Skip to main content

The Boy Who Can’t Get Out of My Mind


Jika ada seseorang yang iseng bertanya, siapa kira-kira murid yang tidak akan pernah saya lupakan kelak? Mungkin jawaban saya adalah salah satu anak lelaki di kelas saya tahun lalu.

Bukan berarti dia yang teristimewa di hati, karena tak pantas guru memilih-milih di antara murid-muridnya. Namun dia adalah kejutan pertama saya – murid ajaib slash bandel yang pertama kali saya miliki. Bayangkan di tahun pertama saya didaulat sebagai wali kelas, bocah pembuat onar itu harus hadir tepat di dalam kelas saya. Ah, seribu satu rasa!

Tahun ini, ia bukan lagi tanggung jawab saya. Saya telah melepasnya untuk dibimbing oleh guru lain pada tingkat kelas yang lebih tinggi. Semoga dia dan guru itu bisa selamat tanpa kekurangan suatu apa pun hingga tahun ajaran ini berakhir. Semoga. 

Kini saya punya murid-murid baru. Dan masih sama seperti tahun lalu, lagi-lagi didominasi oleh segerombolan lelaki yang ajaib. Mungkin sudah garis nasib saya seperti ini. Harus selalu berhadapan dengan kaum Adam. Biarlah. Toh saya menikmatinya sebagai warna dalam hidup saya. 

Baru beberapa minggu berkenalan dengan kelas baru saya, guru matematika senior yang dikenal punya ilmu “meramal” dan menatap masa depan – ini sih menurut gosip yang beredar di kalangan murid – berbagi rahasia pada saya.

“Miss, tahun ini akan ada satu anak lelaki lagi yang tidak akan bisa lepas dari pikiran. Bersiap saja.” Misterius sekaligus menyebalkan sekali. Mengapa tak ada angin tak ada hujan, saya harus mendapatkan “ramalan” macam ini.

Ingatkan saya agar awal tahun ajaran depan tak lagi dekat-dekat dengan guru ini. Sudah dua tahun berturut-turut ia “meramal” bahwa saya akan memiliki satu anak lelaki yang tak bisa lepas dari pikiran. Saya tak mau ada tahun ketiga.

Saat saya tanya apakah saya akan punya trouble maker juga di kelas ini, beliau menggeleng. Menurutnya tak ada hubungannya dengan trouble maker, namun anak yang mau tidak mau akan saya perhatikan secara khusus. 

Lalu, sang guru matematika ini memberikan saya sebuah nomor yang saya sama sekali tak mengerti maksudnya apa. Tidak nampak seperti nomor undian atau lotere. Baru di kemudian hari saya sadar bahwa nomor ini merupakan nomor absen si anak.

Oke, pertanyaan besarnya adalah mengapa harus saya? Dan mengapa harus anak itu?
Jujur saja, saya tak terlalu menggubris “ramalan” guru yang sering saya ledek sebagai dukun jadi-jadian ini. Saya bahkan sempat melupakannya hingga beberapa bulan kemudian.

Saat itu kami sedang mengadakan aktivitas selama 3 hari di luar sekolah. Sore harinya anak itu sakit. Wajahnya murung dan sepertinya ia menangis karena berbagai pikiran serta perasaan yang ia pendam. 

Hati saya iba. Saya paling tidak tahan menghadapi situasi macam ini. Mungkin karena saya adalah seorang ibu. Mungkin karena saya adalah seorang kakak. Atau mungkin karena saya adalah seorang teman.

Hingga malam hari anak itu masih saja murung, saya bercerita kepada sang guru matematika. Ia kembali membangkitkan ingatan saya. “Inilah, Miss. Anak yang pernah saya ceritakan dulu. Masih ingat?”

Tiba-tiba saya tersadar.

“Anak ini, Miss. Ia tidak punya orang yang bisa ia percaya atau ia andalkan. Tanpa teman-temannya, ia nyaris sendiri. Ia merasa hanya sedikit orang yang peduli dan sayang padanya. Ia sering merasa dirinya tak berguna.”

Hati saya makin tersentuh. Saya tiba-tiba teringat bahwa ia pernah bercerita bahwa sudah tiga tahun ini orang tuanya tak ingat hari ulang tahunnya. Saya kemudian berkata padanya, biarlah saya saja yang akan ingat hari ulang tahunnya dan berjanji akan mengucapkan selamat ulang tahun pada hari lahirnya itu. Ia terlihat senang dan menyebut saya mama angkatnya. Saya tersenyum.

“Jangan sekali-kali tinggalkan anak ini, Miss.”

Namun saya tak berani bertanya lebih lanjut mengenai alasannya. Saya khawatir jika saya tahu, maka saya sungguh-sungguh tak bisa meninggalkannya. Padahal hubungan guru murid hanya sementara. Ia tak kekal. Saya tak bisa mengubah garis hidupnya betapa pun saya ingin. Saya hanya persinggahan sementara dalam hidupnya. Saya bukan siapa-siapa. 

Saya sering membayangkan banyak hal semenjak peristiwa ini. Saya banyak menghabiskan malam dengan tidur di samping anak-anak saya hingga pagi, memeluk dan mencium mereka satu per satu, memanjakan mereka. Saya tidak ingin kedua anak saya merasa tidak disayang.

Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan setelah tahu “ramalan” ini. Tak ada buku panduan manual dalam menjalani hidup. Tak ada pula petunjuk praktis bagi seorang guru dalam  menghadapi murid istimewa macam ini.

Saya hanya bisa memberinya nasehat. Jalani hidupmu betapa pun sulit dan tidak menyenangkannya. Karena suatu saat pasti, kamu akan menikmati hasilnya. Be a good boy. Be sensitive, fearless, responsible, humble. And you will be great one day!

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...