Entah mana yang lebih menyakitkan, sebuah kebohongan atau
janji yang tak dapat ditepati.
Sebuah kebohongan, setidaknya sudah menunjukkan niat sang pembohong
yang sejak awal hampir dapat dipastikan buruk. Namun sebuah janji? Ia dibuat
dengan penuh harapan. Terkadang, janji yang patah berdampak jauh lebih buruk
daripada kebohongan. Janji yang patah tak hanya membuat orang yang dijanjikan kehilangan
kepercayaan, namun ia juga akan kehilangan harapan.
Dan kamu pernah berjanji akan mencintaiku seluas jagad raya...
*****
“Mungkin saat ini cintamu sebesar Jupiter, dan aku hanyalah
Uranus. Namun cintaku akan terus berkembang melebihi Jupiter, sementara kamu
hanya akan tetap menjadi Jupiter. Selalu menjadi Jupiter.”
Aku ingat kamu mengucapkan kata-kata ini kepadaku, saat kita
masih berseragam putih abu-abu. Saat itu kamu memang sering menggila,
menyatakan perasaanmu kepadaku, kapan pun dan di mana pun. Akan tetapi aku
tidak pernah menyukai kata-katamu itu. Semua hanya membuat seolah-olah aku
tidak mencintaimu.
“Tentu saja aku selalu akan menjadi Jupiter,” kataku masam.
“Hahaha... Aku bercanda. Kamu memang akan selalu menjadi
Jupiter. Jupiterku,” balasmu seraya tertawa.
Jangan salahkan aku jika aku memiliki nama yang aneh. Siapa
pula yang akan menamai seorang anak perempuan dengan Jupiter, kecuali ayahku
yang ahli astronomi dan tergila-gila dengan planet-planet di tata surya.
Saat Ibu tengah hamil aku, Ayah mengira bayi laki-laki yang
akan lahir ke dunia. Makanya nama Jupiter sudah disiapkan sejak awal. Ayah
berharap bayinya ini akan berjaya laksana planet terbesar atau raja segala dewa
yang menguasai langit dan halilintar.
Nyatanya, yang lahir adalah aku. Bayi perempuan bertubuh
mungil yang harus masuk inkubator selama dua minggu. Dan membuat Ibu
menghembuskan nafas terakhir akibat perdarahan serius. Ayah kemudian menjadi
gila akibat kematian Ibu. Cintanya yang begitu mendalam membuatnya terjun bebas
dari atap kantornya yang berlantai dua puluh.
“Tidak ada planet yang lebih besar dari Jupiter, jadi tetap
saja rasa cintaku yang paling besar,” kataku tak mau kalah.
“Mungkin memang bukan planet. Aku akan mencintaimu seluas
jagad raya. Aku akan selalu menjagamu. Tak akan pernah meninggalkanmu.”
Begitulah kamu. Selalu membuatku terlena pada sosokmu.
Kakak, kekasih, atau entah apa lah sebutan yang pantas bagimu. Kamu yang telah
kukenal hampir seumur hidupku.
Kamu memang begitu mudah dicintai. Kamu begitu mudah
dipercayai. Aku menggantungkan seluruh harapanku kepadamu.
Aku laksana planet Jupiter yang dalam galaksi bima sakti,
memiliki pendar kehijauan yang tak kalah indah dari rona jingga planet Venus.
Tak kalah kokoh laksana tameng merah planet Mars. Kilauku sempurna karena kasih
sayang yang kamu berikan kepadaku.
*****
Aku ingat segalanya mulai berubah di tahun terakhir sekolah.
Saat itu menjelang Ujian Nasional. Kamu membuatku terkejut dengan kata-katamu.
“Aku akan pergi, Jupiter. Tidak akan ikut Ujian Nasional,”
ucapmu.
Aku terkejut bukan main. Entah petir baru saja menyambar
otakmu hingga korslet atau kamu sudah benar-benar gila.
“Bandku, Jupiter. Kami dapat tawaran jadi band pembuka di
festival band besar. Minggu depan kami sudah harus memulai segala persiapan
untuk tur ke 26 kota. Ini kesempatan emas, tidak akan datang dua kali,” katamu
lagi. Antusias. Aku seolah bisa melihat kilatan terpancar dari matamu.
Band adalah segalanya bagimu. Sejak kecil, aku tahu dengan
pasti kamu akan memilih jalan menjadi musisi. Suaramu yang khas, kepiawaianmu
bermain alat musik, dan kelihaianmu menggubah lirik benar-benar tak biasa.
Apalagi ketika kamu sudah naik ke atas panggung, duduk di
hadapan piano, dan mulai bernyanyi diiringi bandmu, Razorblade. Entah dari mana kamu mendapatkan ide nama band setidak
menarik itu. Silet, mungkin kira-kira
seperti itu jika diterjemahkan ke bahasa ibu.
Ekspresi kegilaan serius yang terpancar dari sorot matamu
saat bernyanyi, selalu membuatku terpana. Kamu bukan tipe penyanyi yang membuat
pendengarnya merasa teduh, melainkan bersemangat dan penuh gejolak. Seolah ada
daya magis jika tersentuh tatapanmu. Aku selalu membayangkan kamu akan
melegenda seperti Freddie Mercury.
“Tetapi bagaimana dengan sekolah?
Papa dan Mama?” Hanya kata-kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Padahal,
banyak yang ingin kuutarakan. Jangan
pergi, tetaplah bersamaku di sini. Temani aku. Aku menyayangimu. Aku tidak bisa
hidup tanpa sosokmu yang selalu menaungiku. Aku bisa gila. Aku akan mati.
“Aku tak peduli dengan sekolah.
Aku tak butuh ijazah. Aku ingin bermusik. Hanya itu tujuan hidupku. Musik dan
kamu.” Kamu menatapku, lembut.
“Kalau begitu, jangan pergi.
Jangan tinggalkan aku...”
“Aku harus pergi, sayang. Ini
mimpiku. Aku tahu Papa dan Mama akan mengusirku karena ini. Aku mohon
setidaknya ada satu orang di dunia ini yang mendukung pilihanku. Kamu, Jupiter...”
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin
sekali mengikutimu ke mana pun kamu pergi. Akan tetapi aku tak berani. Aku tak
punya nyali meninggalkan Papa dan Mama, orang tuamu yang telah mengasuhku sejak
kecil. Hanya mereka yang sudi menerimaku karena tak tega melihatku, putri
sahabat mereka, terlempar ke sana-sini tanpa ada sanak saudara yang mau
menyayangi. Aku harus menghormati mereka sepanjang hidupku.
“Jupiter, percaya kepadaku. Aku akan kembali.
Satu atau dua tahun, entahlah. Tunggulah aku. Tolong jaga Papa dan Mama. Aku
menyayangi mereka.”
“Katamu kamu mencintaiku seluas
jagad raya. Lebih besar dari planet Jupiter. Nyatanya kamu berbohong.”
“Tidak, aku memang mencintaimu.
Lebih besar dari planet Jupiter. Aku adalah jagad rayamu.”
“Jika kamu pergi, maka jagad
rayaku binasa. Planet Jupiter tak akan bisa bernaung tanpa jagad raya. Tidak
akan pernah ada Jupiter atau planet apa pun tanpa jagad raya. Jagad raya pun
akan hampa tanpa planet Jupiter. Kita saling melengkapi. Ini sama saja dengan
mati.”
“Relakan saja aku, Jupiter. Aku
akan kembali suatu hari nanti. Hanya untukmu. Aku berjanji...”
Itu adalah kata-kata terakhirmu. Kamu pergi tanpa pamit kepada Papa dan Mama. Mereka teramat kecewa. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Tak juga pernah bisa merelakanmu, karena aku tak pernah merasakan kasih sayang sepanjang hidupku, kecuali kasih sayang yang kamu berikan.
Dan kini, hidupku menjadi suram.
Planet Jupiter perlahan-lahan kehilangan pendar cahaya kehijauannya yang pada
saat-saat tertentu, mampu terlihat dengan indahnya dari bumi.
*****
Lima tahun.
Aku terus menantimu selama lima
tahun.
Papa mengirimku ke sekolah seni
di Paris untuk menekuni impianku. Sedari kecil bakat seni memang mengalir di
darahku. Aku paling senang melukis dengan menggunakan cat minyak. Di media apa
pun, terutama kanvas. Kata Mama, Ibuku dahulu adalah seorang perupa. Beberapa
patung pahatannya masih dipamerkan di galeri seni kecil di sudut kota.
Satu tahun pertama usai lulus
SMA, aku menolak pergi ke Paris dan alih-alih belajar di institut seni lokal.
Namun sifatku yang semakin lama semakin diam dan lukisanku yang terlalu suram
membuat Papa khawatir dan akhirnya mengantarku sendiri ke Paris di tahun berikutnya.
Kata Papa, aku memerlukan perubahan suasana. Padahal yang kubutuhkan hanyalah
kamu kembali dalam hidupku.
Sedari dulu Papa dan Mama memang selalu
begitu. Khawatir, cemas, kasihan. Hanya itulah yang kurasakan dari mereka. Mereka
memang menyayangiku, namun berdasar rasa iba. Tidak seperti dirimu yang selalu
berbagi pikiran dan perasaan denganku.
Sebenarnya tak heran Papa
khawatir. Orang-orang di institut seni lokal menjulukiku Dewi Kematian karena selalu melukis apocalypse. Planet Jupiter terhantam meteor, jagad raya yang
tersedot ke lubang hitam, dan segala skenario kiamat lainnya. Apocalypse versiku, yang selalu
melibatkan planet Jupiter dan semesta. Aku dan kamu.
Tiga tahun aku belajar di Paris.
Sepi. Tak ada siapa pun. Tak ada pula kabar darimu. Aku hanya sempat mengikuti
perkembangan di media sosial, band Razorblade
berhasil merilis album di tahun kedua aku belajar di Paris. Tiga tahun setelah
kamu meninggalkanku. Nama album perdanamu, Jupiter.
Aku coba menghubungimu, berharap
bahwa album itu adalah sebuah pertanda bahwa kamu benar-benar merindukan dan
akan kembali kepadaku. Akan tetapi kamu tak merespon semua akun media sosialmu.
Nomor teleponmu pun sepertinya sudah berubah. Kamu tak pernah bisa dihubungi
semenjak hari di mana kamu meninggalkanku.
Aku pulang ke Tanah Air ketika
aku dengar bandmu akan manggung di ibukota. Aku tahu Papa dan Mama menentangku,
tetapi aku membeli tiket dan datang ke konsermu. Berharap bisa berjumpa
denganmu. Berbicara, mendekap, atau mungkin sekedar menatap wajahmu. Apa pun.
Dan di situlah kamu. Di atas
panggung. Di depan piano. Masih dengan ekspresi kegilaan serius yang menjadi
ciri khasmu. Namun tatapanmu terasa dingin. Tidak hangat seperti yang selalu
kurindukan. Kamu seperti orang yang berbeda. Aku seolah tak mengenalmu.
Aku tak sanggup menyaksikan
konsermu hingga selesai. Aku menunggu dalam diam di belakang gedung konser, di
dekat pintu keluar artis. Entah berapa lama aku berada di sana hingga kilatan
kamera tiba-tiba mengejutkanku. Serombongan jurnalis foto mengerubungi pintu
keluar dan di sana lah sosokmu berada. Berdiri kaku, melihat wajahku. Seolah
melihat hantu.
Aku memanggil namamu, namun kamu
berpaling. Berbalik memunggungiku. Pergi meninggalkanku sekali lagi.
Siapa kamu sebenarnya?
Mengapa kamu tak pernah mencariku?
Mengapa kamu biarkan cahaya
planetku semakin redup?
*****
Selepas Paris, aku kembali
bersama Papa dan Mama. Akan tetapi aku hanya melukis. Setiap hari aku melukis.
Satu lukisan butuh waktu berminggu-minggu untuk kuselesaikan karena teknik yang
kupelajari dari para profesorku selama di Paris. Aku semakin mahir.
Lukisanku tak lagi bertutur soal apocalypse planet Jupiter dan jagad raya. Aku sudah mulai bisa melukis mengenai
kehidupan. Mengenai manusia yang berpijak di bumi. Namun auranya semakin suram. Selalu ada rona kesedihan yang
terpancar dari setiap karyaku. Dan jiwaku semakin mati.
Sebuah ketukan pelan terdengar di
pintu. Aku yang sedang menatap kosong pada karya terbaruku, terkejut seketika.
Mama.
“Jupiter, kurator itu datang lagi
ke rumah,” kata Mama seraya menerobos masuk ke apartemen mungil yang kusulap
menjadi studio lukis.
“Minta dia jangan datang lagi,
Ma. Aku tidak tertarik pada apa yang ia tawarkan sejak tiga bulan lalu.”
“Beri dia kesempatan untuk
menilai lukisanmu, Jupiter. Dia atau entah berapa kurator lainnya yang selalu
datang mengganggu kesibukanku di dapur.”
“Tidak, Ma. Aku benar-benar tidak
tertarik. Lukisanku tidak untuk dipamerkan atau pun dijual. Lukisanku hanya
untukku. Mereka semua yang kutolak seharusnya sudah mengerti itu.”
“Mengapa tak kamu coba dulu,
Jupiter? Pilih satu kurator dan satu galeri. Mereka semua berkata jika
lukisan-lukisanmu pantas dipamerkan.”
“Mereka belum pernah melihat
lukisanku secara langsung, Ma.”
“Justru itu. Mereka rata-rata
mendapatkan referensi dari profesormu di Paris dan melihat katalog hasil ujian
akhir di kampusmu itu. Mereka ingin menilai langsung dan mungkin memintamu
untuk memamerkan karya-karyamu di galeri mereka.”
“Tidak, Mamaku sayang.”
“Lalu lukisan-lukisan ini akan
kamu biarkan saja bertumpuk di studiomu seperti ini? Jupiter, kamu lama-lama
bisa keracunan cat minyak di dalam ruangan sempit ini!”
“Tidak akan, Ma,” kataku tertawa.
“Ah, Jupiter. Kami
mengkhawatirkanmu. Mengapa kamu tidak pulang saja dahulu? Apartemen ini tidak
sehat untukmu. Terlalu jauh dari rumah. Demi Tuhan, kaki tuaku tak sanggup lagi
rasanya jika harus menyetir mobil kemari!”
“Di sini aku tak akan mendapat
gangguan. Lagipula aku sedang menyelesaikan karya terakhirku. Ini akan menjadi
karya besar, Ma,” kataku seraya menunjuk pada kanvas premium berukuran 100 x
150 cm yang mulai menampakkan guratan-guratan cat minyak berwarna hijau.
“Jupiter...” Mama menatap lukisan
itu dan memperlihatkan wajah cemasnya. Ada sesuatu dalam lukisanku yang membuat
Mama gusar, dan aku tahu apa itu.
“Minta mereka semua pulang saja
ya, Ma? Jika mereka datang lagi.” Aku mengecup pipi Mama dan mengantarkannya
keluar dari studio lukisku.
Aku tahu Mama bermaksud baik.
Namun aku benar-benar sedang ingin sendiri dan menyelesaikan karyaku ini.
Sebuah karya yang menurutku adalah akhir dari segalanya. Sebuah karya yang
sejak tahun lalu masih belum sanggup kurampungkan. Terlalu berat
menyelesaikannya. Terlalu banyak emosi yang terlibat. Aku bisa saja gagal.
Sebuah karya terakhir yang
menampakkan pendar hijau planet Jupiter, setelah bertahun-tahun aku tak pernah
melukisnya kembali.
*****
Sore itu begitu dingin. Semilir
angin menusuk tulangku. Meniup lembut setiap helai rambut panjangku. Ada
perasaan takut menggerogoti batinku, namun keputusanku sudah bulat. Aku tak
pernah merasa seyakin ini sepanjang hidupku.
Jika maha karyaku telah selesai,
maka selesai pula lah arti hidupku.
Dan di sini aku berada. Di atap
gedung apartemenku. Lantai dua puluh. Bersiap
di tepian atap. Persis seperti Ayah.
Tiba-tiba pintu menuju atap
terbuka kencang. Kamu.
“Jupiter...”
Aku tak mengerti, apa yang tengah
kamu lakukan di sini? Apakah ini hanya mimpi? Bukankah konon katanya kita bisa
melihat hal-hal yang paling kita rindukan dalam hidup menjelang detik-detik
terakhir? Menjelang penghabisan.
“Jupiter, maafkan aku. Aku
berusaha mencarimu. Sudah beberapa hari ini aku mencoba mendatangi Mama dan memaksanya memberitahuku tentangmu.”
Aku tak mampu berkata apa-apa.
“Aku masuk ke dalam studiomu. Dan
aku melihat lukisan itu...”
“Lukisan Dewi Jupiter,” kataku
akhirnya.
“Lukisanmu membuatku takut. Aku
punya firasat yang kuat aku akan menemukanmu di sini. Dan inilah yang
kutakutkan.” Kamu mencoba mendekatiku.
“Jangan mendekat!” Aku berkata
sembari menatap tanah yang rasanya jauh sekali dari jangkauanku. Aku masih
memunggungimu. Tak sanggup melihatmu.
“Jupiter...”
“Kenapa mencariku sekarang? Ke
mana saja kamu selama ini? Lima tahun lalu saat kamu meninggalkanku? Dua tahun
lalu usai konser itu? Mengapa?”
“Aku tahu aku salah, Jupiter.
Maafkan aku. Entah apa yang ada dalam pikiranku selama ini.”
“Aku tahu, aku tak pernah punya
arti dalam hidupmu. Aku selalu kalah dengan bandmu, dengan ambisimu bermusik.
Dan saat semua sudah berada dalam genggamanmu, aku tak diperlukan lagi. Aku
terhapus dalam hidupmu. Begitu juga Papa dan Mama.”
“Tidak seperti itu. Dengar
dulu..”
“Aku tidak mau mendengar apa-apa
lagi. Semua sudah cukup jelas. Aku menggantungkan harapanku padamu karena kamu
berjanji tak akan pernah meninggalkanku. Tapi nyatanya...”
“Turunlah, Jupiter. Kita mulai
lagi semuanya dari awal.”
“Apa lagi yang harus dimulai dari
awal? Sejak kecil aku selalu menggantungkan hidupku kepadamu. Kamu yang
melindungiku. Kamu yang mengajariku banyak hal. Aku tak kenal siapa-siapa
selain kamu. Ayah dan Ibu sudah tiada. Papa dan Mama terlalu sibuk. Tak ada
yang mau berteman denganku. Aku hanya memiliki kamu!”
“Aku salah, Jupiter. Aku mohon
berikan aku satu kesempatan lagi untuk memulai dari awal.”
“Memulai apa lagi? Apa kamu tahu rasanya hidup sendirian? Selalu berharap kamu kembali, tetapi harapanku sia-sia. Tidak tahukah kamu sakitnya jika harapan kita mati? Rasa sakit ini tak akan bisa terukur dengan apa pun!”
“Aku selalu ingin kembali
kepadamu. Aku selalu mengingatmu setiap saat. Bahkan saat aku bermusik, kamu
selalu ada dalam setiap nada dan tarikan nafasku.”
“Justru itu lah yang membuatku
kembali berharap. Namaku dalam karyamu. Namun rupanya sia-sia.”
“Kamu harus mempercayaiku, karena
aku bersungguh-sungguh.”
“Lalu, dua tahun lalu? Kamu bahkan
tak mau menghampiriku.”
“Aku terlalu terkejut melihatmu.
Saat itu aku tidak siap menjelaskan kepadamu tentang diriku. Aku malu pada
dirimu.”
“Ah, sudahlah. Aku salah sudah
percaya kepadamu. Aku salah terlalu berharap. Hidupku sudah tak ada artinya. Aku
terlahir ke dunia tanpa siapa-siapa. Dan kini aku pun tak perlu siapa-siapa.”
“Jupiter, aku masih mencintaimu.
Lebih besar dari planet Jupiter. Seluas jagad raya. Aku adalah jagad rayamu.
Aku mohon, turunlah.”
Aku tersenyum simpul. Aku
membalikkan badan dan berdiri di hadapanmu. Menantangmu. Menatap matamu
lekat-lekat.
“Planetku sudah lama tak
bercahaya lagi.”
Lalu aku mundur selangkah dan
terbang membelah udara dingin sore itu. Kamu berlari menghampiriku, namun semua
itu sudah terlambat. Seharusnya kamu menyelamatkanku sedari dulu. Lima tahun
lalu.
Aku memejamkan mata. Hal yang
terakhir kulihat adalah matamu yang penuh kesedihan, kemarahan, dan di atas
semua itu, keputusasaan. Aku tahu dengan pasti, kamu akan kehilangan.
Jagad raya akan kehilangan satu
planet besar yang meledak tiba-tiba karena terhantam meteor. Jagad raya akan
berwarna hijau, lalu perlahan-lahan cahaya itu semakin redup hingga tak
menyisakan apa-apa lagi. Hitam. Hampa.
Persis seperti maha karyaku.
Langit kehijauan yang menjadi latar Dewi Jupiter yang kugambarkan terjatuh dari
langit. Tertidur abadi.
*****
Galeri seni di sudut kota nampak
ramai malam itu. Puluhan lukisan dari seorang pelukis yang tak dikenal
terpampang memenuhi galeri. Lukisan-lukisan yang banyak bercerita soal harapan
dan kesedihan. Sebuah grand piano diterpa lampu sorot berada tepat di tengah
galeri.
Seorang lelaki berambut cokelat
ikal duduk di hadapan grand piano itu. Ia terlihat begitu kontras dengan citra
galeri yang klasik dan anggun. Ia nampak liar dengan anting perak di telinga
kirinya, jaket kulit hitam, dan sepatu boot bergerigi.
Lelaki itu kemudian mulai
bernyanyi. Sebuah lagu yang menyiratkan keputusasaan. Ekspresinya begitu
menjiwai, seolah ia sedang bertutur, bukan sekedar bernyanyi.
Now she’s gone, out of this world
She took everything from me, except my name
Some things in this life I just can’t change
Some things I just realize when it’s already too late
Jupiter, when your love is gone...
Who will save me from everything in this world now?
Puluhan pasang tangan bertepuk
riuh usai nada terakhir dari grand piano itu ia mainkan.
“Katakan pada kami, mengapa album
kedua kalian dirilis di galeri seni seperti ini? Jauh dari citra musisi seperti
kalian yang selalu hingar bingar dan urakan?” Seorang perempuan yang berada di
deretan kursi depan bertanya kepada sang lelaki. Kilatan kamera menghujam dari
kanan kiri.
“Kami berbeda dengan band lain.
Kami ingin menunjukkan bahwa musik kami bukan sekedar hiburan, melainkan juga
murni seni,” ucap sang lelaki.
“Lalu, apa nama album kedua ini?
Sampulnya masih polos. Hanya ada gambar perempuan yang nampak seperti tertidur
di tengah langit yang berwarna hijau?” Seorang perempuan di deretan tengah
bertanya.
“Itu adalah Jupiter, dewa
halilintar dalam mitologi Romawi. Raja segala dewa yang menguasai langit. Maka
ia pun kembali ke langit,” kata lelaki itu lagi.
“Bukankah dewa Jupiter semestinya
lelaki?” Kali ini lelaki yang berada di deretan tengah yang bertanya.
“Jupiter kami adalah perempuan.”
“Lalu nama albumnya?” kata
perempuan yang di deretan tengah tadi, menanti pertanyaannya terjawab.
“Merindukan Jupiter.”
“Apakah ada kaitannya dengan
album pertama?” tanya seseorang.
“Mengapa Razorblade senang sekali dengan nama Jupiter?” tanya seseorang yang
lain.
“Apakah ada inspirasi khusus
dalam penggarapan album ini?” tanya seseorang yang lainnya lagi.
Sebelum serbuan pertanyaan datang kembali, lelaki itu bangkit dari grand piano, hendak beranjak pergi.
“Ini adalah album yang
didedikasikan kepada perempuan yang melukis semua lukisan yang dapat Anda semua
nikmati malam ini. Ia adalah pelukis yang hebat. Perempuan yang hebat. Yang
akan selalu dirindukan,” ucapnya di hadapan semua jurnalis yang hadir malam
itu.
Dengan perasaan hampa, lelaki itu
pergi meninggalkan galeri. Ia menembus gelapnya malam dengan berjalan kaki.
Sinar rembulan seolah mengiringi langkah sepinya. Hanya sinar yang temaram, tak
ada pendar kehijauan yang indah di langit malam ini.
Jupiter memang sudah lama tiada, pikirnya. Dan ia pun terus
berjalan membelah malam yang dingin, sedingin hatinya saat ini.
*****
Tentang Penulis:
Anitya Wahdini. Selalu menyukai
makna harapan. Memilih dengan pasti Hope
di antara “Fight, Dream, Hope, Love.” Baginya,
harapan adalah sesuatu yang membuat hidup menjadi berarti dan memiliki tujuan.
Untuk apa kita hidup di dunia jika tanpa harapan? Harapan adalah sesuatu yang
harus diperjuangkan, diimpikan, dan juga dicintai.
Sangat terkesan dengan novel
klasik yang ia baca kala masih duduk di bangku SMP, Little Women karya Louisa May Alcott. Kebersahajaan keluarga yang
memiliki empat anak gadis mampu menginspirasi untuk lebih menghargai hidup dan
mencintai sesama. Kisahnya begitu sederhana, namun maknanya sangat mendalam.
Ingin menjadi pribadi seperti itu, sederhana namun memiliki arti bagi orang
lain.
Comments
Post a Comment