Wall facebook saya berdebu.
Twitter saya berdebu. Blog saya pun berdebu.
Satu-satunya yang ramai penuh
hiasan adalah path saya, yang nyaris tiap jam berisikan informasi lagu apa yang
tengah saya nikmati, film apa yang sedang saya tonton, bahkan di lokasi mana
saya sedang berada atau sedang apa. Hal-hal remeh.
Entahlah, setahun belakangan ini
hasrat menulis seolah enggan hinggap. Padahal sejak tahun pertama saya menjadi
guru – sekira empat tahun silam – saya selalu menulis. Saat Kiddos memimpin
upacara bendera yang super ajaib, saya menulis.
Saat Mentari merasa sedih saat
jurusan IPS dianggap sebagai kelas dua, saya menulis. Saat saya tidak diberikan
jam pelajaran Sosiologi, saya menulis. Saat Willy bimbang menentukan jurusan
dan cita-cita, saya menulis. Saat Karin dan Jesline tak kunjung menghapus cat
kuku mereka selama berminggu-minggu, saya menulis.
Hal terkecil sekali pun tentang
dinamika kehidupan saya di sekolah, selalu mendorong saya untuk merangkai
jalinan kata menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf. Paragraf menjadi
narasi, yang kemudian menghias twitter, wall facebook, dan blog saya.
Novel kemudian menjadi dalih saya
kala ada yang bertanya mengapa saya tak kunjung menghasilkan tulisan baru.
Kisah Isabella yang mulai saya tulis pertengahan tahun 2011 dan akhirnya
berhasil saya terbitkan akhir tahun 2013 lalu memang cukup menyita waktu dan
energi saya. Belum lagi promosi sana-sini, meski kecil-kecilan, namun cukup
membuahkan hasil.
Akan tetapi urusan novel itu kini
telah selesai. Dan saya masih saja belum tergerak untuk menulis kembali. Hingga
saat ini.
Minggu lalu, entah kebetulan atau
tidak, Willy dan Sandy menanyakan hal yang serupa lewat Line. “Miss, saya
kangen baca tulisan Miss di blog. Terutama tulisan tentang saya, tentang kelas
1E. Selalu bikin saya terharu,” kata Sandy.
Pertanyaan sederhana itu cukup
menohok. Blog saya memang telah berdebu. Selepas Chibis tak lagi berada dalam
genggaman, asa untuk menulis seolah pergi bersama mereka. Menjauh dan
perlahan-lahan menghilang ditelan waktu.
“Miss sudah tidak pernah menulis
di blog lagi ya?” ucap Willy. Lagi-lagi jantung saya tertohok, berasa Katniss
Everdeen melesatkan anak panahnya tepat di sasaran.
Saya tak punya alasan. Rasanya
aneh jika penulis – atau setidaknya orang yang mengaku memiliki hobi menulis –
kehabisan kata-kata. Saya tak mungkin beralasan tak bisa menulis karena tak
lagi menjadi homeroom mereka, karena mereka sebenarnya tak pernah menjauh
sedikit pun dari saya.
Chibis ini benar-benar unik. Tak
seperti Kiddos yang cepat sekali beranjak dewasa dan mandiri, Chibis tetap
dekat dengan saya, selalu mencari saya, dan tak jarang membutuhkan saya. Meski
kini mereka sudah di tahun terakhir mereka di SMA.
Bahkan saya berani bertaruh,
beberapa Chibis masih tetap lebih dekat dengan saya, dibandingkan homeroomnya
di kelas 11 dan 12. Jika memang benar mereka sumber inspirasi saya, maka
semestinya inspirasi saya tak pernah mengering. Lagi pula masih ada sejuta hal
lainnya di sekolah ini yang bisa menginspirasi. Guru-gurunya, murid-muridnya,
suasananya, kejaadian-kejadiannya, apa pun.
Lalu mengapa? Mengapa saya tak
kunjung menghasilkan tulisan? Malas? Jenuh dengan keadaan?
Entahlah, saya sendiri masih
belum bisa menemukan jawabannya. Mungkin kelak saya akan tahu juga, namun untuk
saat ini saya akan memulai kembali tulisan-tulisan saya. Semoga inspirasi tak
pernah mengering.
Dan terpenting, semoga tetap mampu menginspirasi.
My Chibis Girls :) |
Comments
Post a Comment