Diam!
Cukup!
Hentikan dustamu itu
Kemarin
kau ciptakan dusta A
Hari
ini dusta B, lusa dusta C
Mungkin
tidak akan pernah berakhir di Z
Aku lelah dengan semua alasanmu
Bukankah
aku wanitamu? Kita sudah menjadi satu
Seandainya
kau tidak pernah ada
Seandainya
kau tidak mengenalkan aku dengan cinta
Sehingga
aku tidak mengenal gairah
Mungkin
saat ini aku masih mampu tersenyum
Mampu
berkata pada dunia kalau hidup itu indah
Sekarang aku memilih diam
Memilih
menutup hidupku
Mengakhiri
semua tentangmu dalam diriku
AKU SUDAH SANGAT KECEWA
Hanya kata-kata itu yang tersisa. Hanya secarik kertas yang ia tinggalkan, sebelum ia mengembara dalam dimensi lain yang tidak kuketahui. Meninggalkan aku dengan jasadnya. Tak lagi kudengar riuhnya tawa. Kata-kata yang menyenangkan telinga pun tak terdengar lagi. Aku merindukannya kembali.
Saat itu, 22 Desember 2005, beberapa hari menjelang ulang
tahunku. Untuk pertama kalinya aku melihat pertengkaran dalam hidupku. Si Pria pulang
terlambat seperti biasanya. Aku membukakan pintu, lalu membawakan tas dan
sepatunya. Ia duduk dikursi ruang tamu, bersandar dan melonggarkan dasi yang ia
kenakan. Si Wanita pun datang dengan segelas air di tangannya. Alih-alih
memberikannya, ia melemparkan ke muka si Pria. “Enak? Panas? Seperti itulah
panasnya hatiku saat ini!” teriak si Wanita.
“Apa-apaan ini? Sudah
gila sepertinya, Kau? Dasar gila!”
“Iya! Aku sudah gila
dan hampir mati rasanya!” seru si Wanita dengan suara yang begitu keras.
Airmatanya memenuhi matanya. Ia menangis. Ya, menangis untuk pertama kalinya.
“Katakan padaku siapa
wanita itu? Wanita yang sudah kau tiduri selama bertahun-tahun. Aku sudah tahu
semuanya. Kau jangan memberi alasan lagi. Dasar bajingan!”
“Jaga bicaramu! Kita
tidak hanya berdua sekarang,” bentak si Pria sambil melihat ke arahku dengan
tatapan sedih yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Aku tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apapun.
Pikiranku kacau. Wanita? Siapa yang dimaksud? Kenapa si Wanita begitu marah?
Sudah berapa sering pertengkaran ini terjadi dan mengapa aku harus melihatnya
sekarang?
Ah, sudahlah. Itu kejadian di masa lampau dan aku tidak perlu mengingatnya lagi. Toh, si Pria pun sudah pergi entah ke mana dan si Wanita juga sedang asik dengan dunianya. Sebaiknya aku pergi bekerja saja. Inilah hidupku. Usiaku 33 tahun dan aku tidak pernah merasakan tertawa lagi. Hari-hariku habis dengan melihat mayat hidup dan bekerja demi menghidupi tubuh-tubuh kelaparan.
Setiap pagi aku pergi bekerja dengan sahabat, sekaligus penjaga yang dewa langit sediakan bagiku. Melihatnya setiap pagi adalah kekuatanku. Setidaknya ada satu manusia yang menyayangiku dan ia benar-benar hidup.
Ia
hadir di saat duniaku porak-poranda
Mengisi
setiap relung yang kosong dan dingin
Menghangatkannya
dan memberinya kehidupan
Mengajak
jiwa dan pikiranku menari
Bersenandung
nyanyian hidup
Entah
apa jadinya jika ia tiada?
Saat aku hendak membuka pagar, sebuah motor datang dan
berhenti. Tampaknya ia seorang kurir kiriman paket kilat. Terlihat dari lambang
yang terdapat di box, di belakang motornya. Ia turun dan membuka helmnya dan
tersenyum sambil mengatakan, “Apakah mbak Yasmin tinggal di sini? Ada titipan
untuk Mbak Yasmin.”
“Saya sendiri, Mas,”
sahutku sambil mengambil kotak yang ia sodorkan. Setelah memberikannya, ia pun
segera pergi. Aku bingung memandang kotak tanpa pengirim tersebut. Hanya
terdapat namaku di bagian atasnya. ‘Teruntuk Yasmin’.
Sahabatku yang sejak tadi berdiri di seberang jalan, segera menghampiriku. Ia menanyakan kiriman dari siapa dan aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan bingung. Ia mengambil kotak tersebut dari tanganku dan segera membukanya. Di dalamnya terdapat kertas yang dilipat dua. Ada dua lembar kertas. Kami membuka kertas tersebut dan aku terkejut. Ini tulisan si Pria. Ya, aku yakin sekali ini tulisan tangannya. Walau sudah lama berlalu, aku masih ingat betul ini tulisannya.
Sahabatku yang sejak tadi berdiri di seberang jalan, segera menghampiriku. Ia menanyakan kiriman dari siapa dan aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan bingung. Ia mengambil kotak tersebut dari tanganku dan segera membukanya. Di dalamnya terdapat kertas yang dilipat dua. Ada dua lembar kertas. Kami membuka kertas tersebut dan aku terkejut. Ini tulisan si Pria. Ya, aku yakin sekali ini tulisan tangannya. Walau sudah lama berlalu, aku masih ingat betul ini tulisannya.
Kukatakan pada sahabatku untuk pergi lebih dahulu, karena
sepertinya aku tidak akan bekerja hari ini. Butuh tenaga, pikiran, dan tempat
untuk membaca tulisan si Pria. Dan kamarku adalah tempat terbaik. Aku menarik
napas panjang dan mengumpulkan segenap tenaga untuk membuka kembali kertas
tersebut.
Halo
Yasmin...
Sekarang
kau pasti sudah besar.
10
tahun kita tidak bertemu. Dan sekarang kau pasti tumbuh menjadi wanita yang
cantik.
Maafkan
aku yang setelah sekian lama, baru dapat menghubungimu kembali.
Jika
surat ini sampai ditanganmu, berarti kau masih di rumah kita. Rumah yang penuh
dengan kenangan.
Aku
ingin menceritakan beberapa hal padamu. Aku tidak ingin mengakhiri hidupku
tanpa mengatakan semuanya padamu. Ada rasa bersalah yang terus menggerogotiku
dan rasanya sungguh tidak nyaman.
Aku
menikahi wanita yang sangat hebat 30 tahun yang lalu. Sangat beruntung rasanya
mendapatkan dia dalam hidupku. Dia wanita yang diinginkan banyak pria. Butuh
perjuangan keras untuk mendapatkannya. Namun, Tuhan lebih mempercayakannya
padaku. Setahun kemudian, kau hadir dalam kehidupan kami. Ku kira, Tuhan begitu
tidak adil terhadap manusia lain, karena Ia melimpahi aku dengan karunia yang
begitu besar. Aku sungguh menyayangimu, Yasmin.
Semua
berjalan indah. Kau pun mengetahui itu dengan baik. Hingga akhirnya aku tergoda
untuk mengecap kenikmatan dunia yang terlarang. Begitu bergairah rasanya bermain dengan api. Dan saat
itu aku mulai jenuh dengan kehidupan yang tenang, bahkan terlalu bahagia. Aku
bertemu dengan seorang wanita penghibur. Dan dia memang benar-benar tahu
caranya menghibur. Akhirnya, aku makin bosan dengan kehidupan kita yang
bahagia. Sampai akhirnya ia mengetahui kebohonganku. Aku yang tidak pernah
pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Uang yang habis dan tidak pernah aku
jalankan untuk bisnis apapun. Pertengkaranpun mulai sering terjadi dengan
wanita yang begitu kucintai.
Hingga
akhirnya, pertengkaran yang menurutku tidak lagi dapat kutahan adalah ketika
engkau melihatnya. Aku tak mau kau merasakan trauma dan luka mendalam, itu
sebabnya aku putuskan untuk meninggalkan kalian. Aku malu pada dirimu, Yasmin.
Dan aku tidak punya keberanian lagi menatap matamu.
Aku
menyesali apa yang aku perbuat, tapi aku terlalu hina untuk kembali ke rumah.
Tuhan memberikan aku pelajaran berharga yang
masih kujalani hingga kini. Dan aku tak mau kalian merasakan dampak
pelajaran yang aku sedang jalani. Saat kau membaca surat ini, artinya waktu
belajarku sudah habis, Yasmin. Dan aku sedang dihakimi atas apa yang kuperbuat
padamu dan wanita yang begitu kucintai.
Kau
tidak perlu memaafkanku. Karena bukan untuk itu juga aku mengirimimu surat ini.
Aku hanya ingin kau tahu apa yang kulakukan selama ini dan mengapa aku harus
meninggalkanmu. Terkadang menjadi dewasa, malah membuat kita susah untuk jujur
pada diri sendiri dan orang lain. Seandainya aku jujur sejak awal pada wanita
yang kucintai. Ah, sudahlah, semua sudah terlambat sekarang.
Kutitipkan
kertas yang lain untuk wanita yang begitu aku cintai. Maukah kau memberikannya
padanya, Yasmin?
Aku
sangat menyintaimu dengan segenap hatiku, Yasmin.
Kuremas kertas tersebut dan melemparkannya ke dinding. Seandainya ia batu, mungkin akan terdengar dentumannya. Aku tidak bersedih, bahkan meneteskan airmatapun aku enggan. Jika ia memang berencana untuk pergi selamanya, seharusnya ia tidak perlu mengirimiku surat. Bodoh. Idiot. Bajingan.
Kuremas kertas tersebut dan melemparkannya ke dinding. Seandainya ia batu, mungkin akan terdengar dentumannya. Aku tidak bersedih, bahkan meneteskan airmatapun aku enggan. Jika ia memang berencana untuk pergi selamanya, seharusnya ia tidak perlu mengirimiku surat. Bodoh. Idiot. Bajingan.
TIDAK! Aku memang sedih. Aku sangat sedih. Terlalu sedih.
Kuhampiri si Wanita yang terduduk di kursi peraduannya.
Ku coba mengatakan isi surat dari pria yang pernah mengisi hidupnya. Ku pegang
erat tangan si Wanita, sambil membacakan apa yang tertulis,
Sayangku,
Elena
Pucuk
pohon cemara tidak akan bertambah tinggi
Tidak
akan ada lagi burung yang bertengger padanya
Sekarang
ia hanya menunggu rembulan kembali meneranginya
Sehingga
ia dapat mengakhiri hidupnya dengan kehangatan
Jika
rembulan berkedip padanya, maka selesailah penantiannya
Hanya
milik rembulanlah ia selamanya
Tidak
akan ada lagi burung yang bertengger padanya
Kupandangi wajah si Wanita, ia mulai tersenyum. Matanya
berkedip. Seakan ia memahami apa yang kubacakan untuknya. Namun, senyum itu
makin menghilang dan memudar. Mata itupun mulai tertutup. Ini berjalan ke arah
yang salah. Dia hendak kemana? Bagaimana dengan aku? Ini tidak adil. Tidakkkkkkkk.
Ini terlalu menyakitkan.
Apakah
ini akhir?
Atau
ini pembebasan?
Dua
manusia yang begitu saling menyintai
Lalu
iblis menarik yang satu dan membuainya
Hingga
ia menjadi selihai dan penuh tipu layaknya si iblis
Tapi....
Permainan
tipuannya pun terbuka
Membuat
lubang besar bagi yang satunya
Hingga
ia menjadi seperti hantu, berkeliaran di mana-mana
Lalu...
Mereka
coba untuk saling berhubungan
Mengakhiri
semua yang mereka mulai
Kebohongan
dan pengkhinatan
Tak
ada lagi si Wanita
Tak
ada lagi si Pria
Dan
aku..
Hanya
aku
*****
Tentang Penulis:
Seorang
wanita kelahiran 26 tahun lalu, di tanah ibu pertiwi. Menyukai dunia sastra
seperti ia menyukai lagu-lagu bermakna kehidupan. Sedang mengerjakan sesuatu
yang berhubungan dengan bidang akademisnya. Dan ia bernama Elen Yulance
Yosepha.
Comments
Post a Comment