Skip to main content

Sarjana Sosial Untuk Sosiologi

Ada hal yang mengganggu pikiran saya menjelang tahun ajaran baru 2012/2013 ini. Biar pun sudah saya coba terima dan tepis prasangka buruk jauh-jauh, tetap saja mengusik benak saya.

Mungkin bagi orang lain - apalagi yang sudah terlalu lama berkecimpung di dunia pendidikan - hal yang saya risaukan ini adalah hal biasa. Hanya masalah jam mengajar, pembagian guru, pengaturan jadwal, dan segala perintilan lainnya. Akan tetapi bagi saya, ini adalah sebuah hal yang ironis.

Akhir tahun ajaran lalu, wakil kepala sekolah bidang kurikulum mengumumkan jadwal mengajar untuk tahun ajaran depan, atau istilah kerennya saat ini adalah teacher load. Seperti biasa, pelajaran yang menjadi langganan tetap saya sejak dua tahun lalu adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Di sekolah nasional plus menjurus internasional, mereka menyebutnya Civics

Sungguh saya tak keberatan mengajar Civics. Meski benci politik, akan tetapi setidaknya saya pernah mempelajarinya di tahun pertama perkuliahan. Jadi bukan sesuatu yang sama sekali asing bagi saya. Bahkan saya mulai terbiasa dan senang mengajar pelajaran ini.

Civics adalah salah satu pelajaran asyik jika kita bisa kreatif mengajar dan banyak memasukkan fenomena realitas di masyarakat yang dekat dengan para murid. Mereka senang mendengar gurunya bertutur tentang kasus-kasus macam korupsi dan terorisme yang memang benar-benar marak dewasa ini. Dan bagi saya, ini adalah pelajaran tanpa beban karena tak masuk dalam Ujian Nasional.

Namun saya sempat terkejut tatkala tahun ini saya tak lagi diberikan jam mengajar Sosiologi. Padahal tahun ajaran lalu saya mengajar Sosiologi untuk kelas 10. Seluruhnya berjumlah 5 kelas dan masing-masing kelas mendapatkan 3 jam pelajaran per minggu.

Saat saya tanyakan, wakil kepala sekolah bidang kurikulum tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan kepada saya. Begitu pun kepala sekolah. Mereka berkilah bahwa saya adalah yang terbaik yang mereka punya untuk Civics, lalu menyusun teacher load itu tak mudah dan sudah dipertimbangkan. Entahlah, kalau saja mereka bilang saya tak menguasai materi atau ada guru baru lulusan Sosiologi yang akan mengajar tahun ini, saya masih bisa terima.

Permasalahannya, Sosiologi adalah dasar dari ilmu sosial, setidaknya untuk tingkat SMA. Jadi harus diajarkan oleh orang yang tepat, dalam artian guru yang memiliki latar belakang ilmu Sosiologi atau cabang ilmu sosial lainnya yang masih berada dalam jalur yang sama, seperti Antropologi, Kriminologi, Kesejahteraan Sosial, dan sebagainya. Titel para guru ini, jika bukan S.Pd (Sarjana Pendidikan), maka haruslah S.Sos (Sarjana Sosial).

Ilmu sosial itu bukan hanya sekedar hafalan dan bacaan seperti yang dianggap orang selama ini. Menurut saya yang masih awam dalam dunia pendidikan, dalam ilmu sosial ada teori dan pemahaman yang perlu disampaikan dengan tepat. Bahkan murid-murid SMA sejak dini sudah harus diperkenalkan siapa itu Auguste Comte dan mengapa ilmu Sosiologi bisa lahir. Anak-anak juga perlu tahu siapa itu Max Weber dan betapa pemikirannya tentang stratifikasi sosial di masyarakat itu begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari.

Dan sepertinya banyak sekolah yang tidak mempertimbangkan perlunya hal itu. Mungkin dikiranya semua guru dari latar belakang pendidikan apa pun bisa mengajar IPS. Tidak seperti guru IPA yang lebih terklasifikasi dengan baik. Jarang sekali lulusan Kimia mengajar Fisika, atau lulusan Matematika mengajar Kimia. Di sekolah tempat saya mengajar jelas tak ada.

Akan tetapi, berapa banyak yang kita tahu lulusan Ekonomi mengajar Sosiologi atau lulusan Kesejahteraan Sosial mengajar Ekonomi? Faktanya, dosen saya pernah bercerita ada lulusan Keolahragaan yang mengajar Sejarah. Beginilah kalau ilmu dalam IPS dianggap sekedar hafalan dan bacaan.

Maka, yang sempat membuat saya kecewa adalah saat di lingkungan tempat saya bekerja pun hal macam ini terjadi. Saya memang bukan lulusan Sosiologi, saya lulusan Antropologi. Akan tetapi, rasanya saat ini saya adalah pilihan terdekat mereka untuk mengajar Sosiologi karena kedua ilmu ini bernaung di fakultas yang sama, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (setidaknya di almamater saya, Universitas Indonesia). Titel saya pun S.Sos.

Jika boleh jujur, saya malah lebih cocok mengajar Sosiologi ketimbang Civics. Lebih cocok lagi jika ada jurusan Bahasa dan saya leluasa mengajar Antropologi.

Kedua ilmu ini – Sosiologi dan Antropologi – juga sama-sama mempelajari objek yang sama yakni masyarakat. Bedanya, Antropologi fokus pada kebudayaan, sementara Sosiologi fokus pada interaksi sosial. Untuk tingkat SMA, sepertinya perbedaan ini belumlah terlalu signifikan.

Lebih kecewa lagi adalah karena jatah mengajar Sosiologi di kelas 10 yang tadinya milik saya, diberikan kepada dua guru sekaligus, yang satu adalah lulusan Sejarah dan yang satu lagi adalah lulusan Geografi. Dua ilmu ini bahkan berada di cabang yang berbeda dengan Sosiologi. Sejarah adalah milik Fakultas Sastra, sementara Geografi berada di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (dan saya bingung mengapa Geografi adalah mata pelajaran IPS di SMA!).

Saya tak ragu dengan kemampuan dua guru tersebut, karena mereka adalah guru yang baik dengan jam terbang lebih tinggi dari pada saya. Namun jika dilihat dari segi keilmuan, bagi saya ini adalah suatu ironi. Saya yakin lulusan Sejarah akan lebih memukau bertutur soal sejarah kemerdekaan Indonesia dan lulusan Geografi akan lebih piawai mengajari anak-anak tentang fenomena gunung berapi, ketimbang mereka harus menjelaskan perbedaan asimilasi dengan akulturasi, atau perkembangan pluralisme menjadi multikulturalisme.

Semoga hal yang mengusik benak saya ini tak berlangsung lama. Jika semua guru mengajar sesuai dengan bidangnya, maka saya yakin kualitas manusia yang diajar tentu akan lebih baik. Proses belajar mengajar tak hanya asal lewat atau mengejar nilai. Proses belajar mengajar, sesuai dengan namanya, yang terpenting adalah prosesnya. Ilmu yang disampaikan dapat diterima oleh anak dan menjadi pembelajaran yang berarti.

Ah, seandainya. Atau mungkin saja saya yang berpikiran terlalu naif. Mereka yang telah lama bergelut di dunia pendidikan mungkin punya pemikiran sendiri. 

Love,
Miss Tya

Comments

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha