Skip to main content

My Kids Has Grown Up

Berbagai kejadian dalam kehidupan di sekolah sejauh ini membuat saya berpikir:

I’ve seen my kids grown up. They became mature in their way of thinking.
They became true to their friends. They know right and wrong. They became independent.
I am so proud, yet I feel a bit lonely noticing that they don’t need me as much as before.

Kata-kata ini memang ditujukan kepada semua mereka yang saya anggap anak-anak saya, yang merasa anak-anak saya, yang pernah menjadi anak-anak saya, dan yang akan ditakdirkan menjadi anak-anak saya. Semua, tanpa terkecuali.

Kata-kata ini terlintas begitu saja dalam benak saya setelah suatu sore, seorang anak datang kepada saya dan berkata, “Miss, saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya sudah tidak lagi memiliki teman di mana pun.”

Hubungan saya dengan anak ini sebenarnya tidaklah terlalu akrab. Dari seluruh murid yang saya miliki saat ini, anak tersebut tak pernah identik sebagai anak saya.

Tidak seperti Peter dan Willy yang hingga kini orang masih mengidentikkan mereka dengan saya. Yang kerap membuat anak-anak saya lainnya yang paling manis – Saskia, Andrea, Cathalin, Icha, Karin, Cindy, Jejes, dan Dena – cemburu berat dan bertekad menjauhi saya jika saya lebih memilih Peter dan Willy ketimbang mereka. Ah, kalian semua itu di hati saya sama, kok. Sama rata dan sama rasa.

Kembali ke anak yang tadi. Bagi seorang anak untuk datang ke saya yang bukan siapa-siapanya, hanya sebatas gurunya, tentulah perlu keberanian besar. Apalagi dengan masalah pelik yang tak sekejap mata dapat diatasi. Ia tak memiliki teman, katanya. Di tengah penglihatan saya yang selalu merasa anak itu bubbly, ceria, bahkan kerap annoying. Dengan teman-teman di sekelilingnya. Jika ia tak memililki teman, lalu siapa orang-orang yang berada di sekelilingnya selama ini?

Saya kemudian bertanya, siapa saja yang benar-benar kamu anggap sebagai teman? Siapa yang paling tulus terhadap kamu? Dan kamu pun tulus terhadap mereka. Dia menjawab hanya dua nama.

Saya kemudian berbicara banyak dengan dua anak itu. Dari mereka saya mendapati kenyataan yang membuat batin saya terluka. Mengenai bagaimana anak itu diperlakukan selama ini. Dipandang sebelah mata, bahkan terkadang dianggap benalu yang benar-benar mengganggu. Padahal anak itu hanya ingin mencari teman, tak ingin menyakiti siapa pun. Benar-benar hanya mereka berdua yang peduli terhadapnya. Tidak ada orang lain lagi selain mereka yang ada di sisi anak itu. Dan anak itu pun selalu ada bagi mereka, tulus.

Saya tidak dapat melakukan banyak untuk membantu anak tadi. Saya hanya bisa menyuruhnya bersabar dan kita akan mencari jalan keluar bersama-sama. Saya teringat penggalan lirik lagu Lost dari Michael Buble yang begitu haru.

Life can show no mercy
It can tear your soul apart
It can make you feel like you’ve gone crazy
But you’re not
‘Cause you are not alone
And I am there with you
And we’ll get lost together
‘Til the light comes pouring through
‘Cause when you feel like you’re done
And the darkness has won
Baby, you’re not lost

Belajar dari perjumpaan saya dengan anak itu, saya merefleksikan banyak hal dalam kehidupan saya. Pertama, apa yang saya lihat belum tentu selamanya seperti apa yang terlihat. Di tengah keramaian, seseorang rupanya masih bisa merasa kesepian dan tidak diterima. Seperti anak tadi. Dia sangat kesepian.

Saya pernah mendapatinya membawa rokok ke sekolah. Semestinya saat itu juga saya sita dan laporkan ke student affair. Akan tetapi saya sedih mendapati kenyataan mengapa ia membawa rokok itu di dalam tasnya. Untuk mencari eksistensi diri. Supaya teman-temannya – atau yang saya pikir teman-temannya – mau berbicara dengannya dan menganggapnya keren.

Pada akhirnya saya memilih untuk melanggar aturan. Saya hanya menasihatinya dan memberinya kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki diri. Tidak akan ada kali kedua, karena jika saya mendapatinya membawa rokok lagi, saya harus melaporkannya ke student affair. Dia juga harus sadar bahwa teman-teman yang baik tidak akan membiarkannya terjerumus melanggar peraturan sekolah. Jangan-jangan semua menganggapnya keren tapi tak ada yang mau ikut menanggung jika ia tertangkap student affair.

Kedua, saya belajar soal arti pertemanan bagi murid-murid saya. Terkadang, solidaritas itu hanya ada di mulut. Solid supaya dianggap eksis, solid hanya agar nampak sebagai kelompok paling berpengaruh di sekolah. Akan tetapi, saat datang masa susah, solidaritas benar-benar lenyap seolah ditelan bumi. Dan anehnya, orang-orang yang paling lantang berteriak soal solidaritas, justru merupakan orang-orang yang paling tidak solid.

Terakhir, saya sangat terkesan melihat dua teman yang kata anak tadi paling tulus terhadapnya. Dua anak ini memang benar-benar telah berubah. Sama seperti semua anak yang saya kenal, kali pertama berjumpa, mereka semua belumlah seperti itu. Masih jauh dari itu. Mereka masih cuek, tidak berpikir jauh ke depan, dan terpenting saya masih belum bisa membayangkan mereka sebagai anak-anak yang memiliki perasaan tulus terhadap orang lain.

Namun usia yang semakin dewasa dan kehidupan yang mereka alami di sekolah selama ini rupanya telah menempa mereka sedemikian rupa. Mereka kini menjadi anak-anak yang peduli sesama, dewasa dalam berpikir, bisa membedakan mana yang benar dan salah, serta menjadi mandiri.

Saya bangga. Meski di relung hati, saya merasa sedih karena kini mereka siap meninggalkan saya. Anak-anak tidak selamanya bernaung di bawah lindungan ibunya. Namun anak-anak akan siap terbang ke dunia berkat sentuhan sang ibu.

Ah, saya jadi merasa kesepian. Mereka tak lagi butuh saya sebanyak dahulu. Tak lagi mencari saya sesering dahulu. Tak lagi bergantung pada saya seperti masa lalu. Semoga mereka masih tetap meyayangi saya sampai kapan pun.

Salah seorang dari mereka pernah mengutip kalimat bijak yang ia pernah baca entah di mana. Katanya, “Ga perlu punya banyak-banyak teman, tetapi ujung-ujungnya cuma sekedar teman yang angin-anginan. Cukup punya satu teman yang setia.”

Saya tambahkan ya, Nak. “Jangan hitung ada berapa teman yang kamu miliki di saat kamu senang. Hitunglah ada berapa teman yang kamu miliki di saat kamu susah.”


Love you, kids.

Comments

Popular posts from this blog

Tiga Dara SMA Global Prestasi Raih Juara di E-Subscribe 2020

  Pandemi ternyata tidak menyurutkan semangat siswa-siswi SMA Global Prestasi untuk meraih juara dalam kompetisi. Tiga siswi ini mampu membuktikannya. Mereka adalah Filadelfia Debora Paulina (Fia) dari kelas XI Science 2, Morietnez Azra Mashuri (Morie) dari kelas XI Social 1, dan Gita Pertiwi Wandansari (Gita) dari kelas XII Social 2. Ketiganya meraih gemilang di kompetisi daring yang diselenggarakan oleh SMAK Penabur Summarecon Bekasi, E-Subscribe 2020. Hari Sabtu, 7 November 2020 lalu, tiga dara yang mewakili SMA Global Prestasi ini resmi diumumkan sebagai pemenang melalui channel Youtube resmi SMAK Penabur Summarecon Bekasi. Fia dan Morie berhasil meraih prestasi di Lomba Cover Lagu, yaitu Fia sebagai juara 1 dan Morie sebagai juara 2. Dalam video yang dikirimkan untuk lomba, Fia menyanyikan lagu Manusia Kuat milik Tulus, sementara Morie membawakan lagu Tundukkan Dunia yang dipopulerkan oleh Bunga Citra Lestari. Penentuan juara ini dilakukan lewat seleksi dewan juri dan jug...

Boyband-Boybandku

Minggu pagi ini usai mengudap camilan dan menyeruput segelas teh manis hangat sambil menikmati geliat ikan-ikan kecil di kolam, saya memutuskan untuk sedikit berolah raga. Di dalam rumah tentunya, karena cuaca pagi ini sedikit mendung dan menyisakan kubangan-kubangan kecil dari hujan semalam. Menu olah raga ini tak istimewa, hanya senam ringan di depan televisi ditemani lagu-lagu dari kanal Youtube.  Boyband 1990s songs,  tulis saya di mesin pencari. Lantas keluar deretan video musik dari berbagai grup yang populer kala saya masih berseragam putih biru dan putih abu-abu. "Jadul dan membosankan," ucap anak bungsu saya yang baru beranjak 10 tahun. Enak saja, batin saya. Anak kecil ini tak tahu betapa gandrung ibunya pada boyband-boyband ini. Poster-poster yang menghiasi kamarnya, kaset yang dikoleksi hingga lengkap, dan majalah remaja yang tak pernah dilewatkan tiap minggu demi membaca berita maupun mendapatkan bonus pin para jejaka biduan ini. Sama sekali tidak membosankan. Me...

Merayakan Keberagaman Budaya dan Kekayaan Bahasa

Sudah menjadi tradisi bagi Global Prestasi Senior High School merayakan dua hari besar, Sumpah Pemuda dan Pahlawan, setiap tahunnya. Mengingat dua hari tersebut terpaut tak terlalu jauh, maka perayaannya pun dipadukan menjadi satu. Di sekolah ini, kami menamainya sebagai Bulan Bahasa. Sebuah perayaan yang mengusung keberagaman budaya dan kekayaan Bahasa di Tanah Air. Bulan Bahasa tahun ajaran 2014/2015 jatuh pada hari Selasa, 11 November lalu. Perayaan ini berlokasi di area Senior High School dan ditutup dengan acara puncak di Sport Hall. Perayaan berlangsung sejak pukul 07.00 hingga 15.30. Bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah Mrs. Anitya Wahdini, S.Sos. Bulan Bahasa 2014 kali ini menjadi cukup istimewa karena diawali dengan serah terima pengurus OSIS, dari OSIS angkatan 8 yang diketuai Jauharah Dzakiyyah (XII Science3) ke OSIS angkatan 9 yang dikomandoi Hinggista Carolin (XI Science3). Jadi, Bulan Bahasa sekaligus menjadi debut OSIS angkatan 9 dalam unjuk gig...