Skip to main content

Menanti Ketidakpastian di Antah Berantah






Banyak yang bilang program Life Skill tahun ini tidak akan seru seperti tahun lalu. Mengapa? Mereka yang mencibir ini menjadikan kota tujuan Life Skill sebagai alasan kuat. “Tahun lalu lebih seru lah, Miss. Di Yogyakarta. Naik bisnya rame-rame saja sudah seru, apalagi sesampainya di sana,” kata peserta Life Skill tahun lalu yang kini sudah duduk di semester 3. Yah, dia ada benarnya juga. Pasalnya Life Skill tahun lalu anak ini nyaris terlibat baku hantam dengan guru agama.

Awalnya saya juga berpikir demikian. Tahun lalu saya membawa Kiddos selama 5 hari, mulai dari sekolah sampai sekolah lagi. Mengurus segala keperluan mereka, mulai dari bangun pagi yang biasanya disertai adegan-adegan lucu hingga tidur malam yang tak kalah menjengkelkan. 5 hari 4 malam di tempat yang berjarak...entah berapa ratus kilo meter. Saya malas untuk membuka peta atau pun bertanya pada si sakti mbah google.

Nah, tahun ini konsep memang dirombak total. Kegiatan hari pertama adalah membatik di Museum Tekstil yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Kegiatan hari kedua dan ketiga akan dilaksanakan di kampung budaya Sunda, Kampung Sindangbarang, yang berada di Bogor. Total waktu kegiatan adalah 3 hari, dengan hanya menginap 2 hari 1 malam. Tak heran jika saya pun sempat ikut mencibir seperti si anak semester 3 tadi.

Akan tetapi, kalian tahu apa? Life Skill tahun ini bagi saya AMAT SANGAT menyenangkan. Sama sekali tidak kalah dengan yang tahun lalu.

Alasan utama, Life Skill merupakan kesempatan bagi saya untuk mengenal karakter setiap personil Chibis, anak-anak kesayangan saya yang baru, kelas 1E. Biasanya, kegiatan di luar kelas menunjukkan sisi lain atau sisi asli seseorang. Ada yang ternyata lebih manja dari biasanya, ada yg berjiwa pemimpin, ada yang punya inisiatif tinggi, dan ada yang tak berdaya karena penyakit yang tiba-tiba dideritanya


Kegiatan di Museum Tekstil belum sepenuhnya dapat dikatakan seru. Intinya kami hanya membatik. Tur museum dan mengenal batik sama sekali tidak menarik perhatian Chibis. Saya dapat mengingat dengan jelas Bob malah mencari foto-foto menyeramkan. Sandy memegang benda-benda koleksi yang tak boleh di sentuh. Andrea dengan rasa penasarannya ingin memasuki ruangan-ruangan tersembunyi. Kia bosan setengah mati. Dan Ucup..... yah, dia hanya menjadi ucup. Sama seperti biasanya.

Kegiatan membatik sebenarnya cukup menyenangkan. Beberapa anak perempuan saya amati menggunakan canting dengan luwes sehingga menghasilkan desain yang rapi, misalnya saja Cathalin dan Jesline. Beberapa lelaki juga tak kalah apik, seperti hasil karya Moko dan Anjas. Belakangan Anjas meraih juara 3 sebagai karya batik terbaik dari seluruh peserta Life Skill yang berjumlah 141 anak. Betapa bangganya saya!


Hari kedua saat kami meluncur ke Kampung Sindangbarang, baru mulai terasa seru. Akibat kurang koordinasinya kami selaku panitia dengan pihak Kampung Sindangbarang, anak-anak yang tadinya naik 3 bus besar harus transit dan berganti 1 bus kecil dan 1 elf. Itu pun tak bisa sekali angkut, namun harus 3 kali bolak-balik. Sebagai penghuni bus terakhir, maka Chibis pun mendapat giliran terakhir. Bayangkan lebih dari 1 jam kami harus menunggu di dalam bus!

Di satu titik rupanya tingkat kejenuhan anak-anak, terutama anak-anak lelaki, sudah tidak dapat ditoleransi lagi. Si Bob dengan gitarnya kabur turun dari bus diikuti segerombolan Chibis boys lainnya. 13 anak lelaki lari tunggang langgang turun dari bus menuju jalan raya. Bob dan gitarnya berada di paling depan. Dan sekonyong-konyong mereka menyanyi bak pengamen di pinggir jalan. Saya benar-benar geli kalau membayangkan kejadian ini kembali.

Miss Christine, kepala perpustakaan yang juga satu bus dengan saya, berlari menghampiri saya dengan panik. “Miss, anak-anaknya nanti tertabrak mobil!” Rupanya Miss Christine sama sekali belum tahu tak ada gunanya melarang Chibis boys dalam melepaskan kegilaannya. Namun saya tak ingin citra kelas saya buruk sebelum tiba di lokasi kegiatan. Jadi saya hampiri mereka dan menggiring kembali masuk ke dalam bus. Persis seperti domba saja perlu digiring.

Saya tak sepenuhnya menyalahkan anak-anak karena menunggu adalah perbuatan yang sangat membosankan. Apalagi di bawah terik matahari yang mengalahkan sejuknya pendingin di dalam bus. Terakhir, saya biarkan saja mereka berjalan-jalan di sekitar bus atau main bola. Asal tidak ngamen lagi di pinggir jalan raya.

Kegiatan di Kampung Sindangbarang cukup menyenangkan karena banyak dilakukan di luar ruangan. Anak-anak mempelajari beberapa permainan tradisional Sunda, menanam padi, bermain di empang, dan menangkap ikan. Seru. Saya juga tidak menyangka bahwa anak-anak perempuan seperti Vanny atau Dena benar-benar berani menangkap ikan. Satu hal yang paling mengerikan dalam hidup saya adalah memegang ikan yang masih hidup.

Di mana saya saat itu ya? Ah, Peter si ketua geng Chibis terkapar sakit di rumah utama. Jadi sebagai homeroom yang baik saya harus memastikan kondisinya baik-baik saja. Sayang juga, sebenarnya saya ingin melihat anak-anak bermain di empang. Apalagi melihat si Ucup yang sepulangnya dari sana persis anak kampung yang habis main di sawah. Sumpah, dekil!

Peter yang sakit dimanfaatkan beberapa anak lelaki untuk melarikan diri dari kegiatan membuat kerajinan tangan yang termasuk paling menjemukan sore itu. Willy, Barry, Ucup, Anjas, Finan, Basma, dan entah siapa lagi ikut-ikutan merawat Peter di rumah utama bersama saya dan Mr. Patrick. Hahahaha... kesempatan!

Namun malamnya saat saya mengecek kembali kondisi si ketua geng, saya hanya mengajak Willy, sahabatnya yang setia. Just say, ever since that day, there’s a side of him that makes me understand why does he always show that hard to handle attitude.

Malam itu pula saatnya talent show yang menghebohkan. Persiapannya saja para Chibis harus bersitegang. Dena marah besar. Anak-anak lelaki ngambek. Barry ngambek. Cindy menangis. Jasmine sakit. Ah, urusan tak penting macam ini saja perlu saya untuk turun tangan.

Akhirnya saya ambil jalan pintas. Anak perempuan menyanyi lagu cinta dengan manis, sementara anak-anak lelaki boleh menampilkan kegilaan mereka. Dan mereka memilih untuk moshing hingga membuat saya khawatir balai yang terbuat dari kayu itu sebentar lagi akan rubuh. Belum lagi melihat wajah para guru yang mendadak cemberut. Akhirnya Chibis memperoleh nilai paling rendah. Jauh dari kata menang. Namun bagi saya mereka lah yang paling menghibur. Mereka selamanya pemenang di hati saya.


Hari terakhir kami melakukan tracking ke situs sumur tua dan melihat pembuatan telur asin di peternakan bebek. Baunya minta ampun! Tetapi Chibis harus solid. Semua harus turut serta membuat telur asin dan pakan bebek. Termasuk saya.
               
Hari terakhir pula saya mulai terbuka dengan Chibis girls. Kami bermain truth or dare. Pertanyaan mereka yang teramat sulit bagi saya adalah saat mereka bertanya siapa Chibis yang paling saya “sayang” dalam artian hard to handle? Benak saya hanya memikirkan dua nama, namun pada akhirnya saya hanya menyebutkan satu saja. Saya tak ingin mereka salah paham dan menyangka saya punya anak kesayangan.

Hari terakhir juga sempat diwarnai dengan insiden yang agak mengkhawatirkan karena blackberry Barry disita. Salahnya sendiri mengambil dari box tanpa seizin saya. Untung saya bisa memperolehnya dengan cepat sehingga langsung saya kembalikan kepada pemiliknya. Insiden berikutnya adalah duet konyol Bob dan Ucup yang tertangkap basah membakar lalu menghisap kardus. Entah apa maksudnya dan bagaimana caranya. Yang jelas, Miss Asih menyangka mereka merokok.

Untunglah di penghujung acara saya terhibur karena Moko terpilih sebagai juara 4 dan Vanny juara 3 peserta terbaik. Moko saya rekomendasikan karena disiplin dan inisiatifnya tinggi. Sementara Vanny karena kepedulian sosial yang luar biasa. Saya bangga, Chibis!

Lalu di hari terakhir ini rupanya kami masih harus berhadapan dengan kegiatan menunggu! Bus kecil yang kami pakai transit selip di lapangan sehingga lagi-lagi sebagai penumpang bus terakhir kami harus menunggu tanpa kepastian di Kampung Sindangbarang. Bosan, hujan, dan petir yang mengerikan. Apalagi Moko yang turut membantu menyelamatkan bus harus mengalami keseleo.

Jadwal pulang yang semestinya pukul 2 siang bergeser amat jauh hingga beberapa jam kemudian. Namun akhirnya kami bisa pulang ke peraduan masing-masing yang nyaman dengan selamat.


Jangan bandingkan Bogor dengan Yogyakarta. Jangan bandingkan pula 5 hari 4 malam dengan 3 hari yang padat ini. Namun bandingkanlah sensasi dan pengalamannya. Bagi saya tidak ada Life Skill yang tidak seru. Setiap Life Skill saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengenal kelas saya. Jika dahulu Kiddos, maka sekarang giliran Chibis.

Dan, kalian semua mau tahu rahasia terbesarnya? Sejak saat itu, saya yakin sepenuhnya bahwa saya jatuh cinta pada anak-anak saya yang baru ini. The 26 0f them!

Love,
Miss Tya

Comments

Popular posts from this blog

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Pahlawan & Kita: Sebuah Perayaan Bersama Para Alumni

  Hari ini, 10 November 2020, para siswa SMA Global Prestasi mendapatkan satu pertanyaan ketika Student’s Assembly . Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun memiliki makna mendalam, karena bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan: “Siapakah pahlawan di dalam kehidupanmu?” Berbicara soal pahlawan, mungkin dibenak para siswa SMA Global Prestasi yang terlintas adalah para tokoh pejuang, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, atau bahkan Bung Tomo sendiri yang 75 tahun silam di hari yang sama mengobarkan semangat para pemuda Surabaya dalam orasinya. Akan tetapi, ketika ditanya mengenai siapa sosok pahlawan dalam kehidupan pribadi, setiap siswa punya jawaban yang tak jauh berbeda; yakni orang tua dan para guru yang telah membimbing dan menginspirasi sepanjang kehidupan mereka. Mengusung tema “Pahlawan & Kita” yang menyiratkan bahwa sosok pahlawan ternyata ada di kehidupan sekitar kita, tahun ini SMA Global Prestasi kembali mengenalkan para siswanya kepada lulusan-lulusan terbaik yang...

Berhenti Berbicara, Mulailah Menari!

  “Cara untuk memulai adalah berhenti bicara dan mulai melakukan.” Kata-kata sederhana itu entah mengapa tak pernah bisa lepas dari alam pikiran saya. Meskipun sang penuturnya telah lama berpulang, bahkan puluhan tahun sebelum saya dilahirkan. Walt Disney, sosok yang bagi saya mampu mewujudkan alam mimpi menjadi nyata dan menyenangkan. Sebagai seorang pendidik, berbicara merupakan makanan sehari-hari bagi saya. Di depan kelas – kelas virtual sekalipun, saya dituntut untuk terus berbicara. Tentu bukan sekedar asal bicara, melainkan menuturkan kata-kata bijak yang bersifat membimbing, memperluas pengetahuan, memperkaya wawasan, dan mengembangkan karakter anak-anak didik saya. Tidak sehari pun saya lalui tanpa berbicara penuh makna sepanjang 10 tahun saya menjadi seorang pendidik. Apa saja yang saya bicarakan? Tentunya banyak dan tak mungkin muat dalam 500 kata yang harus saya torehkan di sini. Namun salah satu yang saya tak pernah berhenti lantunkan kepada anak-anak didik adalah ...