Ada yang menggelitik setiap saya mendengar nama kelas ini disebut.
Lima Business Satu. 5 Bs1. Oh, saya bukan homeroom mereka. Sama sekali bukan.
Saya bahkan bukan homeroom kelas 12 atau kelas mana pun tahun ajaran ini. Akan
tetapi, tetap saja kelas ini menggelitik.
Di kelas yang berawak 21 anak ini, saya menghabiskan waktu
paling panjang dalam satu minggu dibandingkan kelas 12 lainnya. Bayangkan,
delapan jam per minggu! Delapan jam yang dibagi menjadi tiga hari, dengan satu
hari istimewa di mana saya harus bertatap muka dengan anak-anak ini selama
empat jam sekaligus. Oh, Tuhan tolong saya!
Sebenarnya kelas ini cukup menyenangkan. Saya bangga bisa
mengajar di kelas ini karena untuk pertama kalinya saya mengajar mata pelajaran
Sosiologi di kelas 12. Pelajaran UN, lho! Apalagi ada materi Metode Penelitian
Sosial dan menjadi pembimbing utama bagi anak-anak dalam menyusun tugas akhir. Bersanding
dengan guru Sosiologi senior yang telah memiliki pengalaman mengajar selama 23
tahun.
Akibat sistem SKS yang diterapkan sekolah, Sosiologi untuk
kelas 12 di semester 5 dijadwalkan menjadi enam jam. Alhasil, tiga hari saya
harus mengajar Sosiologi di kelas mereka. Dan bukan hanya itu saja. Tahun
ajaran ini, mata pelajaran Civics untuk kelas 12 dikembalikan kepada saya –
setelah tahun ajaran lalu saya hanya mengajar Civics untuk kelas 12 Business. Itu
berarti tambahan dua jam untuk Civics di kelas 5 Bs1.
Saya memang tidak pintar matematika, tetapi seingat saya
sampai sekarang enam ditambah dua sama dengan delapan. Delapan jam yang panjang
di 5 Bs1.
Anak-anak di kelas 5 Bs1 baik-baik. Perempuan-perempuannya
kelihatannya sedikit mengalami kesulitan menyatu di awal terbentuknya kelas.
Abigail, Akasya, Amel, Mitha, Fadiah, Karin, Liza, Marcella, Ara, Priska, dan
Sonia. Semuanya cenderung diam karena mungkin merasa semasa kelas 11 mereka
tidak bermain bersama dan terpisah dari peer
groupnya.
Namun belakangan ini saya melihat mereka setidaknya sudah
duduk di bagian tengah kelas bersama-sama dan membentuk forum obrolan entah apa
sehingga beberapa kali mereka harus saya tegur agar kembali konsentrasi ke
pelajaran yang tengah saya terangkan.
Lalu anak-anak lelakinya. Hmm, entah mulai dari mana. Ketua
kelasnya, Rama, tadinya adalah tumpuan harapan saya dalam mengkondisikan kelas
agar selalu siap belajar. Rupanya ekspektasi saya terlalu tinggi. Rama malah
sibuk mencuri waktu untuk tidur di sela-sela pelajaran. Jika tidak tidur, dia
sibuk mengobrol dengan Kez. Rama dan Kez tidak terpisahkan sejak kelas 11. Untung nilai-nilai test mereka selalu aman.
Jadi saya masih agak memaklumi dan semoga selalu sabar.
Keanji dan Singgih juga tak terpisahkan sejak kelas 11.
Sisa-sisa kejayaan gerombolan tukang bolos dari 4 Bs3 masih bertahan di kelas
ini. Mereka memang kebanyakan hanya mengobrol berdua, tidak berbaur dengan yang
lain. Namun itu sudah cukup untuk membuat mereka tidak memperhatikan pelajaran
sama sekali.
Demikian pula dengan Indra dan Sandy. Sisa-sisa geng iseng
dari 4 Bs1. Akan tetapi kali ini mereka tak hanya berdua. Mereka melebarkan sayap pertemanan dalam kelas dan
menggabungkan kekuatan dengan anggota “kaum munafik” 4 Bs2, Adrian, Asep, dan
Handyo. Dan mereka lah biang kegaduhan yang harus saya hadapi selama delapan
jam setiap minggunya.
Saya tidak mengerti nasib baik apa yang menimpa Adrian,
Asep, dan Handyo. Pasalnya sejak kelas 10 hingga kini mereka selalu berada
dalam satu kelas. Hal ini tentu saja membuat kekompakkan mereka semakin menjadi
Apalagi Adrian,
setiap kali saya menerangkan sesuatu, ia pasti menimpalinya dengan lelucon
yang sebenarnya tidak lucu tetapi selalu membuat saya tertawa. Barusan saja
pada saat presentasi Sosiologi, ia meniru pose masyarakat suku Batak yang
tengah berkacak pinggang di atas tangga rumah panggung. Ia melakukannya sambil
naik ke atas kursi. Menyebalkan.
Asep tidak jauh berbeda dengannya. Selalu saja ribut. Apalagi
suaranya itu, lho. Stereo maksimal. Saya pusing tujuh keliling dibuatnya. Saya
pernah bilang, “Adrian, Asep, Handyo, coba deh kalian jadwalkan sakit dan tidak
masuk selama seminggu bersama-sama. Pasti kelas ini akan terasa lebih damai.”
Sepertinya sampai kiamat hal itu tidak akan pernah mereka lakukan.
Lalu ada Indra yang di kelas 12 ini bertambah saja ulahnya.
Pakai seragam asal-asalan, tidak pernah mencatat, post di path kalau ia sedang
berada di kolong Menara Saidah, putar balik Pancoran bersama saya, dan seribu satu ulah
lainnya. Terakhir saya omeli dia, dia malah bernyanyi lagu Lengsir Wengi. “Heh, memangnya kamu kira saya kuntilanak?!” teriak
saya sebal.
Ah, saya hampir lupa Egmont. Ini anak cukup eksentrik.
Sepertinya dia tidak bisa terlalu gabung dengan siapa-siapa di kelas itu. Bukan
berarti ia tak punya teman. Jika saya biarkan ia duduk di belakang bersama
dengan Sandy dan Indra, pasti kelas akan bertambah gaduh. Akhirnya saya paksa
saja ia duduk di depan, tepat di hadapan meja guru. Anehnya, walau seorang diri
pun ia tetap saja bisa ribut.
5 Bs1 memang bukan kelas paling ribut yang pernah saya ajar.
Mereka jauh lebih membuat pusing saat masih kelas 11. Namun di antara kelas 12
Business, kelas ini lah yang paling membuat saya tergelitik. Mungkin karena
anak-anak lelakinya yang ajaib, mungkin juga karena saya paling banyak
menghabiskan waktu di kelas ini. Lima business satu lucu-lucu...
Comments
Post a Comment