Skip to main content

For My Girls

Saya tidak memiliki anak perempuan. Mungkin belum, tapi rasanya saya tidak akan pernah merasakan anak perempuan dalam dekapan saya seumur hidup.

Namun dunia saya tidaklah sepi. Dunia saya tetap diwarnai keceriaan anak-anak perempuan. Dikelilingi canda tawa mereka, lembutnya hati mereka, sakitnya patah hati, dan sensasi cinta pertama.

Mereka itu adalah kalian. Murid-murid yang saya kenal sejak kelas 10, dan tinggal menanti hitungan hari untuk saya lepas di penghujung waktu.

Masih ingat foto yang saya post di timeline beberapa saat lalu? Foto yang membuat kalian gempar. Kesal sekesal-kesalnya. Marah, sekaligus sedih. Kalian merasa, betapa pun kalian selalu ada untuk saya, tetapi hati saya bukan sepenuhnya milik kalian. Lima jejaka dalam foto turut kalian benci saat itu.

Pikiran kalian salah besar. Kalian selalu ada di hati saya. Kalian lah orang-orang pertama tempat saya berbagi asa, berbagi pikiran, berbagi kebahagiaan, kesedihan, juga tangisan.

Masih ingat di sebuah halaman rumput, di kampung antah berantah, dua tahun lalu? Saat itu kita berjanji untuk selalu bersama dan saling percaya satu sama lain. Kita bahkan membuat lingkaran, circle of trust atau apa lah namanya yang kita karang saat itu. Lingkaran yang tak boleh putus ikatannya, meski para penyusup berdatangan.

Saya masih memegang janji itu hingga hari ini. Tidak ada anak perempuan lain di dunia ini yang memenuhi hati saya, selain kalian. Bahkan saat lima orang di antara kalian mulai menjauh dari lingkaran menjelang kelas 11, saya sedih bukan main. Saya berusaha menyatukan, tetapi gagal. Tinggallah kalian berdelapan.

Kalian mungkin berpikir selama ini saya punya dua anak kesayangan selain kalian. Mungkin saja benar. Saya memang menyayangi dua anak itu, terkadang bahkan melebihi kewajaran dan sisa-sisa kewarasan yang saya miliki.

Maka tak heran jika kalian marah saat melihat post foto timeline. Wajah mereka berdua ada di antara lima jejaka tadi. Dan saya terlihat bahagia berada di antara mereka. Entah kalian cemburu melihatnya, atau kecewa pada saya.

Ketahuilah, Nak. Mengapa saya tidak memperlakukan kalian seperti dua anak itu. Di mata saya, kalian itu tangguh. Meski terlihat manja, tetapi kalian kuat luar biasa. Kalian mampu menghadapi masalah dengan cepat. Kalian lebih mudah memaafkan. Kalian tak pernah meninggalkan saya sekejap pun. Saya tahu, apa pun yang kalian lakukan, kalian selalu sayang dan akan kembali kepada saya.

Tetapi tidak dengan dua anak itu. Mereka harus selalu saya dekap erat-erat. Jika saya lepaskan sedikit saja, mereka akan menjauh dan melupakan saya. Saya belum siap ditinggalkan. Jadi bagaimana pun mereka, saya akan selalu menarik mereka kembali ke dalam dekapan saya.

Saya tak pernah yakin bagaimana perasaan mereka terhadap saya. Pasti sayang, tetapi mengapa rasanya sulit sekali bagi mereka untuk menunjukkan kalau mereka benar-benar sayang kepada saya? Mereka kerap marah terhadap saya, apa pun yang saya lakukan seolah selalu terlihat salah besar di mata mereka. Berulang kali, seperti saat ini.

Suatu ketika kalian pernah menyuruh saya tinggalkan saja dua anak itu. Kalian tidak tahan melihat saya selalu patah hati jika mereka mulai menyakiti saya. Akan tetapi saya tidak bisa. Dan kalian pun mengerti, karena kalian tahu betapa bahagianya saya saat berada dekat dengan mereka. Persis seperti di dalam foto.

Meski kalian terkadang jengkel dengan perilaku saya yang tidak tegas dan bodoh, tetapi kalian membiarkannya saja karena kalian sayang pada saya. Dan kalian pun selalu berusaha membuat dua anak itu kembali kepada saya.

Apakah ini berarti saya tidak adil terhadap kalian? Apakah kalian merasa saya tidak menyayangi kalian? Jika iya, maka mungkin saya bukan ibu yang baik. Tetapi jika kalian masih percaya kepada saya, maka ketahuilah saya akan menyayangi kalian sampai kapan pun.

Kalian pernah menjadi teman. Kalian pun pernah menjadi pacar. Kalian tahu rasanya berada di posisi itu.

Jika saya adalah teman bagi dua anak tadi, maka mudah saja saya melupakan mereka. Toh teman selalu berganti, datang dan pergi.

Jika saya adalah pacar bagi kedua anak tadi, maka saya jelas akan meninggalkan mereka, karena tak ada perempuan yang pantas diperlakukan seperti itu oleh pacarnya. Disakiti hatinya, tetapi masih terus kembali.

Namun kalian belum pernah menjadi ibu.

Kalian tidak tahu, sebesar apa pun luka yang dua anak itu torehkan di hati saya, saya akan kembali pada mereka. Bahkan jika mereka menutup pintu hati mereka, saya akan tetap kembali pada mereka. Dan jika pada akhirnya mereka membenci saya, saya akan terus kembali pada mereka. Selalu kembali.


Kalian lah yang membuat saya kuat selama ini, perempuan-perempuan kesayangan saya.

Comments

Popular posts from this blog

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Berhenti Berbicara, Mulailah Menari!

  “Cara untuk memulai adalah berhenti bicara dan mulai melakukan.” Kata-kata sederhana itu entah mengapa tak pernah bisa lepas dari alam pikiran saya. Meskipun sang penuturnya telah lama berpulang, bahkan puluhan tahun sebelum saya dilahirkan. Walt Disney, sosok yang bagi saya mampu mewujudkan alam mimpi menjadi nyata dan menyenangkan. Sebagai seorang pendidik, berbicara merupakan makanan sehari-hari bagi saya. Di depan kelas – kelas virtual sekalipun, saya dituntut untuk terus berbicara. Tentu bukan sekedar asal bicara, melainkan menuturkan kata-kata bijak yang bersifat membimbing, memperluas pengetahuan, memperkaya wawasan, dan mengembangkan karakter anak-anak didik saya. Tidak sehari pun saya lalui tanpa berbicara penuh makna sepanjang 10 tahun saya menjadi seorang pendidik. Apa saja yang saya bicarakan? Tentunya banyak dan tak mungkin muat dalam 500 kata yang harus saya torehkan di sini. Namun salah satu yang saya tak pernah berhenti lantunkan kepada anak-anak didik adalah ...

Pahlawan & Kita: Sebuah Perayaan Bersama Para Alumni

  Hari ini, 10 November 2020, para siswa SMA Global Prestasi mendapatkan satu pertanyaan ketika Student’s Assembly . Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun memiliki makna mendalam, karena bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan: “Siapakah pahlawan di dalam kehidupanmu?” Berbicara soal pahlawan, mungkin dibenak para siswa SMA Global Prestasi yang terlintas adalah para tokoh pejuang, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, atau bahkan Bung Tomo sendiri yang 75 tahun silam di hari yang sama mengobarkan semangat para pemuda Surabaya dalam orasinya. Akan tetapi, ketika ditanya mengenai siapa sosok pahlawan dalam kehidupan pribadi, setiap siswa punya jawaban yang tak jauh berbeda; yakni orang tua dan para guru yang telah membimbing dan menginspirasi sepanjang kehidupan mereka. Mengusung tema “Pahlawan & Kita” yang menyiratkan bahwa sosok pahlawan ternyata ada di kehidupan sekitar kita, tahun ini SMA Global Prestasi kembali mengenalkan para siswanya kepada lulusan-lulusan terbaik yang...