Skip to main content

Malaikat Berkacamata Retak

Ilustration by jerryjenkins.com

Beberapa minggu belakangan, benak saya dipenuhi oleh pertanyaan mengenai apa makna kehadiran guru dalam kehidupan seseorang. Saya tumbuh besar seperti sekarang ini tentu tak lepas dari jasa dan welas asih dari para guru dalam membimbing saya.

Hari ini saya ingin bertutur tentang salah seorang guru lainnya yang tak mudah terlupa hingga sekarang. Mengenai kebersahajaannya, kesederhanaannya, dan ketulusan hatinya menghadapi saya dan teman-teman saya yang tengah berada di puncak keemasan masa remaja. Nama beliau, Pak Dendi. Beliau mengajar Ilmu Akuntansi saat saya mengambil jurusan IPS di SMA.

Bagi saya dan teman-teman, mungkin beliau adalah malaikat. Bukan malaikat tanpa sayap, lazimnya sebutan bagi manusia-manusia yang selalu berbuat baik. Akan tetapi, malaikat berkacamata retak. Mengapa saya sebut demikian?

“Saya tahu bagi kalian pak Dendi itu sangat baik hati. Bahkan seperti malaikat kalau saya boleh bilang.”

Ucapan itu meluncur dari mulut ibu Kepala Sekolah, tatkala beliau masuk ke kelas kami pada suatu siang. Saya tak ingat mengapa beliau masuk ke kelas kami dan berkata demikian, yang jelas hari itu pak Dendi tak bisa hadir ke sekolah. Ruang dalam benak saya pun tak menyisakan ingatan akan alasan pak Dendi tak dapat hadir. Hanya ada kilasan-kilasan di minggu tersebut, pak Dendi datang ke sekolah dengan penampilan yang “baru”: bagian kanan atas kacamatanya retak dan gagangnya disambung seadanya dengan menggunakan solasi.

 Bagi saya dan teman-teman, ini adalah pemandangan yang cukup menyayat hati. Pasalnya, kami selalu menyukai beliau, karena kebaikan hatinya juga kesederhanaannya.

Beliau mengajar Akuntansi – ilmu hitung uang yang bagi sebagian besar anak-anak IPS menjadi momok alias pelajaran yang sulit. Namun beliau selalu sabar, bahkan terhadap anak yang tak mampu menguasai jurnal penyesuaian dengan cepat.

“Akuntansi itu seperti sulap. Kalian harus mengisi lajur kanan dan kiri, debet dan kredit, dengan jeli, lalu simsalabim! Kalian akan mendapatkan hasil yang sama antara keduanya di akhir,” kata beliau berkelakar suatu hari.

Cara mengajar beliau seperti itulah yang membuat Akuntansi tak pernah menjadi sulit bagi saya. Tak pernah memaksakan, sehingga ilmu yang terasa sulit pun menjadi menyenangkan layaknya sebuah permainan.

Kami juga tahu persis bagaimana keseharian pak Dendi, Beliau berangkat dan pulang sekolah dengan menggunakan bus yang sayangnya trayeknya tak berhenti di depan sekolah. Jangan bayangkan ojek online yang mampu mengantar penumpangnya sampai tujuan. Saat itu di pertengahan era 1990an, segala kemudahan moda transportasi umum seperti sekarang ini belumlah ada. Alhasil, beliau harus berjalan kaki menggendong ransel besarnya sekira satu kilo meter ke sekolah.

Bagi kebanyakan guru di daerah, mungkin ini hal biasa. Akan tetapi, bagi saya dan teman-teman yang saat itu adalah murid-murid di kota besar, ibu kota negara, di sekolah yang bonafid pula, pemandangan seperti itu amat terasa asing. Kami sungguh terenyuh melihat guru kami yang begitu sederhana meskipun kami tahu mengajar di sekolah tempat kami belajar, guru-guru amat lekat dengan hidup sejahtera. Beberapa guru kami bahkan memiliki mobil dan motor pribadi. Satu tahun sekali, satu guru juga akan diberangkatkan untuk menjalani ibadah umroh oleh pihak yayasan sekolah secara bergantian.

Ketika kami tanya perihal kacamatanya yang retak, beliau hanya berkelakar dan tak pernah membuka rahasianya. “Oh, ini gara-gara saya berantem sama bayangan saya, terus saya kalah. Jangan ditiru ya!” ucapnya ketika ditanya. Lagi-lagi berkelakar.

Hingga detik ini, berpuluh tahun kemudian, saya tak pernah tahu penyebab kacamata beliau retak dan mengapa butuh waktu beberapa pekan hingga ia mengganti kacamatanya itu dengan yang baru. Rasanya teman-teman saya pun tak pernah tahu. Kami hanya bisa menduga, apakah beliau mengalami kecelakaan? Atau ada yang menyakitinya? Atau kacamatanya tanpa sengaja terlepas dan terjatuh? Entahlah.

Semoga sehat selalu pak Dendi, di mana pun kini Bapak berada. Salam hormat dari kami murid-murid yang akan selalu berterima kasih atas ilmu yang Bapak berikan kepada kami.


Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...