Ada seseorang menghampiri pintuku hari itu. Ia mengetuk
dengan penuh keraguan. Ketukan pertama teramat pelan, sayup-sayup nyaris tak
terdengar. Nampak jelas bahwa tak mudah baginya untuk menemui orang di balik
pintu itu. Menemuiku.
Kemudian ia mengumpulkan segenap keberanian, mencoba menahan
nafas dan menghembuskannya dalam satu tarikan, lalu kembali mengetuk pintu. Kali
ini lebih kencang. Aku pun membuka pintu.
Di hadapanku, ia terlihat sama seperti saat pertama kali aku
mengenalnya. Raut penuh kebimbangan, antara rasa takut, segan, namun rindu. Matanya
penuh kesedihan, tanpa ada kemarahan yang biasanya jelas terpancar. Ia memang
mudah tersulut emosi. Namun tidak kali ini. Ia seolah lemah tak berdaya.
“Aku hanya ingin berbicara, jika kamu mengizinkan. Aku mohon,
dengarkan aku sekali ini saja,” ucapnya pelan.
Aku yang disesaki rasa benci pada dirinya beberapa minggu
ini, luluh juga. Aku tak bisa memungkiri bahwa masih terselip rasa sayang di
dalam hatiku. Mungkin aku lemah, masih bisa mencintai meski sudah dikhianati. Mungkin
aku juga bodoh, karena siapa yang bisa menjamin bahwa kehadirannya kali ini
bukanlah perangkap yang telah ia pasang. Sebuah jerat tipu daya.
Melihatku yang hanya terdiam dan menatapnya, ia kembali
mengucap, “Satu kali ini saja. Jika kamu tidak suka pada apa yang kamu dengar,
kamu boleh mengusirku.”
“Baiklah. Bicara.”
Matanya tak pernah lepas menatapku. Ada sorot tajam yang membuatku takut. Namun sorot
itu sekaligus meyakinkanku bahwa kali ini ia serius. Semoga.
“Aku sudah salah. Aku menyadari sepenuhnya semua yang telah
kulakukan adalah sesuatu yang jahat. Aku meninggalkanmu. Mencampakkanmu. Menjadikanmu
pilihan kedua. Kamu, yang selama ini selalu mendukungku menghadapi masa-masa
terburuk. Kamu yang selalu membuat jiwaku tenang.”
Aku kembali terdiam. Bingung harus bagaimana, berkata apa. Aku
hanya ingin menjerit, aku menyayangimu. Mengapa
kamu begitu jahat kepadaku? Akan tetapi lidahku kelu. Aku hanya bisa diam.
“Aku tahu, meski seribu kali aku memohon kepadamu untuk
memaafkanku, kamu tidak akan pernah bisa. Tapi aku serius. Aku mohon kepadamu,
maafkanlah aku,” katanya.
“Dengar, aku memaafkanmu. Tidak perlu semua ini, aku tidak
bisa menghadapimu seperti ini. Terlalu menyakitkan,” kataku akhirnya.
Aku berusaha setengah mati menahan tangis, karena jika aku
menangis, aku akan langsung jatuh dalam pelukannya. Dan semua akan terulang
kembali. Persis sama, mulai dari awal perjumpaan, hingga saat ia
mengkhianatiku. Aku tidak mau sakit lagi. Aku menolak untuk disakiti.
“Aku tahu aku tidak pantas meminta semua ini kepadamu. Berikanlah
aku satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semua ini. Aku benar-benar memohon.”
“Kesempatan? Untuk apa lagi? Kamu tahu berapa lama waktu
yang kubutuhkan untuk melupakanmu? Tidak akan pernah cukup waktuku. Tolonglah,
aku sedang berjuang keras meninggalkanmu. Jangan tarik aku kembali,” jeritku.
“Hanya satu kesempatan terakhir, itu yang kuminta.”
“Harus berapa kali lagi aku memberikanmu kesempatan setelah
ini? Dua? Tiga? Seratus? Sampai kiamat juga tak akan pernah ada kata terakhir. Sudah
cukup aku memberikanmu banyak kesempatan dan selalu kamu sia-siakan.”
“Aku mohon. Aku tidak bisa hidup dengan baik jika kamu tidak
ada. Kamu yang menuntunku selama ini. Tidak ada orang lain yang bisa.”
“Bohong! Alasanmu kemarin meninggalkanku adalah orang lain!”
Kali ini ia yang terdiam. Untuk pertama kalinya, ia
menundukkan kepalanya. Aku tak bisa melihat sorot mata yang kutakuti itu tadi.
Aneh, aku merasa sangat merindukan sorot mata itu. Tatapan yang lama tak
kunikmati. Aku merindukannya.
“Aku mohon,” ucapnya lirih.
“Tidak. Aku tidak bisa. Bagaimana dengan dia? Bagaimana denganmu?
Bagaimana denganku? Bagaimana dengan hidupmu yang sudah kamu tinggalkan demi
dia?”
“Aku akan memperbaikinya. Denganmu, aku pasti bisa. Aku mohon.”
Bimbang. Hanya itu yang bisa kurasakan saat ini. Jauh di
dalam relung jiwaku, aku ingin sekali memberinya kesempatan. Namun logikaku
memperingatkanku bahwa rasa sakit yang telah ia torehkan terlalu besar. Sulit untuk
memperbaikinya.
“Jika aku gagal kali ini, kamu boleh membenciku lebih dari
ini. Seribu kali lebih besar dari ini. Dan aku akan menerima semuanya. Aku akan
menerima dengan ikhlas semua kebencianmu padaku. Kamu boleh menghinaku,
memakiku, kamu boleh membunuhku jika kamu ingin. Hanya saja, aku mohon
berikanlah aku satu kesempatan terakhir,” katanya lagi.
“Satu...”
Ia menatapku heran. Entah karena tak mempercayai
pendengarannya sendiri atau tak mengerti maksud kata-kataku.
“Satu,” kataku
mengulangi.
“Jadi, kamu akan memberikanku kesempatan lagi?”
“Jika kamu bisa membuktikan setiap janji yang kamu buat, aku
akan memberikanmu satu kesempatan lagi. Bukan yang terakhir, namun yang
pertama. Aku akan memberikanmu sebuah kesempatan pertama, seperti saat kita
saling mengenal untuk pertama kalinya.”
Ia tersenyum. Wajahnya yang penuh kebimbangan tadi perlahan
berubah menjadi penuh kasih. Aku tahu ia mencintaiku, aku hanya tak ingin ia
menyakitiku lagi.
“Aku akan membuktikannya kepadamu. Aku sangat menyayangimu. Terima
kasih,” ucapnya lirih.
Dan ia mulai menangis. Ia tak pernah menangis
sebelumnya. Namun kali ini ia menangis seolah terbebas dari sebuah belenggu
yang membebaninya selama ini.
"Jangan menangis. Lelaki yang kusayangi tidak akan menangis. Ia selalu bahagia, karena ia bersamaku."
Semoga keputusanku tidak salah. Semoga rasa sayangku tidak
sia-sia. Semoga satu kesempatan ini menjadi satu-satunya harapan bagiku dan
bagi dirinya.
Comments
Post a Comment