Skip to main content

Menyusuri Awal Mula Uang di De Javasche Bank



Masih seputar staycation saya dan keluarga di kawasan Wisata Kota Tua, Jakarta. Usai berpeluh seharian menjelajahi misteri yang ada di Museum Sejarah dan berpelesir di Taman Fatahillah, kaki ini rasanya mau remuk dan tak kuat berjalan selangkah lagi. Untunglah ayahnya anak-anak sudah mempersiapkan rencana perjalanan yang meski masih di dalam kota, akan tetapi tetap nyaman. Maka beristirahatlah dulu kami di salah satu hotel terkemuka di sekitar kawasan tersebut.

Petualangan menjelajah Batavia masa lalu kemudian kami lanjutkan keesokan harinya ketika badan telah bugar dan kaki kembali siap melangkah. Agar perut tak keroncongan, sebelum bergabung bersama para penumpang di jalur busway, kami mengisi perut dahulu. Banyak pilihan kuliner yang nikmat di kawasan Kota, akan tetapi saat itu anak-anak agak membujuk kami untuk makan fast food dan ayahnya pun memilih sebuah restoran favoritnya di masa lalu yang menjual makanan khas negeri Paman Sam.

Petualangan kemudian kami mulai dengan museum yang memang telah lama saya idamkan untuk masuk ke dalamnya, karena konon kata orang-orang, museum ini bagus dan sangat menarik: Museum Bank Indonesia. Akhirnya setelah bertahun-tahun menanti, bisa singgah juga saya di sini.

Benar kata orang, museum ini keren sekali! Tata pamernya dibuat merunut alurnya, mulai dari zaman di mana penduduk wilayah nusantara belum mengenal uang sebagai alat tukar yang berharga. Pasalnya, kala itu mereka mengenal sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang, yakni rempah-rempah yang kaya. Alur terus mengalir hingga uang dan bank telah berkembang pesat dan memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.


Buat percils yang baru mau akan menginjak kelas 3 dan 4 SD tahun ajaran depan, museum ini memang agak sulit untuk dipahami. Banyak konten yang sulit bagi benak mereka, seperti mengapa Belanda pada mulanya mendirikan bank pertama di nusantara – De Javasche Bank, hingga krisis moneter yang dialami Indonesia pada tahun 1997-1998 itu apa. Rasanya memang baru kali itu mereka mendengar istilah moneter. Kalau soal uang sih, mereka sudah paham. Soalnya biasa minta uang buat jajan ke ibunya atau buat ditabung beli mainan ke ayahnya, hahaha…

Meski begitu, percils tetap bisa menikmati museum dengan aneka diorama yang menggambarkan kegiatan bank seperti aslinya. Plus manekin-manekin yang dibuat menyerupai manusia pada masa lalu yang sesungguhnya. Saran saya, museum ini wajib dikunjungi bagi mereka yang tertarik menjelajah di kawasan Wisata Kota Tua.

Melipir sedikit dari Museum Bank Indonesia, ada Museum Bank Mandiri. Tentu saja untuk melengkapi petualangan di Kota Tua, kami mampir ke sana. Apalagi museum tersebut termasuk salah satu obyek wisata yang patut dikunjungi kala menyusuri masa lalu di tempat yang dahulunya pusat kota ini.


Konsep Museum Bank Mandiri mirip dengan Museum Bank Indonesia yang terletak tepat di sebelahnya. Hanya saja, museum ini masih kurang “greget” dibandingkan museum yang pertama kami singgahi tadi. Banyak ruang kosong dibiarkan begitu saja dengan alat peraga yang kelihatan sedikit terabaikan. Padahal museum ini punya koleksi mesin tik, alat hitung uang, mesin ATM, dan brankas besi dari masa ke masa. Sayang saja kurang dipoles secara menarik penataannya. Terutama ruang brankas bawah tanah yang benar-benar bikin bulu kuduk merinding karena suram dan luas. Horor!

Hmm, kalau saja dibuat lebih atraktif, pasti bakalan seru buat pengunjung yang gemar mengeksplorasi museum dan pada akhirnya menjadi daya tarik tersendiri buat museum ini. However, senang bisa kembali ke museum ini setelah sekian lama tak pernah singgah ke dalamnya! Semoga di negara kita, segala urusan sejarah dan budaya menjadi salah satu poin utama bagi pengembangan negeri, sehingga banyak ahli sejarah dan museum yang bisa dengan bebas – dan didukung dana yang memadai, tentunya, bisa membuat museum-museum di Tanah Air menjadi aset berharga, tak hanya di dalam negeri, melainkan juga hingga ke seluruh dunia.



Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...