Ada hal kecil yang paling saya suka saat peringatan Hari
Guru Nasional menjelang. Bukan makna seremonial kelahiran PGRI di balik
dirgahayu yang jatuh setiap tanggal 25 November ini, melainkan hal yang
benar-benar kecil. Dan ini adalah kali kedua saya mengalaminya.
Tahun lalu kebetulan saya mendapatkan kesempatan untuk
menjadi wali kelas untuk pertama kalinya. Sepanjang tahun, saya membimbing 26
anak kelas 10 SMA yang sangat istimewa ini. Saya bahkan memiliki panggilan
kesayangan untuk mereka, kiddos.
Tepat pada hari guru, mereka melakukan suatu hal yang cukup
membuat saya pusing. Beberapa anak perempuan dikirim untuk memanggil saya yang
saat itu tengah berada di ruang guru.
“Miss, ada anak-anak yang bertengkar,” ucap seorang dari
mereka. Dan benar saja, suasana sangat gaduh setibanya saya di kelas.
Herannya, saya tak melihat siapa pun yang bertengkar. Mereka
hanya mengobrol, bercanda, dan beberapa anak lelaki berpura-pura mempraktekkan
gaya smack down yang
dilebih-lebihkan. Saya benar-benar tidak mengerti dan segera berbalik
meninggalkan mereka.
Dalam sekejap beberapa anak menghadang pintu. Saya tak boleh
meninggalkan ruangan, demikian mereka beralasan
Tiba-tiba beberapa anak perempuan memberikan saya sebuah
buket bunga mawar yang berhiaskan pita merah jambu. Cantik. Ke-26 anak ini
kemudian mengelilingi saya dan mulai bernyanyi lagu selamat ulang tahun.
“Saya tidak ulang tahun hari ini,” kata-kata itulah yang
meluncur dari mulut saya yang masih keheranan.
“Memang tidak, Miss. Hari ini hari guru. Bagi kami, sama
saja dengan ulang tahun Miss. Selamat hari guru!” kata seorang anak lelaki
mewakili teman-temannya.
Anak-anak memeluk saya dalam satu lingkaran yang kerap saya
sebut group hug. Anak-anak perempuan
juga memeluk dan mencium pipi saya satu per satu.
Sungguh, saya tidak siap menerima semua ini. Saya tak
menyangka anak-anak yang kesehariannya super cuek, beberapa bahkan sangat
malas, tak pedulian, luar biasa kreatif, dan sulit untuk didefinisikan, masih
menyisakan ruang di dalam hati dan pikiran mereka untuk merayakan Hari Guru.
Menghargai setiap bentuk perhatian saya kepada mereka selama ini. Saya amat
sangat terharu.
Tidak hanya itu saja, sekembalinya saya ke ruang guru, saya
menyadari bahwa saya adalah satu-satunya wali kelas yang mendapatkan kejutan
kecil dari anak-anaknya. Luar biasa membanggakan anak-anak saya ini.
Tahun ajaran ini, kiddos sudah naik tingkat. Mereka tersebar
ke dalam lima kelas berbeda sesuai penjurusan masing-masing. Saya bukan lagi
wali kelas mereka.
Namun apa yang terjadi pada Hari Guru Nasional tahun ini?
Selepas pulang sekolah, beberapa dari mereka – mewakili
teman-temannya yang lain – menghampiri saya. Sebuah buket mawar yang sama
cantiknya dengan tahun lalu dan sekotak kue cokelat diberikan kepada saya
sebagai kejutan.
Skenarionya kali ini berbeda. Sejak siang mereka menghujam blackberry messenger saya dengan pesan
yang menanyakan berbagai hal. Belakangan saya tahu bahwa mereka hanya ingin
memastikan saya ada di mana. Mereka takut saya sudah terlanjur pulang.
Mereka juga meminta bantuan salah seorang guru untuk
memanggil saya keluar dari ruang guru. “Miss, ada fansnya nih menunggu di luar.
Penting,” ucap guru itu.
Anak-anak itu sudah menunggu dengan hadiah kecil tadi. “Tidak
peduli Miss bukan lagi wali kelas kami, namun kami tetap menyayangi Miss.
Selamat hari guru, Miss,” kata seorang anak perempuan.
Saya kembali terharu. Tidak ada kata-kata di dunia ini yang
mampu menggambarkan perasaan saya maupun dapat saya ucapkan.
Saya benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan kejutan
kembali tahun ini, mengingat mereka bukan lagi sepenuhnya anak-anak saya. Namun
rupanya saya terlalu cepat menilai mereka. Rupanya saya masih cukup berarti
bagi mereka.
Saya yakin anak-anak saya ini tidak memahami sepenuhnya
mengapa 25 November diperingati sebagai hari guru.
Mereka juga pasti tidak membaca bahwa sejarah telah
menggariskan tepat 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan, para guru di masa
itu memiliki cita-cita mulia untuk mencerdaskan bangsa.
Namun saya tak terlalu peduli.
Bagi saya, Hari Guru Nasional tetap memiliki arti besar saat
murid-murid memahami pengabdian gurunya. Cinta kasih gurunya terhadap mereka.
Meski “hanya” dengan kejutan kecil seperti bunga mawar dan kue cokelat. Bagi
saya itu sudah lebih dari cukup.
Tak perlu seluruh dunia menghargai kerja kami, para guru.
Cukuplah para murid, anak-anak yang kami didik sepenuh hati, yang
mengetahuinya.
Terima kasih, anak-anakku tersayang. Dirgahayu kepada para
seluruh pahlawan tanpa tanda jasa di negeri tercinta ini.
Comments
Post a Comment