11 diminta menunjuk 2 anak yang menurutnya terbaik di kelas masing-masing dan layak dicalonkan sebagai ketua OSIS. Cara perekrutan seperti ini saja sudah cukup bias dan cenderung subyektif. Meski kapabilitas tiap wali kelas tak diragukan, namun faktor like dan dislike masih mungkin terjadi melalui cara ini.

Selanjutnya, 10 calon ini (ada 5 paralel kelas 11) diminta mengisi form yang memuat prestasi mereka, motivasi, dan segala bentuk persyaratan serupa lainnya. Setelah itu, pembina OSIS dan student affair mungkin berembuk dan akhirnya memutuskan 3 calon terbaik versi mereka berdua. Ini juga cenderung subyektif karena sejak awal tak diumumkan apa saja kriteria pencalonan ketua OSIS. Akibatnya, timbul berbagai prasangka di benak anak-anak.

Beberapa anak merasa perlu mempertanyakan pencalonan ini. Mereka yang tak terpilih juga bertanya-tanya apa saja kekurangan mereka dibandingkan ketiga temannya yang terpilih. Padahal yang tak terpilih, dalam pandangan saya, beberapa di antaranya justru memiliki jiwa kepemimpinan, pengalaman organisasi, dan motivasi yang lebih kuat dibandingkan 3 calon yang terpilih ini. Tak semua dari 3 calon ini ternyata mau dipilih.

Beberapa anak sempat bertanya kepada saya mengenai mekanisme pencalonan yang tepat jika dikaitkan dengan budaya demokrasi. Tentu sebagai guru yang menerangkan materi ini, saya tak ingin menyalahi konsep, namun di sisi lain saya juga tak ingin menjatuhkan keputusan dua rekan saya, sang pembina OSIS dan student affair.

 Maka saya jawab, mekanisme yang tepat adalah dengan melakukan open tender. Mekanisme ini ditujukan bagi siapa pun yang memang mau menjadi ketua OSIS dan memiliki visi, misi, serta program kerja yang jelas. Nah, peran dari pembina OSIS dan student affair dalam open tender ini adalah menentukan persyaratan yang diumumkan secara terbuka. Jadi, siapa saya memang bisa mencalonkan diri, asalkan memenuhi syarat. Persyaratannya bisa apa saja, seperti batas nilai rapor minimal, prestasi akademis dan non-akademis, serta motivasi. 

Setelah ada beberapa calon yang masuk, pembina OSIS dan student affair melakukan seleksi berkas. Mana yang tak memenuhi syarat, langsung dieliminasi. Sementara, yang lolos seleksi berkas, bisa melaju ke proses seleksi selanjutnya. Inilah para calon ketua OSIS yang bisa bertanding di ajang pemilihan.

Selanjutnya barulah kita bicara soal kampanye lisan, kampanye tulisan, dan debat visi misi. Saat hari pemilihan tiba, maka saat itulah kita bisa tahu siapa yang menjadi ketua OSIS terpilih. Demokrasi sederhana di sekolah pun bisa terwujud.

Love, 
Miss Tya

Comments

  1. Mampir ya mba Tya :)

    Jadi inget dulu jaman jaman pemilihan OSIS pas SMA, lebih aneh lagi mekanismenya (menurut aku). Calonnya dari ketua kelas dan sekretarisnya dari masing masing kelas 11. Tanpa ada seleksi berkas kampanye dll dll. Jadi yang milih juga aku yakin masih ada faktor 'asal-asalan'

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha