Skip to main content

Mengenang Kembali Bu Kris, Mengenang Kembali Matematika

Nama beliau, Bu Kris. Entah siapa nama panjangnya, ingatan saya terasa begitu samar saat mencoba menguak kembali kepingan kenangan dengan beliau. Saya hanya ingat suaranya yang agak serak dan pelan, namun memberikan kesan teduh. Senyuman dari mulutnya yang mungil dan kerut-kerut di wajahnya saat beliau tersenyum kepada kami, murid-muridnya. Saya juga ingat setelan safari cokelat mudanya yang selalu rapi dan serasi dengan pump shoes berwarna senada, serta rambutnya yang selalu disanggul rapi a la French twist.

Memori berusia lebih dari dua puluh tahun silam ini meski abu-abu, akan tetapi memiliki kesan yang terasa hangat di ruang-ruang jiwa saya. Saya yang kala itu masih mengenakan seragam putih merah, kaos kaki putih panjang yang rasanya tak henti-hentinya saya tarik ke atas hingga nyaris menyentuh lutut, sepatu hitam bertali, plus rambut model bob yang rasanya jadi potongan rambut paling praktis bagi gadis cilik yang baru menginjak usia belasan tahun yang pertama. Seolah masih sosok yang sama dengan saya yang kini tengah mengetukkan jari-jari di atas papan ketik dan mencoba mengenang kembali Bu Kris.

Bu Kris hanya menyapa kehidupan saya dan teman-teman dalam sekejap. Rasanya hanya beberapa bulan, tak sampai satu tahun ajaran. Lalu pada suatu ketika, kami mendapatkan kabar bahwa beliau tak bisa lagi berada di tengah-tengah kami. Penyakit yang saat itu namanya begitu asing di telinga saya perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. “Sudah dengar belum, Bu Kris dirawat di Rumah Sakit Dharmais gara-gara kanker payudara,” ucap salah seorang sahabat saya.

Sungguh, saya tak dapat memahami sedikit pun ucapan sahabat saya itu. Kanker terasa begitu tidak nyata dan Rumah Sakit Dharmais yang di awal tahun 1990an itu memang baru diresmikan, terasa begitu jauh di ujung dunia. Seorang anak kecil tentu tak mampu membayangkan guru yang sedang berjuang melawan maut, bukan? Guru dalam benak setiap anak, seharusnya selalu hadir di ruang kelas dan mengajar murid-muridnya dengan ceria.

Kehadiran Bu Kris yang selintas lalu dalam kehidupan saya ternyata mampu memberikan kesan yang mendalam dan mengubah pandangan saya terhadap mata pelajaran yang paling saya takuti. Apalagi kalau bukan matematika.

Saya memang tak pernah terlalu pandai berhitung. Angka dalam benak saya begitu abstrak. Konsep angka tak bisa saya bayangkan secara visual maupun imajinatif. Entah angka itu serupa apa, yang jelas saya lebih sering menyerah sebelum berusaha dan ketakutan setiap kali mendengar guru matematika memanggil nama saya untuk menjawab soal di papan tulis. Terkadang saya berdoa dalam hati agar saya lenyap di telan bumi secara mendadak alih-alih maju ke depan kelas dan gagal menjawab soal dengan benar.

Semua berubah ketika saya berjumpa dengan Bu Kris. Di mata saya beliau membuyarkan seluruh stereotype saya tentang guru matematika paruh baya yang tegas, jarang tersenyum, dan selalu menjejali kami dengan soal yang tak mampu saya rangkai dengan kata-kata.

Sebenarnya awal perkenalan saya dengan matematika memang cukup “menyeramkan” karena culture shock dari pendidikan yang saya terima di luar negeri – di mana guru lebih terlihat santai dan ruang kelas lebih berwarna, dan mendadak berganti dengan pendidikan sekolah dasar di Indonesia yang lebih ketat dan materi pelajaran yang lebih banyak. Tetapi itu cerita yang mungkin akan saya tuturkan lain kali.

Bu Kris tak pernah terlihat seperti guru matematika yang ada dalam benak saya saat itu. Beliau lebih ceria, menyajikan angka seolah mereka adalah nada-nada yang dapat kita nyanyikan dan mainkan sesuka hati kita. Dan ajaibnya, bersama Bu Kris, saya mendadak mampu memahami angka-angka seolah mereka adalah sahabat lama yang menghilang dan kini telah berjumpa kembali. Berhitung ternyata tak sesulit yang saya kira dan guru matematika ternyata tak seseram yang saya bayangkan.

Bu Kris juga memberikan kesan pada saya bahwa dalam kehidupan, apa pun yang kita tekuni, memiliki sedikit sentuhan seni itu penting karena mampu membuat karakter kita menjadi menyenangkan. Bu Kris sendiri seingat saya mencintai seni batik Indonesia. Beliau yang setiap hari mengajari kami angka-angka, ternyata mampu juga mengajari kami nama-nama kain tradisional yang ada di seluruh Indonesia. Betapa saya sangat kagum sisi Bu Kris yang terlihat luwes dan juga tidak kaku seperti kebanyakan guru matematika dalam benak kecil saya saat itu.

Ketika Bu Kris berpulang, kami sungguh bersedih. Kepergian beliau bagi saya menyisakan sebuah rongga dalam masa sekolah saya. Saya tak pernah lagi mampu menekuni dan menyukai matematika semenjak tak ada lagi Bu Kris yang membimbing saya belajar. Angka-angka kembali menghilang dari benak saya dan saya pun kembali mengalami kesulitan untuk memahaminya. Begitu pun untuk memahami mengapa Bu Kris hanya mampir sebentar saja dalam kehidupan sekolah saya. Mengapa Bu Kris tak mengajari saya matematika lagi? Mengapa Bu Kris harus berpulang begitu cepat?

Bu Kris dan semua guru memang memiliki kesan tersendiri dalam kehidupan saya. Mungkin hal itu pula lah yang membawa langkah saya kini menjadi seorang guru. Terima kasih, Bu Kris. Terima kasih, guru-guruku tersayang…

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...