Skip to main content

Saya atau Mereka?

Kaos kaki mereka selalu saja menyalahi aturan sekolah. Berwarna hitam atau ditarik sependek mungkin hingga di bawah mata kaki. Belum lagi mereka masuk kelas tanpa mengenakan ikat pinggang, memakai seragam ber-badge SMP, dan baju dikeluarkan. Selalu begitu.

Sementara mereka yang lain, senang dengan rambut dan kuku yang dicat diwarna-warni. Padahal, dalam buku peraturan telah digoreskan bahwa semua itu adalah tabu. Dilarang. Belum lagi perseteruan antarmereka yang semakin hari membuat saya semakin sakit kepala dan ingin lari dari segala bentuk keberpihakan.

Saya tidak pernah tinggal diam. Mereka selalu saya tegur, terkadang saya sampaikan dengan baik-baik dan perasaan sayang. Terkadang saya marahi dan berikan sanksi.

Tetapi apakah itu ada pengaruhnya? Yah, mungkin saja ada, tetapi tidak banyak. Kebanyakan dari mereka hanya menuruti perkataan saya selama satu atau dua hari paling lama. Setelah itu, Blast! Melanggar lagi.

Di saat saya sedikit merasa muak dan jenuh, saya tak lagi menegur mereka. Biarkan saja mereka berbuat semaunya sejenak. Apakah kira-kira mereka akan menyadari kalau saya tak lagi menegur mereka itu berarti ada sesuatu yang salah?

Namun sebelum anak-anak itu menyadari sikap diam saya, masalah lain justru datang. Mereka malah ditegur oleh guru-guru lain. Dua orang dari mereka disita kaos kakinya, sementara satu orang dari mereka disuruh menghapus cat kukunya. Ajaib, mereka menuruti guru-guru itu dan tidak sedikit pun mengadukan hal itu kepada saya.

Tidak cukup hanya itu saja, saya harus tahu semua fakta ini dari dua guru yang menghukum mereka tadi. Tidak sekedar dibari tahu, tetapi diselipkan penekanan seolah saya tak becus mengurus kelas sendiri dan mereka lebih mampu. Anak-anak lebih menuruti mereka. Saya diam saja. Mungkin mereka memang lebih baik.

Ada kalanya saya sedih karena beberapa anak lebih patuh kepada guru lain. Ada kalanya juga saya cemburu jika mereka mengatakan lebih menyukai guru lain, atau selalu bercerita tentang kedekatannya dengan guru lain.

Salah satu dari mereka selalu menuturkan kisah seru tentang kelas guru lain. Di sana anak-anak belajar dengan riang dan akrab. Bahkan seorang anak kerap dibercandai hingga seisi kelas terbahak-bahak. Setidaknya itu perkataan dia. Dia juga senang membanggakan guru itu.

Satu yang lainnya banyak menghabiskan waktu di sekolah bersama guru lain pula. Berbagi cerita, berbagi angan. Bahkan keakraban itu terjalin hingga ke luar urusan sekolah. Mereka sepertinya punya hobi yang sama.

Salah satu yang lain lagi dengan lantang memuji seorang guru yang bergaya tak jauh berbeda dengan kebanyakan dari mereka. Muda. Berani. Semaunya. Betapa guru itu jago melakukan sesuatu yang membuat anak itu terkagum-kagum setengah mati.

Mungkin semua ini hanya perasaan saya yang berlebihan dan konyol. Namun terkadang perasaan semacam ini membuat saya merasa kurang dihargai. Apakah benar mereka lebih memilih guru-guru itu ketimbang saya?

Saya tidak ingin menjadi guru yang paling disukai di seluruh dunia, atau guru yang paling ditakuti sehingga semua patuh pada saya. Saya juga tak melarang mereka dekat dengan guru lain.

Saya hanya ingin jika mereka adalah anak-anak saya di tahun ini, maka sepenuhnya mereka menyadari posisi saya dan meresapinya. Saya semestinya jadi ibu dan teman bagi mereka, dibandingkan guru-guru yang lain.

Ah, mungkin juga ini yang namanya anak-anak. Mereka berjiwa bebas. Bebas menentukan pilihan. Semestinya saya tak usah memusingkan hal konyol semacam ini. Merasa tidak dihargai memang bukan sesuatu yang menyenangkan, tetapi bukan akhir dari segalanya.

Saya hanya perlu merelakan saja semuanya.

Comments

  1. Good Morning Beautiful Miss Tya!!!!
    Ternyata sgt sulit jd guru ya miss. Harus dpt digugu dan ditiru. Hrs bertanggung jwb mengurus siswa2 dg berbagai karakter...meninggalkan putra2 tercinta di rumah. Harus tetap semangat ya Miss.Maklumlah masa Remaja adalah masa pencarian dan pengembangan karakter/jati diri yg sgt ingin dihargai. Juga ingin mencari kenyamanan agar bebas berekspresi. Kelak mrk akan menemukan dan melakukan hal yg terbaik dari pengalaman2 ini.(Baru baca buku psikologi remaja miss...he..he).
    Wiss U All The Best Miss. Tetap semangat dan mencintai siswa-siswi yg kami(ortu)titip/percayakan pada Miss ya.Please....
    WUW U Miss TYA...
    (Bunda RJ)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Saat Malam Kian Merangkak Larut

Saat malam kian merangkak larut, adalah masa yang paling sulit. Saat semua orang telah terlelap dan suasana begitu hening. Beribu bayangan kembali datang tanpa bisa dilawan. Pasrah... Sepanjang pagi, aku bisa mengumpulkan semangat dan menjelang hari baru. Merencanakan setiap gerak-gerik yang akan aku lakukan hari itu. Penuh harapan. Sepanjang siang, aku masih punya tenaga. Mengurusi berbagai hal di sekelilingku. Bercengkerama dengan banyak orang yang menghampiriku. Aku bahkan masih memiliki tenaga untuk memalsukan senyuman. Sepanjang sore, aku beristirahat dari segala penat dan lelah. Menyibukkan diri dengan segala persiapan akan esok hari. Memastikan semangatku untuk hari berikut tak akan memudar. Namun saat malam, aku tak pernah bisa berdiri tegak. Aku kalah pada seribu bayangan yang masih menghantui. Aku tertekan rasa sepi dan kehilangan. Aku lelah... Jatuh dan tak punya tenaga untuk bangkit. Belum. Aku belum bisa. Masih butuh waktu untuk melalui semua ini. Untuk tetap ter

Why Do I Need to Wash My Hands?

What is the first thing that your mother taught you when you were little?  What did she say when you just enter the house, want to grab a bite to eat, after you play with your toys, or want to go to bed? “Did you wash your hands?” Probably you heard that a lot in your childhood, and maybe until now, in your adult age. At one point, you easily get bored with this same old question. And at another point, it seems that washing your hands is too “old school” and not an adult type of thing.  But wait, you can get bored, or fed up. But you must never ever hung up on this issue. Why?  Think about all of the things that you touched today – your smart phone, your note book, public transportation, and the toilet! Or maybe you just blew your nose in a tissue and then went outside to dig around the dirt. Or you just shook someone’s hand and without you noticed, that person got a flu.  And imagine – just imagine - after your hands touched many of the things above

Glowzy and Girl Power!

On 21 st April 1879, Raden Ajeng Kartini was born in Jepara, Central Java. She was the role model for women in our country because of her role in gender equality, women’s right, and education. Although she died in a very young age, 25 years old, her spirit lives on. She was then established as one of Indonesia’s national heroine and keep inspiring each and every woman in Indonesia. We celebrate her birthdate every year and call it as Kartini Day. On the exact same day, 139 years later, four girls from Global Prestasi Senior High School surely prove themselves to continue the spirit of Raden Ajeng Kartini. They are Dyah Laksmi Ayusya, Josephine Audrey, and Olivia Tsabitah from grade XI, also Putu Adrien Premadhitya from grade X. They may not be educators like who Kartini was, but they have proven that women in a very young age could achieve something great with their passion, team work, and perseverance. Yes, under the name of GLOWZY, the girls has once again proven tha