Pagi
itu matahari bersinar cerah. Teramat terang malah, mengingat ini di tengah musim
penghujan yang terasa tidak berkesudahan. Jika biasanya angin bertiup kencang
dan membuat pohon-pohon nampak seperti menari, disusul hujan yang turun dengan
derasnya, tetapi tidak dengan hari ini. Seolah hari ini memang sudah
dipersiapkan Tuhan untuk upacara bendera.
Pada
hari-hari Senin normal lainnya, saya tak pernah gelisah menantikan upacara
bendera. Tak perlu ada persiapan khusus, jika boleh jujur. Kalau saja Jepang
tidak pernah menjajah Indonesia pada Perang Dunia II, pastilah hingga detik ini
setiap hari Senin kita tidak menyelenggarakan upacara bendera.
Alkisah, upacara bendera yang
kita kenal saat ini merupakan warisan dari masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Konon di Jepang, upacara dilakukan setiap pagi untuk menyembah dewa matahari.
Namun di Indonesia, simbol-simbol dewa matahari diganti menjadi bendera merah
putih. Sejarah memang telah terlanjur menggoreskan nasib sedemikian rupa, jadi
apa mau dikata. Tak apalah, hitung-hitung mengajari siswa untuk disiplin datang
pagi dan menghormati negeri sendiri.
Jika ditarik garis sejarah
kehidupan manusia lebih awal lagi, upacara bendera masih ada kaitannya dengan
negeri Perancis. Entah bagaimana bentuk hubungannya yang pasti, yang jelas
Perancis adalah negara pertama yang memperkenalkan istilah aubade, lagu-lagu perjuangan yang dilantunkan dengan penuh semangat
oleh para pelajar. Di abad pertengahan, aubade
dilantunkan oleh para troubadors (penyair)
dengan lirik mengenai sepasang kekasih yang harus berpisah. Pada
perkembangannya, aubade berubah
menjadi lagu perjuangan yang digunakan untuk mengheningkan cipta dan mengenang
jasa para pahlawan. Setidaknya dua fakta itu pernah saya pelajari dari guru
sejarah semasa sekolah.
Hari
Senin di bulan Januari ini, upacara bendera menjadi hantu tersendiri dalam
benak saya. Selain karena Senin ini adalah hari pertama semester kedua di SMA
Global, hari Senin ini pula yang mendapat giliran menjadi petugas upacara
adalah murid-murid kelas saya, kelas X-A.
Tidak ada yang salah dengan kelas
ini. Penghuninya adalah 25 murid junior yang paling manis, kreatif, unik,
sekaligus menggemaskan. Semua istilah tadi menggunakan tanda kutip. Mereka
selalu menuruti apa kata saya – walaupun itu semua baru terjadi setelah saya
mengeluarkan omelan berkepanjangan dan mengalami sakit kepala hebat nyaris
setiap hari. Jika sudah begitu, mereka menjadi amat manis dan penurut. Selipkan
tanda kutip lagi.
Miss Asih, guru matematika yang kebetulan
duduk di sebelah saya di ruang guru, sering berkomentar, “Pahalamu nanti di
surga, Miss. Siapa pun harus banyak
bersabar mendapatkan kelas seperti ini.” Prestasi akademis paling rendah di
antara lima kelas X yang ada, kelakuan kerap bermasalah, dan paling kompak
untuk urusan-urusan tak masuk akal. Jika sudah begini, saya hanya bisa
tersenyum dengan senyuman paling pahit.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul
7 pagi. Lapangan sekolah telah siap dengan segala peralatan upacara. Mulai dari
sound system, keyboard, dan podium. Murid-murid yang berseragam lengkap dengan
atribut topi dan dasinya pun sudah nampak rapi berbaris. Murid kelas X di
barisan paling kanan, diikuti murid kelas XI
di barisan tengah, dan kelas XII di barisan paling kiri. Semua nampak siap
mengikuti upacara bendera di hari pertama. Semua, kecuali anehnya murid-murid
saya yang semestinya bertugas.
Saya mulai mengabsen dan
membariskan mereka semua sesuai posisi masing-masing, yaitu di lapangan bagian
depan. Fergie, protokol di barisan ujung kiri, diikuti Vera sebagai pembaca
doa, Joshua sebagai pembaca UUD 1945, Tegar sang pemimpin upacara, tiga petugas
pengibar bendera, dan Albert sang pembawa Pancasila di sebelah podium pembina
upacara. Sisanya berbaris di sebelah mereka sebagai kelompok paduan suara yang
dipimpin Rika, sang dirigen.
Sebentar. Di mana tiga petugas
benderanya? Saya melirik papan absen, Tasa, Kiki, dan Marley. Nama mereka jelas
ada di daftar petugas upacara, tetapi raga mereka nihil. Sama sekali tidak
nampak di hadapan saya. Saya memutar pandangan ke sekeliling lapangan. Gawat.
Seluruh peserta nyaris rapi berbaris, tetapi tiga pengibar bendera itu entah
ada di mana.
Tiba-tiba Tasa, sang pembawa
bendera, setengah berlari menghampiri saya dari arah pinggir lapangan. “Miss,
Marley dan Kiki belum datang. Bagaimana ini? Upacaranya sudah hampir mulai,”
katanya dengan nafas terengah-engah. Kasihan, wajah manisnya diliputi rasa
panik. Sebenarnya, saya jauh lebih panik daripada Tasa, namun saya berusaha
tenang. Saya menyuruh Tasa menempati posisinya di barisan. Tanpa ada Kiki dan
Marley di kanan kirinya.
Ternyata hantu dalam benak saya
itu tidaklah berlebihan. Kekacauan demi kekacauan pun mulai bermunculan. Perlahan,
namun pasti. Hingga Fergie membuka upacara bendera dan Tegar sudah memasuki
lapangan upacara, batang hidung Marley maupun Kiki belum juga nampak. Wajah
Tasa semakin terlihat panik.
Jika saat itu ada cermin, saya
pasti juga dapat melihat wajah saya yang tak kalah paniknya dengan Tasa. Malah
kemungkinan besar nampak lebih panik. Tuhan, saya tahu saya selalu meminta
banyak, namun izinkanlah saya meminta kembali hari ini agar upacara berjalan
lancar. Demi kewarasan saya, anak-anak didik saya ini, dan seluruh peserta
upacara.
Saya mulai mencari akal untuk
mengatasi kondisi ini. Akan tetapi sekeras apa pun saya memutar otak, saya
tetap tidak dapat menemukan jalan keluar. Memaksa dua murid lain untuk
menggantikan Kiki dan Marley secara mendadak tanpa latihan sama saja dengan
bunuh diri. Namun saat itu saya tidak melihat adanya pilihan lain. Mungkin
bunuh diri adalah jalan terbaik dalam situasi ini daripada tidak melakukan
apa-apa sama sekali.
“Wildan, Rangga, kalau Kiki dan
Marley tidak muncul juga, kalian baris dulu ya menggantikan mereka,” kata saya
kepada dua murid paling baik di kelas. Entah suara saya terdengar kurang
meyakinkan, atau situasinya sendiri yang kurang meyakinkan, yang jelas Wildan
dan Rangga memberikan saya raut wajah yang aneh. Seringai takut sekaligus
terkejut seolah mereka baru saja melihat makhluk dari planet lain.
“Miss, jangan saya, Miss.
Saya tidak bisa. Pasti gagal,” kata Wildan mulai memberikan alasan penolakan.
Saya tidak menyalahkan anak ini, hanya saja setelah melihat penampilan
murid-murid lainnya dalam barisan paduan suara, Wildan dan Rangga adalah
pilihan terbaik. Saya kan tidak mungkin mengirim para pelawak macam Ihmud yang
selalu mengingatkan saya pada tokoh rekaan si Komo, atau Eril, si cerewet yang
gemar mencari-cari kesalahan guru, sebagai petugas pengibar bendera. Itu sama
saja seperti bunuh diri kuadrat. Sudah jatuh tertimpa tangga. Fatal.
Baru saja dua anak malang itu
saya suruh berbaris di sebelah Tasa, dua anak lainnya melesat dari arah
belakang lapangan menuju tempat yang tadinya diperuntukkan bagi Wildan dan
Rangga. Lari kencang seperti dikejar setan. Ternyata Kiki dan Marley. Wajah
mereka berpeluh, merah padam, dan nafas mereka tersengal-sengal. “Maaf, Miss. Kami terlambat. Tadi dihukum dulu
oleh guru piket di barisan belakang,” kata Marley terbata-bata saat saya
hampiri keduanya.
Sebenarnya, saya murka luar biasa
atas ketidakdisiplinan mereka. Namun pemandangan yang penuh adegan lari-lari ini
saja sudah menarik perhatian seluruh peserta upacara, termasuk para guru yang
berbaris tepat di depan lapangan – di belakang podium sang pembina upacara.
Benar-benar menyebalkan. Mau marah-marah, tetapi harus ditunda setidaknya
hingga upacara berakhir.
Keterlambatan dua murid ini
sebenarnya masih cukup aman, karena petugas bendera masih belum mendapat
giliran maju. Para peserta upacara sedang memberi penghormatan kepada pemimpin
upacara. Masih ada waktu bagi Kiki dan Marley untuk menormalkan kembali denyut
jantung dan nafas mereka. Akan tetapi, bukan Kiki dan Marley namanya kalau
langsung tenang masuk dalam barisan. Saya masih bisa mendengar candaan Kiki
yang cukup membuat saya geli sekaligus kesal. “Wah, kalau di awal upacara saja kita
sudah terlambat begini, bendera yang kita kibarkan bisa-bisa bendera Polandia
nih,” katanya cengengesan. Polandia,
alias bendera merah putih yang terbalik.
Dasar Kiki. Mengapa masih saja
sempat bergurau dalam situasi yang membuat saya sempat panik ini? Habis ini
saya berjanji akan mencubit lengannya hingga merah sebagai hukuman karena telah
mengatakan candaan itu. Cubit-mencubit memang sudah menjadi kebiasaan saya
dalam menghukum anak-anak. Tentu cubitan ini bukan berniat menyakiti, namun
sebagai perwujudan kasih sayang seorang guru yang sebenarnya sudah sangat kesal.
Susah untuk dijelaskan. Murid macam Kiki dan Marley sudah menjadi langganan
tetap cubitan saya nyaris setiap hari. Akan tetapi mereka sepertinya tidak
pernah jera. Malah sepertinya ketagihan.
Setelah kepala sekolah selaku
pembina upacara menaiki podium dan prosesi telah berlanjut, kini giliran trio
pengibar bendera maju. Kiki di sebelah kanan yang akan mengibarkan bendera,
Tasa di tengah yang membawa bendera, dan Marley di sebelah kiri sebagai penarik
tali tiang bendera. Mereka maju satu langkah dari barisan petugas upacara,
meluruskan barisan, dan mulai melangkah maju. Jantung saya berdegup luar biasa
kencang. Wajah saya sudah pasti terlihat panik, tetapi sepertinya tidak ada
yang menyadari. Saya tidak berani melihat aksi tiga anak ini.
Jika dilihat selintas, sebenarnya
postur mereka cukup meyakinkan sebagai petugas pengibar bendera. Tasa memang
bertubuh mungil, tetapi ia telah berpengalaman sebagai paskibra sedari SD
sehingga gerak jalan dan sikap tubuhnya sangat baik. Tasa banyak mengajari dua
rekan paskibranya ini yang minim pengalaman.
Alasan saya memilih Kiki dan
Marley sebagai paskibra sebenarnya lebih karena postur tubuh mereka. Keduanya
tegap, namun tidak terlalu tinggi sehingga tidak akan terlalu timpang jika
dipasangkan dengan Tasa. Kiki keturunan Jepang dan Marley memiliki darah
Tionghoa. Kedua ras ini memang jarang memiliki postur tinggi.
Sebenarnya Kiki dan Marley tak
terlalu banyak pengalaman, tetapi mereka rasanya telah berlatih keras – dan
penuh bercanda – selama satu minggu ini. Semestinya sih mereka bertiga akan
baik-baik saja. Setidaknya itu yang saya harapkan. Alasan lainnya, karena para
lelaki di kelas lainnya tidak ada yang bisa diharapkan akan sukses sebagai
pengibar bendera.
Maka majulah mereka sebagai
paskibra dari kelas X-A. Baru maju selangkah, saya bisa menangkap senyuman dari
wajah ketiganya. Mereka saling melirik dan tersenyum. Lalu entah mengapa,
sesampainya di depan tiang bendera, senyuman mereka bertambah lebar dan berubah
menjadi cengiran. Mungkin mereka pikir tugas mereka ini hanya sekedar
main-main. Atau mungkin mereka pikir ada sesuatu yang lucu.
Satu hal yang pasti, saya bisa
melihat barisan guru-guru yang berada tepat di depan tiang bendera itu
memandangi mereka bertiga dengan raut wajah tak suka. Beberapa bahkan mulai
mengeluarkan omelan. “Hey, yang
serius dong. Jangan main-main,” kata
Mr. Yahya, guru ekonomi yang memang terkenal galak.
Marley kesulitan membuka lilitan
tali tiang, sehingga Tasa jadi perlu ikut campur mencerewetinya. Sejak saat
itu, saya semakin yakin bahwa pengibaran bendera yang semestinya khidmat, akan
berubah menjadi bencana dan lawakan hari ini. Hari di mana anak-anak kelas saya
yang bertugas. Setelah akhirnya lilitan tali berhasil dibuka dan bendera telah
dipasang pada pengaitnya, giliran Kiki yang harus membuka bendera hingga ia
berkibar menjadi merah putih.
Satu, dua, tiga, dan terbukalah
bendera itu dalam posisi terbalik. Putih merah, Polandia, seperti yang memang
telah Kiki ramalkan sejak awal. Bencana. Tegar segera memerintah para peserta
upacara untuk balik kanan menghadap belakang agar semuanya tak melihat
perbaikan posisi bendera.
Dalam kondisi normal, petugas
bendera harus dengan sigap segera membetulkan bendera hingga posisinya benar. Namun
lagi-lagi perlu saya ingatkan bahwa anak-anak kelas saya memang lain dari pada
yang lain. Jauh dari kata normal. Bukannya cepat-cepat membetulkan posisi
bendera, mereka malah tertawa terbahak-bahak menyadari kesalahan mereka itu.
Lantas saja para guru bertambah kesal pada tingkah mereka. Mr. Yahya dan Miss
Asih memarahi mereka dengan keras sehingga akhirnya mereka mulai memperbaiki
posisi bendera. Benar-benar minta ampun, saya malu setengah mati.
Saat bendera telah berkibar dalam
posisi yang benar dan para peserta upacara memberikan penghormatan, giliran
Rika memimpin paduan suara untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya pikir mereka hanya tinggal bernyanyi dan
masalah telah selesai, tetapi sepertinya saya terlalu cepat merasa lega. Bahkan
di dalam tim paduan suara pun harus ada kejadian konyol.
Saat lagu nyaris berakhir, hanya
tinggal sebaris lirik, hiduplah Indonesia
Raya, Jason – murid saya yang paling istimewa nakalnya – kentut
sekeras-kerasnya. Berbau tidak sedap pula. Halfi, yang berbaris tepat di
sebelah Jason di deretan paling belakang, menyadari hal ini dan spontan
berteriak, “Jason, sialan. Bau banget kentut lo.” Jason hanya tertawa tanpa merasa bersalah. Dia menatap saya
yang berada di barisan paling depan, dekat Rika, dan langsung sadar bahwa saya
sudah bersiap akan memarahinya.
Untunglah tak ada peserta upacara
yang menyadari kejadian ini maupun teriakan Halfi. Namun seluruh isi grup
paduan suara sudah gelisah menahan tawa sekaligus menahan bau kentutnya Jason
itu. Sepertinya mereka semua ingin berhamburan keluar dari barisan dan
menyelamatkan diri. Saya memelototi mereka semua dan menyuruh mereka menahan
nafas atau menghirup kentutnya Jason dalam-dalam. Tak ada yang boleh tertawa,
apalagi membubarkan diri dari barisan.
Saat lagu Indonesia Raya berakhir, saya menghampiri Jason di barisan belakang. “Ini kan alami, Miss. Masa kentut harus saya tahan?
Nanti kalau saya mati gara-gara nahan kentut bagaimana?” kata anak itu dengan
tampang jahilnya. Bukan main jengkelnya hati saya. Saya cubit lengannya hingga
memerah dan melarangnya untuk tertawa biar sedikit pun. Anak itu hanya tertawa
sambil berupaya menghindar, namun gagal. Tentu saja gagal karena saya sudah
terlalu kesal untuk meloloskannya kali ini.
“Sekali lagi kamu cari gara-gara,
kamu akan saya suruh hormat bendera setelah upacara,” kata saya ketus. Jason
lagi-lagi hanya tertawa. Nyengir lebar tepatnya. Tentu ia tak mau diberi
hukuman hormat bendera selepas upacara. Hukuman ini biasanya diberikan kepada
anak-anak yang terlambat datang setelah upacara dimulai, yang tidak mengenakan
seragam lengkap hari senin – baju putih, bawahan abu-abu, rompi kotak-kotak,
tidak lupa topi dan dasi – serta anak-anak yang kedapatan ribut atau tidak
serius mengikuti upacara bendera. Mereka harus berdiri dengan sikap hormat
menghadap bendera merah putih selama 30 menit baru diizinkan mengikuti
pelajaran di dalam kelas seperti biasa.
Saya berlalu dari Jason dan
mendapati protokol telah memanggil pembaca UUD 1945. Joshua. Anak ini tak ada
bedanya dengan Jason. Setali tiga uang, atau partner in crime istilahnya. Saya baru tersadar mengapa saya
memilih anak ini sebagai pembaca UUD 1945. Mungkin saat itu saya sedang tak
konsentrasi atau Joshua memaksa saya agar ia bisa tampil saat upacara. Exhibisionist, demikian saya sering
memanggil Joshua. Ia selalu ingin tampil dan populer, namun sayangnya
kebanyakan untuk hal-hal yang ajaib.
Joshua menaiki podium untuk
melaksanakan tugasnya. Tubuhnya tinggi, tegap, sungguh meyakinkan. Saya pikir
jika tidak tahu kepribadian Jo – demikian saya memanggilnya supaya terdengar
keren, pasti para gadis akan tergila-gila padanya. Ia memang cukup tampan,
setidaknya di mata saya. Apalagi ia anggota inti tim basket sekolah. Namun
lamunan saya buyar tatkala mellihat Jo yang sedang berdiri di atas podium ini.
Sikap tubuhnya tak sempurna, kaki terbuka lebar, bahunya bergoyang ke kiri dan
ke kanan, tangannya gemetaran.
Inilah yang saya khawatirkan.
Meskipun terkadang nakal dan sok jagoan, tetapi sesungguhnya Jo itu anak yang
pemalu. Ia selalu grogi jika harus tampil di depan umum. Hanya niatnya saja
yang besar, koar-koarnya yang menggema, tetapi giliran harus tampil, ia akan
menjadi gugup. Suaranya begitu lemah dan membaca Pembukaan UUD 1945 dengan
terpatah-patah. Persis seperti anak SD yang baru belajar membaca. Atau lebih
kasarnya, seperti orang yang hidup segan, mati pun tak mau. Beberapa peserta
upacara yang berbaris tepat di depan podium terlihat geli menahan tawa. Begitu
seterusnya hingga Jo menyelesaikan tugasnya.
Jika saya bisa, saat itu juga
saya ingin menghentikan upacara. Anak-anak ini sepertinya menganggap upacara
hanya main-main. Mereka tidak bisa atau tidak mau serius. Mungkin bagi mereka,
ini semua hanyalah salah satu kenakalan yang biasa. Kenakalan yang akan segera
mendapatkan hukuman dan berlalu begitu saja. Namun saya benar-benar malu,
karena tanggung jawab saya selaku wali kelas mereka sepertinya perlu
dipertanyakan. Mengapa untuk hal sesederhana menjadi petugas upacara saja saya
tak bisa membimbing mereka. Ini benar-benar meresahkan. Sayangnya, upacara
harus terus berjalan hingga akhir.
Pembacaan Pancasila selanjutnya
oleh pembina upacara nyaris tak ada masalah. Hanya saja Rika, sang dirigen, entah
ada angin apa tiba-tiba bergerak maju ke podium saat protokol menyebutkan
giliran pembacaan Pancasila. Saya menarik baju Rika dengan segera agar ia
benar-benar tidak naik ke podium dan menyebabkan semua orang tertawa. Untung
masih sempat. Sepertinya aman, tidak ada yang melihat. Hanya Marley, si petugas
bendera, yang ketawa cekikikan melihat kejadian ini. “Maaf, Miss. Saya tidak konsentrasi, grogi,”
ucap Rika sambil tersenyum sipu. Saat tiba gilirannya, Rika memimpin lagu
nasional dan lagu mars sekolah dengan lancar.
Upacara nyaris berakhir, hanya
tinggal pembacaan doa. Saya berdoa dengan keras dalam hati agar Vera bisa
melakukan tugasnya dengan baik. Apa susahnya, pikir saya. Toh, hanya tinggal
membaca doa yang tercantum di teks dan tak akan ada yang melihat karena semua
kepala peserta upacara tertunduk. Namun rupanya tak semudah itu upacara bendera
ini berakhir. Tak secepat itu pula nasib buruk meninggalkan saya. Vera –
mungkin juga karena gugup seperti Rika dan Jo, membaca doa itu dengan suara
memelas. Persis seperti aktris-aktris sinetron yang sedang meratap saat melakukan
adegan berdoa atau menangis secara berlebihan.
Anak-anak di barisan paduan
suara, di sebelah saya, sudah sangat resah. Mereka tak dapat lagi menahan tawa
mereka. “Miss, ini kayak Baim itu
ya?” kata Jason menyebutkan salah satu bintang cilik yang memerani sinetron
Islami. “Iya, Miss. Ya Tuhan, ampuni
Baim, ya Tuhan. Baim janji tidak akan nakal lagi,” kata Halfi menambah-nambahi.
Semua tertawa kecil, berusaha agar suara mereka tak terdengar. Saya hanya bisa
memelototi mereka satu per satu sambil mengisyaratkan mereka untuk diam.
Saya benar-benar lega saat
upacara akhirnya selesai juga. Setidaknya untuk hari Senin ini. Peraturan
sekolah menegaskan jika petugas gagal melaksanakan upacara dengan baik,
kewajiban mereka sebagai petugas harus diulang kembali hari Senin minggu depan.
Apalagi, kesalahan kelas saya ini cukup fatal, yaitu di bagian pengibaran
bendera, dan sederet kekonyolan lainnya yang semestinya tidak perlu.
Lapangan upacara hampir sepi.
Para siswa berangsur meninggalkan lapangan menuju kelas mereka masing-masing.
Tinggal murid-murid ajaib ini yang masih berdiri di tengah lapangan dengan
wajah tak pasti. Sebagian nyengir, sebagian serius, dan sebagian lagi dengan
wajah tanpa dosa. Kiki dan Jason malah bercanda saling mengejar dan berusaha memanjat
tiang bendera. “Miss, lihat, saya
jadi kera sakti!” kata Jason setelah berhasil menaiki seperempat bagian tiang
bendera.
Saya hanya berdiri menghadap
mereka semua dengan wajah yang tak dapat ditebak emosinya. “Miss, marah ya? Upacaranya gagal total
ya?” kata Marley berupaya memecah keheningan saya. Ia tahu saya tak pernah bisa
sepenuhnya marah dengan mereka. Jika benar-benar marah, paling-paling hanya
bertahan satu atau dua hari saja. Ah, kelemahan saya memang di situ. Setiap
kali marah, saya pasti menyesal dan tak tega. Mereka kelamaan tahu titik itu
dan agaknya kerap memanfaatkannya.
“Tidak. Tidak. Tak ada gunanya
marah-marah kepada kalian semua. Kalian tahu kesalahan kalian dan harus
berusaha semaksimal mungkin memperbaikinya. Senin minggu depan kalian bertugas
lagi. Begitu terus sampai kalian bisa melakukannya dengan baik,” ucap saya
tegas. Anak-anak menatap saya bingung. Sepertinya mereka kurang mengerti saat
saya bilang bahwa mereka akan terus bertugas sampai semuanya berjalan dengan
baik.
“Iya, saya serius. Petugas
upacara tak boleh melakukan kesalahan, apalagi sampai bendera terbalik seperti
tadi. Jadi kalian akan bertugas lagi minggu depan. Jika minggu depan masih
salah, minggu depannya lagi kalian masih bertugas, dan begitu seterusnya,” kata
saya lagi. Suara anak-anak bersahut-sahutan. Mereka berandai jika minggu depan
mereka melakukan kesalahan yang sama. Saya perjelas jika memang mereka harus
bertugas sepuluh kali sampai benar, maka jadilah. Mereka bengong.
“Sudah, menyesal sekarang tak ada
guna. Makanya kalau mau bikin ulah, dipikirkan dulu akibatnya. Kalau sudah
begini kan kalian sendiri yang repot,” kata saya. Sesungguhnya saya ingin
sekali menguliahi mereka panjang lebar tentang makna upacara. Menjelaskan
kepada mereka tentang betapa pentingnya menghormati negeri sendiri, tentang
betapa lunturnya semangat kebangsaan generasi muda masa kini, tentang betapa
upacara bendera seolah sudah tak ada harganya lagi di mata mereka dan mungkin
saja kebanyakan anak SMA lainnya. Akan tetapi semua itu pasti tak ada gunanya.
Hanya akan membuat saya nampak seratus kali lebih cerewet di mata mereka.
Saya juga beberapa kali sempat
berpikir mengenai apalah gunanya upacara bendera di sekolah saat ini. Jika
memang dilakukan sesekali, misalkan setiap hari besar nasional, mungkin saja
upacara bendera masih akan memiliki makna yang melekat pada diri setiap anak.
Akan tetapi upacara bendera dijadikan sarapan para murid setiap Senin pagi,
kecuali pada saat ujian akhir semester atau hari hujan. Rasanya mereka pun hanya
akan melihatnya sebagai formalitas dalam artian hal yang membosankan. Buktinya,
gerombolan anak-anak yang datang terlambat dan berdiri di belakang barisan
semakin lama semakin membludak. Mereka tak peduli lagi pada apa makna yang
tersirat di dalam ritual ini.
Saya urung menceramahi mereka. Susunan
petugas upacara kemudian saya ubah. Fergie, Tegar, dan Albert jelas tak saya
ganti karena tak melakukan kesalahan. Rika dan Vera juga tak saya ubah, tetapi
mereka perlu konsentrasi lebih keras. Marley saya pertahankan sebagai petugas
bendera, karena sepertinya ia masih bisa diandalkan. Namun kali ini saya
pasangkan dengan dua anak perempuan, Chiesa dan Keshia, yang lebih serius. Kiki
saya geser sebagai pembaca UUD 1945. Mudah-mudahan formasi kali ini jauh lebih baik
dan normal. Semoga saja.
Begitulah anak-anak ini membuat
hari saya selalu berwarna. Sebenarnya bukan hanya hari ini saja mereka berlaku
mengesalkan dan menggemaskan seperti itu. Sudah tak dapat dihitung lagi berapa
hari, berapa minggu, atau bahkan berapa bulan saya dibuat jengkel oleh mereka
semua. Entahlah, saya sudah tak ingin menghitung lagi.
Sambil menatap punggung mereka
yang berhamburan membubarkan diri menuju kelas, ingatan saya terbawa ke alam
kenangan sekira enam bulan yang lalu. Awal semester pertama, sebuah masa di
mana saya pertama kali berjumpa dengan 25 anak yang ajaib ini. Anak-anak yang
kerap membuat emosi saya campur aduk, akan tetapi di luar pengetahuan mereka, memiliki
arti tersendiri dalam hidup saya.
Bagus! ceritanya mnarik dan enak dibaca! Selamat!
ReplyDelete