Harapan
adalah obat penenang bagi jiwa yang berteriak menggeliang. Pemuas dahaga
musafir yang berkhayal akan negeri yang mereka sebut ‘surga’. Harapan adalah
kata-kata hiburan yang mengalihkan dunia nyata, menjadi bias dan tak
berdimensi. Maka hidup adalah film bergerak pembuktian ada atau tidaknya
harapan
Aku
dipanggil Likat. Penuh kesabaran,
demikianlah namaku diartikan. Setiap hari adalah perjuangan bagiku. Bergumul
dengan keinginan untuk meneruskan hidup atau menjadikannya kenangan bagi yang
kutinggalkan. Tunggu dulu! Siapa yang aku tinggalkan?. Perasaanku saja. Sebatang
kara aku menghabiskan hari-hari sejak empat tahun yang lalu. Hidup tiap paginya
serasa menjejalkan garam pada luka yang terbuka menganga. Begitu perih dan
meradang makin parah. Hingga akhirnya aku merasakan hal yang berbeda. Inilah
monolog kehidupanku. Dapatkah kau pada akhirnya memberikan definisi harapan
dari kisahku?
Aku
terkenang saat dulu ibuku sering berkata, “Hidup itu hanya sesaat di dunia. Ada
tempat yang disebut Surga. Tempat yang begitu indah dan tidak akan pernah ada
duka lagi di sana”. Aku sempat melakukan pencarian akan surga dan Yang Empunya,
karena kata-katanya. Dari satu keteraturan, aku berpindah ke keteraturan yang lain.
Mengkaji setiap unsur surga dan Si Empunya yang mereka suguhkan sebagai imbalan
bagi manusia yang setia dengan segala syarat dan aturan yang diberikan. Tapi aku
mulai meragukan keberadaannya. Sepertinya surga itu bukan bagianku. Bagaimana
seorang yang hanya hidup dengan luka-luka batinnya, bisa menjadi manusia setia?
Dan kehidupanku pun semakin kacau. Aku semakin terpuruk dalam kekalutan
buatanku sendiri. Surga tidaklah membantuku menjadi sembuh, hanya fatamorgana
dari perjalananku. Hingga akhirnya aku tidak lagi melakukan pencarian dan mulai
menutup segala hal yang terbuka dalam pikiranku.
Lalu
aku kembali teringat kata-kata ibuku, “Jika kamu bersedih dan berkecil hati,
ingatlah bahwa itu tidak terjadi selamanya”. Ibuku rupanya pandai bermain kata.
Mana ada kesedihan yang berlangsung singkat? Hingga akhirnya ia beristirahat,
dia tak mampu berdamai dengan masa lalunya. Bayangan akan ketidakmampuan
membahagiakan ibundanya tercinta dan kehilangan akan kepergiaannya yang begitu
mendadak, menghancurkannya perlahan. Ibuku hanya seorang penyair yang lari dari
kesedihannya. Enam belas tahun ia bersedih dan aku seperti mengikuti jejaknya,
empat tahun aku juga berkubang di lumpur
yang sama. Tidak ada yang salah dari penampilanku dalam pandangan manusia.
Hanya terlihat sedikit kacau di sana
dan di sini.
Tapi masih dapat dikompromikan dan dilapangdadakan. Toh, menurut mereka aku
sedang berduka, kehilangan panutan dalam hidup. Ditinggal si pemberi restu. Aku
dikasihani dan rasanya manis sesaat, lama kemudian menjadi sangat menjijikkan. Bagai rayap, aku
makin keropos karenanya.
Lalu
aku teringat perkataan seseorang yang selalu berhasil mengacak-acak pikiranku.
Ia berkata, “Tuhan itu adil”. Mungkin apa yang ia katakan ada benarnya.
Bukankan Tuhan mengambil ibuku dan memporakporandakan keluargaku, tapi menggantinya
dengan begitu banyak keluarga lain yang menyayangiku. Walau harus diakui
tidaklah sepenuh jika itu adalah milikmu sendiri. Tapi, itu lebih dari cukup
untuk membuatku mengkhayalkan suatu saat aku akan memiliki satu seperti itu.
Tuhan
memang adil. Di saat
aku hidup dalam cerita sedihku sendiri dan menghabiskan waktu dalam lautan
tangisanku, Ia memberikan aku penyakit yang menguasai apa yang selalu
kubanggakan. Suatu penyakit yang pada akhirnya akan menjadikanku beban bagi orang
lain. Hal ini membuatku sadar dan bangkit. Aku ingin melayani, sebelum aku
dilayani. Mengangkat beban orang lain, sebelum bebanku diangkat. Memberikan apa
yang tersisa padaku, sebelum akhirnya aku menjadi tidak berguna sama sekali
bagi sekitarku. Memang menyakitkan menjalani apa yang terjadi pada tubuh
fanaku. Tapi aku akan mengerahkan segala yang ada untuk memperpanjang waktuku
dan beristirahat pada saat aku menjadi manusia.
Dan
pada akhirnya, aku teringat pada perkataan dari seseorang yang begitu
mengenalku, “Belajarlah untuk melepaskan. Belajar untuk tidak menggenggam
apapun. Hanya menerima apa yang diberikan padamu setiap harinya”. Ironi sekali
bukan? Menganggap kehilangan sebagai cara mendapatkan yang terbaik. Melepaskan
apa yang dimiliki dan hidup dengan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan.
Aku mulai belajar melepaskan dan tidak menggenggam apapun.
Pertama, aku belajar untuk
melepaskan kebencianku. Tiga puluh lima tahun yang lalu, orang tuaku memutuskan
untuk mengikat diri mereka dalam masalah tiada akhir. Beberapa orang
menyebutnya pernikahan, dan aku menyebutnya kiamat yang dipercepat. Tiada yang
berjalan dengan baik dalam lembaga suci itu. Hanya seorang menjaganya jauh dari
kenajisan, sedangkan yang lain bermain api dan terbakar di dalamnya. Dan tiga belas
tahun kemudian, sang nahkoda melayarkan kapal lain. Aku belajar menerima apa
yang ayahku pernah lakukan sebagai hak untuk mencari kebahagian hidupnya. Kebencian
itu perlahan sirna, bahkan aku begitu rindu dapat bercengkrama dengannya sekali
saja, sebelum alam membatasinya.
Pelajaranku
berikutnya adalah melepaskan kemarahanku. Bertumbuh dalam didikan seorang
wanita yang patah hati, menjadikanku penjaga setiap hal baru yang datang dan
mendekat. Kalau-kalau itu akan menyakitiku dan dia. Kalau-kalau itu akan
menghancurkan surga kecil yang ia bangun dengan susah payah. Bagaikan tuan, aku
menjadikannya pengatur dan penguasa akan hidupku. Membiarkannya bereksperimen
dengan mimpi-mimpinya yang gagal.
Setiap
jenjang pendidikan yang kulalui selalu menorehkan prestasi membanggakan.
Senyuman yang tersungging indah dibibirnya membuatku bertahan dari sehari
kesehari. Hingga akhirnya, kebanggaan itu mulai kolaps. Tertekan rupanya dengan
segala perlakuan yang diberikan. Atau sebenarnya ia sedang menjerit mengemis
perubahan. Meminta seonggok kebahagiaan yang nyata. Satu tahun lamanya, aku
bergumul dengan pikiranku sendiri. Aku benci dengan segala hal yang diatur dan
disusun tanpa melibatkanku di dalamnya.
Aku ingin didengar juga, dimintai pendapat akan kehidupanku sendiri. Alam
akhirnya mendeklarasikan siapa yang sebenarnya berkuasa. aku bertahan dengan
segala tekanan hingga ia akhirnya beristirahat. Aku belajar menganggap apa yang
ibuku lakukan adalah wujud cintanya padaku. Cinta yang di dalamnya penuh
ketakutan, kalau saja aku tidak akan merasakan kebahagiaan sepertinya.
Pelajaran
yang hingga kini masih aku pelajari adalah melepaskan diriku sendiri. Seperti
perkataanku sebelumnya, aku sedang berupaya untuk memberikan diriku bagi
sesamaku. Menjadikan kebutuhan mereka sebagai alasan keberadaanku diciptakan di
dunia ini. Menjadikan apa yang terjadi
padaku sebagai penghancuran keakuanku. Bukankah saat engkau ingin membangun
rumah yang baru, engkau harus menghancurkan yang lama. Apa yang aku alami
sekarang adalah tahapan penghancuran itu. Memang tidaklah mudah menerimanya,
tapi tidak begitu susah juga menjalaninya. Mungkin satu tahun, atau bisa jadi
sepuluh tahun. Tapi pada akhirnya aku akan menjadi manusia sebelum aku
beristirahat.
Lalu
bagaimana dengan kau yang sekarang sedang membaca dan mendengar ceritaku?
Apakah menurutmu pengharapan dalam kisahku? Dan bagaimana dengan pengharapan
dalam hidupmu. Berbagi akan menjadikanmu kuat dan menguatkan yang membutuhkan.
***
Tentang Penulis:
Elen Yulance Yosepha. Jika
harus memilih antara “Fight, Dream, Hope,
Love” perempuan kelahiran 19 Juli ini mantap memilih Love. “Cinta memampukan kita untuk berjuang, bermimpi, dan
berharap,” ucapnya. Novel klasik yang paling berkesan baginya adalah maha karya
Ernest Hemingway yang bertajuk The Old
Man and The Sea. Bagi Elen, novel ini menggariskan perjuangan, mimpi,
harapan, dan rasa cinta akan diri sendiri, serta alam.
Comments
Post a Comment