Skip to main content

Berhenti Berbicara, Mulailah Menari!

 “Cara untuk memulai adalah berhenti bicara dan mulai melakukan.”

Kata-kata sederhana itu entah mengapa tak pernah bisa lepas dari alam pikiran saya. Meskipun sang penuturnya telah lama berpulang, bahkan puluhan tahun sebelum saya dilahirkan. Walt Disney, sosok yang bagi saya mampu mewujudkan alam mimpi menjadi nyata dan menyenangkan.

Sebagai seorang pendidik, berbicara merupakan makanan sehari-hari bagi saya. Di depan kelas – kelas virtual sekalipun, saya dituntut untuk terus berbicara. Tentu bukan sekedar asal bicara, melainkan menuturkan kata-kata bijak yang bersifat membimbing, memperluas pengetahuan, memperkaya wawasan, dan mengembangkan karakter anak-anak didik saya. Tidak sehari pun saya lalui tanpa berbicara penuh makna sepanjang 10 tahun saya menjadi seorang pendidik.

Apa saja yang saya bicarakan? Tentunya banyak dan tak mungkin muat dalam 500 kata yang harus saya torehkan di sini. Namun salah satu yang saya tak pernah berhenti lantunkan kepada anak-anak didik adalah bagaimana melestarikan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai guru PPKn, tentu saya memiliki kewajiban untuk mengajarkan khasanah kekayaan bangsa dan bagaimana menghargai keberagaman di Tanah Air. Namun sebagai pribadi, persoalan budaya selalu menjadi isu yang menarik bagi saya. Bagaimana saya menghargai kemudian melestarikannya dengan segenap daya upaya yang saya miliki.

Bercermin pada kata-kata Walt Disney, saya merasa malu jika hanya mampu mengucapkan ajakan itu kepada anak-anak didik saya. Jika hanya berbicara, tentu itu mudah saja dilakukan seperti menjentikkan jari. Akan tetapi, jika berbicara, berarti saya sama sekali belum memulai apa-apa bukan? Lalu, bagaimana saya bisa memantaskan diri di hadapan anak-anak didik sebagai role model mereka yang benar-benar berusaha melestarikan budaya bangsa?



Hal itu lah yang kemudian membuat saya beberapa tahun belakangan ini mulai aktif memperkenalkan sebagian kecil dari keberagaman budaya yang dimiliki bangsa ini. Tentu tanpa maksud menggurui sama sekali, karena di bidang ini saya bukanlah seorang praktisi, apalagi pakar. Saya hanya berupaya memperkenalkan anak-anak didik secara perlahan-lahan kepada keindahan seni tari di Indonesia. Mengapa seni tari? Meski seolah tak ada kaitannya dengan peran saya sebagai seorang guru, khususnya guru PPKn, namun ketika ada jargon “Guru Merdeka Berkarya” yang digelontorkan oleh Media Guru, saya merasa inilah kemerdekaan saya dalam berkarya. Sebagai seorang guru, maupun sebagai seorang warga negara Indonesia.

Saya memulai misi saya melalui hal-hal sederhana. Kelompok tari modern yang saya asuh di sekolah sejak 5 tahun silam mulai saya perkenalkan dengan tari tradisi dari berbagai daerah. Awalnya saya agak cukup terkejut karena ternyata anak-anak didik saya yang berada di usia SMA hanya segelintir yang menguasai tari tradisi atau bahkan hanya sekedar pernah menarikannya. Namun perlahan tapi pasti, saya mengajak mereka mengenal dan mencintai karya milik bangsa sendiri. Beberapa tarian pernah kami pentaskan di sekolah maupun luar sekolah, seperti Tari Lenggang Nyai dari Betawi, Tari Gending Sriwijaya dari Palembang, Tari Kipas dari Bugis, atau kompilasi tarian tari tradisi versi Indonesia Menari pada berbagai kesempatan.

Belum puas hanya sampai di situ, saya juga memperkenalkan kecantikan tarian Indonesia kepada para rekan kerja saya sesama guru di sekolah. Tak disangka mereka menyambut dengan penuh antusias, sehingga ketika diminta tampil di depan warga sekolah pun mereka tak mau ketinggalan. Meski sederhana, akan tetapi dengan berbagi tarian dengan para guru, harapannya mereka juga akan mampu mewariskan kepada anak-anak didik mereka dan bahkan mungkin juga anak mereka sendiri. Dengan demikian akan semakin banyak anak Indonesia yang mengenal tarian dari negeri sendiri.

Kemerdekaan berkarya tak melulu hal-hal hebat yang diakui dunia, seperti yang dilakukan Walt Disney. Kemerdekaan berkarya bagi saya adalah bebas mengekspresikan kecintaan saya pada seni tari dan budaya bangsa kemudian berharap bahwa apa yang saya lakukan ini mampu menginspirasi dan mengena di jiwa orang-orang sekitar saya. Dengan menari, saya perlahan-lahan berhenti sekedar bicara dan mulai melakukan. Inilah bentuk kemerdekaan berkarya dari saya. ***

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...