Untuk kau yang aku inginkan,
namun belum menjadi milik kami.
Apa kabar?
Kuharap kau sedang bersenang-senang di sana. Kami di sini baik-baik saja,
walaupun cuaca panas sekali. Seringkali kami tertawa, membayangkan dirimu
bersama Tuhan di atas sana berkelakar sambil mengarahkan matahari ke arah kami.
Seperti apa cuaca di sana? Pasti menyejukkan. Penuh dengan angin yang membuai
menenangkan. Ah, tak heran kau betah di sana. Sementara di sini kami
berkeringat, kau bersantai di sana di bawah teduhnya tangan Tuhan. Kadang aku
berpikir, jiwa-jiwa sepertimu sungguh beruntung bisa begitu dekat denganNya!
Hari ini aku
kembali mengecek. Hasilnya sama. Kau belum bisa menjadi milik kami. Sudah
kering air mataku, dan kami hanya bisa melempar pandangan lesu ke arah satu
garis sialan yang menentukan bahwa kau belum bisa datang kepada kami. Awalnya
kami frustrasi. Marah. Kecewa. Bingung. Tapi kini kami hanya bisa menarik nafas
panjang dan bertukar pelukan. Bertukar kata-kata penyemangat, dan saling
mendoakan.
“Kita coba
lagi,” kata lelaki yang kuharap suatu hari nanti bisa kaupanggil Ayah.
Kata-kata itu
sudah terlalu sering kami ucapkan, tapi sama sekali belum kehilangan arti.
Harapan. Yang bagi orang lain terlihat semu, tapi selalu terpampang nyata bagi
kami. Aku tak tahu, tapi kami berdua tak pernah kehilangan semangat. Tak pernah
letih berdoa dan meyakinkan diri bahwa kau akan segera menjadi bagian dari
hidup kami. Dalam tidurku kuajak dirimu berbicara, seolah-olah kau sudah dekat
denganku walaupun kau masih seratus persen ada di dalam dekapanNya.
Malam ini tak
berbeda. Sekelilingku sudah gelap, namun aku belum juga melangkah ke alam
mimpi. Kupejamkan mataku, membayangkan kau dalam dekapanku dan ayahmu, akhirnya
menjadi bagian dari hidup kami seutuhnya.
“Jadilah milik
kami,” bisikku. “Kami menginginkanmu...lebih dari apapun.”
Ketika aku
akhirnya terlelap, kau menyapaku di mimpiku, sepasang mata yang besar dan
berbinar menatapku dari pelukan ayahmu.
Suatu saat nanti.
***
Untuk kau yang selalu
kuimpikan, namun tak juga datang kepada kami.
Matahari masih menyengat,
tapi bahkan sinarnya yang terik tidak menggoyahkan semangatku hari ini.
Semangat dan harapan kami berdua, serta doa-doa kami selama ini. Kembali kami
akan melihat apakah Tuhan akhirnya setuju melepaskanmu dan meletakkanmu di
dalam hidup kami. Aku tak tahu apa yang akan kami terima. Ayahmu tak berkata
apa-apa, namun tatapan matanya jelas memperlihatkan emosinya yang bergejolak. Aku
hanya bisa memegang tangannya, berusaha menenangkan dirinya walaupun jantungku
berdetak luar biasa kencang.
“Kita akan
baik-baik saja,” kataku. “Apapun yang terjadi.”
Aku memandang
sekelilingku. Seluruh ruangan ini berwarna putih. Nuansanya menyesakkan, tetapi
kutahan rasa sesakku. Aku tidak tahu apa yang akan kami dengar. Terlalu banyak
kemungkinan. Apapun itu, tekadku untuk merasakanmu di dekapanku tidak pernah
pudar.
Seseorang
berpakaian rapi dengan jas putih memasuki ruangan. Wajahnya datar. Orang yang
disebut dokter itulah yang akan menyampaikan kabar untuk hari ini. Entah kabar
buruk atau baik, aku tidak tahu. Di tangannya ada beberapa lembar kertas, dan
di kertas-kertas itu nasibmu untuk saat ini tertulis. Apakah kau akan menjadi
milik kami, atau tetap tinggal di atas sana untuk sementara.
Aku dan ayahmu
duduk tegak, wajah kami penuh harap. Genggaman tangan kami menguat. Jantungku
berdetak keras. Sungguh, aku tak ada bayangan apakah yang akan kami dengar.
Dalam hati aku terus berdoa, dengan detak jantung yang terus menguat.
Semoga, Tuhan. Semoga...
Sang dokter
duduk di depan kami, dan kami berdua memandanginya seolah-olah seluruh hidup
kami ada di tangannya. Ada benarnya. Masa depan kami, kebahagiaan kami, dan
seluruh cita-cita kami terpampang di kertas-kertas yang ada di tangannya.
Cita-cita kami untuk mendapatkanmu. Kami sudah menunggu begitu lama.
“Belum,” hanya
itu yang bisa kudengar.
Wajahku
tertunduk, tetapi aku tidak menangis. Aku sudah menduga sejak awal. Kau belum
bisa menjadi bagian dari hidup kami. Untuk sementara kau tetap menjadi bagian
dari khayalan, mimpi, dan doa-doa kami. Kami akan membuatmu nyata, entah kapan.
Tapi hari itu akan tiba. Suatu saat nanti.
Kurasakan ada
tetesan air di tanganku, dan aku menoleh. Sosok di sebelahku, yang selama ini
selalu menjadi batu karangku. Ia tertunduk, tak kuasa menahan jatuhnya air
mata. Batu karangku, kini mulai terbelah.
***
Untuk kau yang mengisi
mimpi-mimpi kami, baik ketika mata kami terbuka maupun terpejam.
Di bawah sinar
matahari yang kembali terik ini hanya doaku yang mampu menyejukkan. Doaku
padamu, agar segera datang kepadaku. Doaku agar Tuhan segera melepaskanmu
untukku. Sungguh, tak ada di dunia ini yang lebih kuinginkan selain memelukmu,
merawatmu, membesarkanmu. Semua harta di dunia tak ada nilainya dibandingkan
keberadaanmu di hidup kami. Aku tak akan menyerah untuk mendapatkanmu, dan aku
tahu kau akan segera hadir di hidup kami. Segera.
Ketika dunia
menyuruh kami untuk menyerah, kami tegas menolak. Kami tak mau begitu saja
menyerah kepada takdir. Kami akan terus berusaha, dan berharap. Ketika dunia
mengira optimisme kami adalah tanda kegilaan, kami pura-pura tak mendengar.
Dunia boleh tertawa, dan kami tidak peduli sedikit pun. Hanya kau yang kami
pedulikan. Setiap langkah yang kami ambil semuanya demi membawamu ke dunia
kami.
Hari ini aku
kembali terbaring di dalam ruangan putih menyesakkan itu, dan ayahmu kembali
ada di sampingku. Seperti sebelumnya, tangan kami bersatu erat. Kembali kami
terjebak dalam ketidaktahuan. Kami tak bisa menebak apakah kali ini kami akan
tersenyum, atau kembali kecewa seperti sebelumnya. Kali ini aku terlalu lemah
untuk berpikir apa-apa. Hanya kau yang ada di pikiranku. Kau yang selalu kami
impikan, namun tak juga menjadi milik kami.
“Kali ini,”
kata ayahmu. “Pasti.”
Aku hanya diam.
Kembali kupejamkan mata, memainkan adegan yang sudah lama berputar di benakku.
Kau di pelukanku, tertawa riang dan memandangiku dengan sepasang mata yang
berbinar-binar. Aku ingin membawa adegan itu ke alam nyata. Aku ingin dapat
menyentuhmu dan tidak hanya melihat bayanganmu berenang di kepalaku.
Kali ini aku
tak mau melihat wajah sang dokter ketika ia memasuki ruangan. Aku memalingkan
muka. Melihat wajahnya hanya akan menghancurkan emosiku—walaupun aku masih tak
tahu apa yang akan ia katakan. Dokter tersebut duduk di samping ranjang
tempatku berbaring, dan ayahmu menyadari aku tak mau bertatapan langsung dengan
wajahnya. Genggamanku di tangan ayahmu menguat. Aku menghela nafas ketika
dokter tersebut membolak-balik kertas-kertas di tangannya—seperti sebelumnya.
Kudengar ia menarik nafas dan mulai membacakan apa yang ada di kertas-kertas
tersebut.
Banyak hal yang
ia katakan. Namun hanya ‘selamat’ yang bisa kudengar, dan setelah itu semuanya
pudar. Pudar dengan sukacita, cinta, dan air mata bahagia.
***
Untuk kau yang selangkah
lagi akan menjadi milik kami, setelah jalan yang panjang dan berliku.
Kau akan tiba,
nak. Kau akan segera menghiasi hidupku dan ayahmu, setelah penantian kami yang
luar biasa. Akhirnya kau akan menjadi milik kami. Mengandungmu dan merasakan
setiap gerakan kecilmu adalah anugerah terindah yang Tuhan karuniakan kepadaku.
Setiap kali kaki kecilmu menendang, aku teringat perjuangan dan penantian kami
yang tak pernah berakhir, serta doa-doa kami yang selalu mengalir, dan ingatan
akan hal-hal tersebut yang membuatmu begitu berharga.
Dan tak terasa,
kau sedang dalam perjalanan menuju dunia ini. Perjalananmu penuh rintangan,
seperti prediksi banyak orang. Penuh rasa sakit. Tapi semua ini tidak ada
apa-apanya. Kehadiranmu nanti akan menggantikan semuanya, dan berbekal pikiran
itu aku menerjang semua rasa nyeri hari ini. Terus kuingatkan diriku bahwa aku
sedang membawamu ke dunia. Rasa sakit yang tak tertahankan ini kulalui agar aku
bisa menyentuhmu, mendengar tangisanmu, merawatmu dengan baik. Semua untukmu,
nak.
“Terus,
sayang,” di tengah eranganku kudengar suara ayahmu. “Terus berusaha. Sebentar
lagi.”
Tenagaku makin
menipis. Aku sudah terengah-engah, dan pandanganku mulai kabur. Tapi
perjalananmu ke dunia ini belum berakhir, nak. Tugasku hari ini belum selesai.
Aku masih harus mengantarmu. Dengan sekuat tenaga aku melanjutkan usahaku,
walaupun aku sudah nyaris tak bisa bergerak. Sekelilingku mulai berputar,
tetapi suara tangismu yang nyaring memecahkan semuanya. Selamat datang di
dunia, nak. Perjalananmu berakhir sudah, dan perjalanan baru akan dimulai—
Kemudian mereka
meletakkanmu di dadaku. Tenagaku kali ini sudah habis, tapi aku masih bisa
mendekapmu erat seperti yang sudah kuimpikan bertahun-tahun. Sebisa mungkin
kubuka mataku lebar-lebar. Kau luar biasa tampan, dan semua definisi keindahan
terpampang di wajahmu. Aku langsung jatuh cinta, dan air mataku mengalir.
Wajahmu...kau begitu indah, dan semuanya terekam jelas di dalam kepalaku
walaupun sekelilingku kembali berputar. Kurasakan air mataku mengalir makin
deras, mengaburkan pandanganku hingga semuanya gelap. Duniaku pudar, diiringi
suara tangismu dan suara berbagai mesin di ruangan ini.
Dan suara
tangismu mengantarkanku ke perjalananku yang baru. Perjalanan yang tak pernah
kuinginkan datang secepat ini, dan akhirnya harus memisahkanku darimu. Bencilah
aku karena tak bisa memenuhi janji-janjiku padamu. Tapi ketahuilah bahwa di
mana pun aku berada kau tetap menjadi yang paling berharga selama hidupku—dan
matiku. Jika aku harus membayar kehadiranmu dengan nyawaku, maka jalan itulah
yang akan kuambil. Bencilah aku karena itu, nak. Betapa aku berharap semuanya
bisa berjalan sempurna.
Selamat datang
di duniamu, anakku. Maafkan ibumu yang hanya bisa mengirimimu dekapan dari
surga.
***
Tentang Penulis:
Mentari Raissa
Sandiastri. Memilih Dream jika
dihadapkan pada empat kata-kata penuh makna, “Fight, Dream, Hope, Love.” Bagi perempuan penyuka tenis ini,
bermimpi memang mudah dilakukan kapan saja, di mana saja. It is something we often take for granted. Tapi tetap saja mimpi
adalah fondasi dari segala pencapaian. Semua hal hebat di dunia ini terjadi
karena pelakunya pernah bermimpi.
Mentari terkesan
pada novel klasik Frankenstein karya
Mary Shelley. Novel itu mewakili keinginan hampir semua manusia untuk
menaklukkan kematian, sekaligus menunjukkan betapa hukum alam begitu sakti
sehingga siapa yang berani mencoba melawan kematian akan menemui akhir yang
sangat buruk.
Comments
Post a Comment